![]() |
dok. Farid |
Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa kelak akan bermunculan orang-orang yang membaca al-Quran, tetapi tidak sampai ke hati mereka atau tidak mempengaruhi hati mereka. Sehingga mereka dengan mudah mencela, menyalahkan, mengkafirkan sesama/seagama yang tidak sepaham (sependapat) dengannya. Bahkan menghalalkan darahnya atas perbedaan pikiran itu.
Dalam konteks tersebut, sebenarnya Nabi Muhammad membicarakan umatnya sendiri. Nabi Muhammad telah memperingatkan umatnya bahwa suatu saat nanti akan ada konflik antarmanusia bahkan sekeyakinan karena beda pandangan. Prediksi Nabi Muhammad benar terjadi. Seiring dengan semakin banyaknya kelompok-kelompok Islam dengan pahamnya masing-masing dan saling mengklaim dirinya yang paling benar.
Perang klaim kebenaran semakin dahsyat terjadi di dunia maya. Semakin ke sini perilaku warganet dalam mengomentari persoalan agama semakin barbar. Warganet tidak lagi beradu argumen berdasarkan data valid, melainkan saling melempar ejekan bahkan hinaan yang sarkas. Masyarakat terpolarisasi ke dalam dua kelompok besar. Antara hitam dan putih, benar dan salah, muslim dan non muslim, hingga cebong dan kampret.
Contohnya ketika ada warganet yang mengunggah acara Maulid, Tahlilan, dan tradisi lokal yang berakulturasi dengan syariat Islam lainnya di Facebook dan Instagram. Ada yang komentar bahwa hal itu bukanlah ajaran Islam, karena tidak ada di zaman Nabi Muhammad. Bahkan mereka yang tidak sepakat menyebutnya sebagai praktik bid'ah yang terlarang.
Pernyataan tersebut, diperkuat oleh tokoh-tokoh agama yang baru bermunculan di media sosial. Salah satu tokoh agama yang berafiliasi dengan HTI menyebutkan bahwa ajaran agama yang berpadu dengan kebudayaan dianggapnya sebagai agama baru. Bukan termasuk ajaran Islam.
Fatalnya, pernyataan tersebut banyak diamini oleh masyarakat yang masih awam dalam memahami ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Pasalnya zaman sekarang sebagian besar masyarakat menggunakan internet untuk mempelajari apapun, termasuk urusan agama. Fenomena semacam ini menurut Pew Internet Life Project dan Center on Media, Religion, and Culture dikenal dengan istilah faith online atau cyberreligion.
Cyberreligion ini menjadi pertaruhan substansi didalam ajaran agama itu sendiri. Satu sisi peran dan jangkauan ajaran agama akan mudah menyebar semakin luas, jika substansinya berhasil dipertahankan. Sementara di sisi lain, agama hanya akan menjadi sebuah wacana tanpa fisik yang nyata, alias omong kosong dunia maya. Kondisi inilah yang sekarang menimpa umat beragama di Indonesia, tak terkecuali umat Islam.
Menanggapi fenomena cyberreligion ini, salah satu tokoh NU Kudus, KH. Ahmad Asnawi memberikan penuturan kepada masyrakat, khususnya umat Islam di Indonesia. Beliau menegaskan agar masyarakat tidak belajar agama melalui media sosial. Ahmad Asnawi menekankan agar dalam mempelajari Islam harus melalui guru dengan sanad keilmuan yang tersambung hingga Rasulullah.
Dengan demikian, masyarakat akan lebih bijak menilai perbedaan pandangan dalam menyalurkan ekspresi beragama. Ahmad Asnawi mencontohkan sikap bijak ketika berhadapan dengan ajaran agama yang berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Beliau mengibaratkan orang yang menolak akulturasi tersebut seperti orang yang penyakitan.
"Memang, sesuatu yang baik itu tidak semuanya suka, sesuatu yang enak itu tidak semuanya suka. Saya contohkan, Durian itu enak, tetapi ada yang tidak mau memakannya, yaitu orang yang memiliki penyakit diabetes. Gulai kambing itu enak, tapi ada yang bilang tidak enak karena sedang sakit darah tinggi," tutur Ahmad Asnawi.
Sekarang majelis-majelis semacam tahlilan, istigasah, maulid Nabi, dan lain-lain dianggap oleh kelompok-kelompok terkstualis sebagai ajaran sesat. Padahal kalau dipahami bagaimana isinya, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana Maulid yang isinya memuliakan Nabi dengan membaca sejarah beliau yang didalamnya saling silaturahim yang merekatkan antar umat Islam. Agaknya sulit jika perhelatan semacam ini disebut-sebut sebagai perbuatan atau perilaku yang bid’ah, bukan dari ajaran Islam, melainkan sebaliknya.
"Majelis yang begitu bagusnya seperti ini kok disalahkan, diharamkan, dikafirkan? Makanya cara kasarnya orang tua zaman dahulu bilang: kalau orang yang berpenyakit itu dibiarkan saja biar tambah parah, nanti kan mati sendiri. Jadi kita tetap saja lanjutkan maulid Nabi, istigasah, ziarah para waliyullah, karena itu barang bagus yang menyebabkan turunnya pertolongan Allah. Jangan takut dengan mereka, kalau Allah sudah menurunkan pertolongan kepada umat yang memuliakan para kekasih Allah, tidak akan ada yang bisa menyainginya," tambahnya.
Tidak ada satu hal pun yang keluar dari ajaran Islam dalam acara maulid dan lainnya. Justru dengan adanya tradisi maulid Nabi, tahlilan, dan lainnya menambah tali silaturrahim antar sesama umat Muslim. Bersama-sama mengagungkan Allah, mengagungkan utusan-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Argumentasi Ahmad Asnawi di atas telah menyanggah penilaian kelompok Islam yang tidak sepakat dengan akulturasi agama Islam dengan kebudayaan lokal. Meskipun dalam kenyataannya masih ada orang-orang yang menolak argumentasi tersebut dan tetap pada pendiriannya. Mereka yang mengaku sebagai umat nabi Muhammad dan pengikut ulama, justru menyalahkan bahkan mengkafirkan saudaranya sesama muslim. Jika mereka terus seperti itu, apa lagi namanya jika bukan para penghancur Islam? [Ma'arif]
KOMENTAR