
Setiap manusia memiliki pandangan hidup yang diperoleh dari pengalaman kehidupan. Begitu pula pandangan mengenai kebahagiaan hidup. Menurut mayoritas orang, kebahagiaan didapatkan ketika sudah bisa ‘hidup mapan’. Kecukupan finansial menjadi salah satu tolok ukur kemapanan. Akibatnya, setiap orang berlomba-lomba memenuhi kebutuhan finansial.
Arena persaingan membuat gap tebal antara orang berfinansial tinggi dan rendah. Bagi mereka yang masih di strata bawah, kemapanan hanya menjadi dambaan. Kekecewaan tersebut berujung pada pembalasan dengan mengusung gerakan anti-kemapanan.
Gerakan anti kemapanan pertama kali dipopulerkan oleh kaum Punk London berorientasi pada kritik terhadap pemerintah. Mereka mengkritik pemerintah atas kemerosotan moral para pelaku politik. Pemerintah dianggap sebagai pemicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa melalui lagu-lagu dan lirik sederhana dengan menyisipkan pesan-pesan propaganda perlawanan. Mereka hidup dengan prinsip kebebasan yang berarti pemberontakan dari segala diktat pemerintah. Bahkan Nietzsche mendefinisikan anti kemapanan sebagai usaha kemajuan untuk tidak cepat puas terhadap tatanan kemapanan yang sudah tercapai.
Definisi tersebut mulai mengalami pergeseran. Dalam praktik kaum anti kemapanan di Indonesia, manifestasinya hanya sebatas ‘atribut’ belaka. Bukan sebagai bentuk perlawanan atau iktikad mencapai perbaikan. Para pelaku anti-kemapanan menjelma menjadi pemuda malas yang enggan berjuang mencapai kemajuan, pemabuk dan brutal. Bahkan dalam beberapa kesempatan, mereka sempat menjarah warung-warung untuk mendapatkan makanan. Sehingga, anti-kemapanan tercover melalui tindakan berorientasi negatif.
Kaum anti kemapanan a la Indonesia ini mengkritik kemapanan orang-orang kaya. Mereka menganggap bahwa kemapanan yang diperoleh menjadi sebab menjamurnya kaum-kaum marjinal. Hal ini sebagai pretensi atas tindakan-tindakan brutal yang mereka lakukan. Seperti ungkapan Oscar Wilde dalam bukunya The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme) perihal kritiknya terhadap borjuis-aristokrat Victorian di negaranya. Menurutnya, lebih mudah bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran.
Praktik anti-kemapanan di Indonesia berfokus pada penderitaan atas kegagalan hidup mapan. Mereka berkutat pada perasaan menderita dan menyalahkan kemapanan yang diperoleh orang lain. Padahal kesempatan untuk berubah bagi semua orang adalah sama. Akan tetapi, karena mereka hanya fokus menyesali sekaligus mengkritik tanpa mempunyai keinginan berubah. Tentu, ini bukan suatu cerminan anti kemapanan yang sesungguhnya.
Oscar Wilde juga menjelaskan bahwa emosi manusia lebih cepat tersulut daripada daya pikir. Kertika melihat ketimpangan, manusia amat serius dan sentimental berupaya untuk mengatasinya. Namun yang dilakukan tidak memperbaiki malah menambah permasalahan tersebut. Hal ini disebabkan sentimen berlebihan yang konsep dasarnya kurang matang.
“Mereka dikelilingi oleh kemiskinan, keburukan, dan kelaparan yang kejam. Adalah tak terhindarkan apabila mereka merasa tergerak oleh semua itu. Emosi manusia lebih cepat terpanggil daripada daya pikirnya”
Akhirnya, tujuan konsep anti kemapanan untuk menciptakan struktur baru yang bebas dari penindasan dan bergerak menuju perbaikan hanya menjadi omong kosong. Kehadiran mereka tidak mengkonter isu kemiskinan, pengangguran, dan hal lain penyebab kesenjangan masyarakat. Lalu, akankah Indonesia bisa berubah menjadi lebih sejahtera dengan hanya bertahan pada zona nyaman ‘anti kemapanan’?
[Adha]
KOMENTAR