Selama ini, labelisasi universitas sangat mempengaruhi strata sosial dalam dunia pendidikan. Semua yang terdaftar di lingkungan universitas yang terlabelisasi akan mendapat predikat yang sama tingginya maupun sama rendahnya dengan citra universitas tersebut. Tak terkecuali gaya hidup para mahasiswa yang selalu dikaitkan dengan "di mana kuliahnya".
Universitas dengan great tinggi, identik dengan mahasiswa dari kalangan sosial menengah ke atas, yang mana mahasiswanya selalu dikaitkan dengan gaya hidup bermewah-mewahan. Sebaliknya, universitas yang dianggap memiliki great rendah, selalu diidentikkan dengan mahasiswa yang "biasa-biasa saja".
Namun, segala macam ketimpangan tersebut, terutama dalam hal gaya hidup, sepertinya sudah mulai memudar. Meski tak sepenuhnya berwarna sama. Contoh kecil, perubahan gaya hidup mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang selalu berlabel "kampus rakyat", sudah tidak lagi menampilkan wajah mahasiswa yang "tanpa mode" seperti dahulu.
Baca Juga: 5 Alasan Penting Belajar Filsafat
Perihal kebutuhan hidup yang lain pun sudah berubah. Seperti kebutuhan makan dan kebutuhan penunjang lainnya. Tidak lagi warung makan pinggir jalan, sebagian mahasiswa UIN Walisongo sudah beralih pada tempat makan yang "bergengsi". KFC, McD, Starbuck, dan lain sebagianya sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa dengan kampus berlabel universitas masyarakat golongan menengah ke bawah.
Perubahan-perubahan seperti ini tidak hanya terjadi dalam skala mikro, melainkan sudah pada ranah makro. Keberhasilan menguasai akses teknologi informasi, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemerataan mode busana maupun kebutuhan hidup sehari-hari.
Kemudahan melihat, mendengar, dan membaca berbagai informasi mengenai gaya hidup, membuat seseorang mudah berkiblat pada budaya luar terutama dunia Barat. Meskipun yang ditiru kurang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Umumnya yang ditiru bersifat kesenangan individualis.
Baca Juga: Membaca Filosofi dalam Fotografi
Terlebih setelah merabaknya e- commarce, praktik perekonomian semakin mudah dijangkau masyarakat. Salah satunya dengan keberadaan fiture online shop. Di mana segala macam kemudahan ditawarkan hanya dengan berselancar di layar smartphone dan cukup satu kali "klik".
Berbagai tawaran kebutuhan soal sandang, pangan, dan papan tersedia. Mulai dari barang-barang dengan brand ternama, brand terbaru bahkan barang langka dapat dinikmaati setiap harinya. Keterjangkauan akses terhadap segala macam kebutuhan, tak dapat dipungkiri menjadi medium pemenuhan akan kebahagiaan diri.
Kesenagan individualis seperti ini sering disebut sebagai bentuk kebahagiaan hedonisme. Bentuk kebahagiaan ini merujuk pada kesenangan diri yang menghambur-hamburkan uang dan mengarah bentuk materialisme.
Baca Juga: Salah Kaprah “Anti Kemapanan”
Kecenderungan semacam ini seperti sudah menjadi wabah. Kegiatan meniru dan mengikuti bukan lagi menjadi sikap yang tabu. "Tren" seperti sebuah kesakralan yang harus dianut dan dipatuhi. Tidak boleh terlewatkan sekali pun.
Konsep Hedonisme (Kebahagiaan) Epicurus
Epicureanisme, salah satu aliran filsafat pada masa Hellenisme, yang muncul pada masa Yunani ini ternyata juga sudah menawarkan konsep "bahagia" yang berbentuk Hedonisme. Sikap hidup yang muncul pada masa Yunani ini ternyata tidak sepenuhnya sama dengan konsep hedonisme sebagaimana masyarakat sekarang anut.
Ketika itu, filsafat yang berkembang lebih bercorak pada sifat teoritis. Hanya sebatas menawarkan konsep-konsep definitif salah satunya mengenai kebahagiaan. Kemudian Epicurus mencoba mengkritik hal demikian, dengan menjalani hidup berdasarkan paham hedonisme. Sikap ini tidak lagi membahas mengenai konsep definitif, namun jauh lebih berkembang ke arah "cara" mendapatkan kebahagiaan.
Baca Juga: Pahlawan Media Sosial
Epicurus mendapat banyak kritikan dari para sarjana masa itu. Dianggap sebagai hedonis yang haus kesenangan. Bahkan meluas rumor yang mengatakan bahwa Epicurus akan membanjiri dirinya dengan pesta pora setiap malamnya.
Pandangan negatif terhadap konsep hedon juga dilabelkan pada Aristippus, filsuf sebelum Epicurus yang juga mencari makna "bahagia". Aristippus menggambarkan bentuk bahagia lebih mengejar pada kesenangan sensual. Bahkan ia rela melanggar kenvensi sosial pada zamannya untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Sehingga kehidupan idelanya ini dianggap oleh orang Yunani layaknya diperbudak oleh kesenagan.
Meski begitu, Epicurus mencoba mengungkap teka-teki "kebahagiaan" serta prinsip-prinsip kunci kepuasan dengan cara yang berbeda. Ia menjalani hidup dengan sederhana di desanya, dan mempelajari makna bahagia dari rumah serta kebunnya. Bahkan, ia setia mengajar sampai akhir hayatnya.
Baca Juga: Muslim dan Perbincangan tentang Kebenaran
Epicurus menjelaskan, hedonisme akan mengarah pada kehidupan kenikmatan abadi tetapi diperoleh dengan bimbingan akal. Kontrol diri dalam memilih dan membatasi kesenangan dengan pandangan untuk mengurangi rasa sakit seminimal mungkin, sangatlah diperlukan.
Menurutnya, tujuan hidup hedone (kenikmatan) dapat dicapai dengan ataraxia, yakni ketenangan badan, pikiran, dan jiwa. Hedonisme menurut Epicurus tidak mengejar keterpenuhan akan bahagia, tetapi kenikmatan secukupnya. Bukan orang yang serakah, tetapi pilih-pilih.
Sebagai contoh apabila kita makan, maka kita hanya perlu makan secukupnya saja. Apabila kita makan secara berlebihan, itu bukan lagi bentuk kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus. Nikmat berbeda dengan rakus, dan rasa nikmat yang menimbulkan rasa sakit tidak perlu diambil. Dalam hidupnya, Epicurus juga hanya memakan roti dan meminum air, serta makan sedikit keju pada saat-saat berpesta. Ia mengatakan, itu sudah cukup dan ia merasakan kenikmatan.
Bagi Epicurus, berbagai keinginan untuk mencari kehormatan dan kekayaan adalah hal sia-sia. Karena manusia akan menjadi gelisah jika keinginan tersebut tidak terpenuhi.
Baca Juga: Zodiak dan Kepribadian Manusia
Epicurus mengajarkan tentang hidup sederhana. Bagaimana kita dapat menyikapi keinginan-keinginan dengan tenang. Belajar mengendalikan keinginan dan pemeliharaan ketenangan jiwa. Ia beranggapan bahwa semua manusia, senantiasa hanya mengejar kenikmatannya sendiri, kadang dengan cara yang bijaksana dan terkadang dengan cara tidak bijaksana.
Nyatanya, ada benturan mengenai pemaknaan Hedonisme yang dikemukakan oleh Epicurus dengan konsep yang dijalankan di masa sekarang. Terlepas dari segala macam perbedaan itu, hidup manusia baik di masa dulu maupun sekarang, tak pernah lepas akan pencarian "kebahagiaan".
Setiap orang memiliki hak untuk mencapai bahagia dengan caranya masing-masing. Apapun itu, selagi tidak merugikan diri dan orang lain, maka sah-sah saja. Sebagaimana Epicurus pernah berkata, "Jangan merusak apa yang Anda miliki dengan menginginkan apa yang tidak Anda miliki. Ingat bahwa apa yang Anda miliki sekarang adalah satu di antara hal-hal yang hanya Anda harapkan". [Gita]
Universitas dengan great tinggi, identik dengan mahasiswa dari kalangan sosial menengah ke atas, yang mana mahasiswanya selalu dikaitkan dengan gaya hidup bermewah-mewahan. Sebaliknya, universitas yang dianggap memiliki great rendah, selalu diidentikkan dengan mahasiswa yang "biasa-biasa saja".
Namun, segala macam ketimpangan tersebut, terutama dalam hal gaya hidup, sepertinya sudah mulai memudar. Meski tak sepenuhnya berwarna sama. Contoh kecil, perubahan gaya hidup mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang selalu berlabel "kampus rakyat", sudah tidak lagi menampilkan wajah mahasiswa yang "tanpa mode" seperti dahulu.
Baca Juga: 5 Alasan Penting Belajar Filsafat
Perihal kebutuhan hidup yang lain pun sudah berubah. Seperti kebutuhan makan dan kebutuhan penunjang lainnya. Tidak lagi warung makan pinggir jalan, sebagian mahasiswa UIN Walisongo sudah beralih pada tempat makan yang "bergengsi". KFC, McD, Starbuck, dan lain sebagianya sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa dengan kampus berlabel universitas masyarakat golongan menengah ke bawah.
Perubahan-perubahan seperti ini tidak hanya terjadi dalam skala mikro, melainkan sudah pada ranah makro. Keberhasilan menguasai akses teknologi informasi, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemerataan mode busana maupun kebutuhan hidup sehari-hari.
Kemudahan melihat, mendengar, dan membaca berbagai informasi mengenai gaya hidup, membuat seseorang mudah berkiblat pada budaya luar terutama dunia Barat. Meskipun yang ditiru kurang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Umumnya yang ditiru bersifat kesenangan individualis.
Baca Juga: Membaca Filosofi dalam Fotografi
Terlebih setelah merabaknya e- commarce, praktik perekonomian semakin mudah dijangkau masyarakat. Salah satunya dengan keberadaan fiture online shop. Di mana segala macam kemudahan ditawarkan hanya dengan berselancar di layar smartphone dan cukup satu kali "klik".
Berbagai tawaran kebutuhan soal sandang, pangan, dan papan tersedia. Mulai dari barang-barang dengan brand ternama, brand terbaru bahkan barang langka dapat dinikmaati setiap harinya. Keterjangkauan akses terhadap segala macam kebutuhan, tak dapat dipungkiri menjadi medium pemenuhan akan kebahagiaan diri.
Kesenagan individualis seperti ini sering disebut sebagai bentuk kebahagiaan hedonisme. Bentuk kebahagiaan ini merujuk pada kesenangan diri yang menghambur-hamburkan uang dan mengarah bentuk materialisme.
Baca Juga: Salah Kaprah “Anti Kemapanan”
Kecenderungan semacam ini seperti sudah menjadi wabah. Kegiatan meniru dan mengikuti bukan lagi menjadi sikap yang tabu. "Tren" seperti sebuah kesakralan yang harus dianut dan dipatuhi. Tidak boleh terlewatkan sekali pun.
Konsep Hedonisme (Kebahagiaan) Epicurus
Epicureanisme, salah satu aliran filsafat pada masa Hellenisme, yang muncul pada masa Yunani ini ternyata juga sudah menawarkan konsep "bahagia" yang berbentuk Hedonisme. Sikap hidup yang muncul pada masa Yunani ini ternyata tidak sepenuhnya sama dengan konsep hedonisme sebagaimana masyarakat sekarang anut.
Ketika itu, filsafat yang berkembang lebih bercorak pada sifat teoritis. Hanya sebatas menawarkan konsep-konsep definitif salah satunya mengenai kebahagiaan. Kemudian Epicurus mencoba mengkritik hal demikian, dengan menjalani hidup berdasarkan paham hedonisme. Sikap ini tidak lagi membahas mengenai konsep definitif, namun jauh lebih berkembang ke arah "cara" mendapatkan kebahagiaan.
Baca Juga: Pahlawan Media Sosial
Epicurus mendapat banyak kritikan dari para sarjana masa itu. Dianggap sebagai hedonis yang haus kesenangan. Bahkan meluas rumor yang mengatakan bahwa Epicurus akan membanjiri dirinya dengan pesta pora setiap malamnya.
Pandangan negatif terhadap konsep hedon juga dilabelkan pada Aristippus, filsuf sebelum Epicurus yang juga mencari makna "bahagia". Aristippus menggambarkan bentuk bahagia lebih mengejar pada kesenangan sensual. Bahkan ia rela melanggar kenvensi sosial pada zamannya untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Sehingga kehidupan idelanya ini dianggap oleh orang Yunani layaknya diperbudak oleh kesenagan.
Meski begitu, Epicurus mencoba mengungkap teka-teki "kebahagiaan" serta prinsip-prinsip kunci kepuasan dengan cara yang berbeda. Ia menjalani hidup dengan sederhana di desanya, dan mempelajari makna bahagia dari rumah serta kebunnya. Bahkan, ia setia mengajar sampai akhir hayatnya.
Baca Juga: Muslim dan Perbincangan tentang Kebenaran
Epicurus menjelaskan, hedonisme akan mengarah pada kehidupan kenikmatan abadi tetapi diperoleh dengan bimbingan akal. Kontrol diri dalam memilih dan membatasi kesenangan dengan pandangan untuk mengurangi rasa sakit seminimal mungkin, sangatlah diperlukan.
Menurutnya, tujuan hidup hedone (kenikmatan) dapat dicapai dengan ataraxia, yakni ketenangan badan, pikiran, dan jiwa. Hedonisme menurut Epicurus tidak mengejar keterpenuhan akan bahagia, tetapi kenikmatan secukupnya. Bukan orang yang serakah, tetapi pilih-pilih.
Sebagai contoh apabila kita makan, maka kita hanya perlu makan secukupnya saja. Apabila kita makan secara berlebihan, itu bukan lagi bentuk kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus. Nikmat berbeda dengan rakus, dan rasa nikmat yang menimbulkan rasa sakit tidak perlu diambil. Dalam hidupnya, Epicurus juga hanya memakan roti dan meminum air, serta makan sedikit keju pada saat-saat berpesta. Ia mengatakan, itu sudah cukup dan ia merasakan kenikmatan.
Bagi Epicurus, berbagai keinginan untuk mencari kehormatan dan kekayaan adalah hal sia-sia. Karena manusia akan menjadi gelisah jika keinginan tersebut tidak terpenuhi.
Baca Juga: Zodiak dan Kepribadian Manusia
Epicurus mengajarkan tentang hidup sederhana. Bagaimana kita dapat menyikapi keinginan-keinginan dengan tenang. Belajar mengendalikan keinginan dan pemeliharaan ketenangan jiwa. Ia beranggapan bahwa semua manusia, senantiasa hanya mengejar kenikmatannya sendiri, kadang dengan cara yang bijaksana dan terkadang dengan cara tidak bijaksana.
Nyatanya, ada benturan mengenai pemaknaan Hedonisme yang dikemukakan oleh Epicurus dengan konsep yang dijalankan di masa sekarang. Terlepas dari segala macam perbedaan itu, hidup manusia baik di masa dulu maupun sekarang, tak pernah lepas akan pencarian "kebahagiaan".
Setiap orang memiliki hak untuk mencapai bahagia dengan caranya masing-masing. Apapun itu, selagi tidak merugikan diri dan orang lain, maka sah-sah saja. Sebagaimana Epicurus pernah berkata, "Jangan merusak apa yang Anda miliki dengan menginginkan apa yang tidak Anda miliki. Ingat bahwa apa yang Anda miliki sekarang adalah satu di antara hal-hal yang hanya Anda harapkan". [Gita]
KOMENTAR