Ilustrasi |
Menjadi pahlawan tidak harus bertempur membawa senjata ke medan perang melawan penjajah demi membela bangsa. Seiring perkembangan zaman, dengan bermodal ponsel yang terhubung ke internet, kita dapat pula berperan sebagai pahlawan penyelamat negara. Saat ini musuh negara tidak hanya berasal dari dunia nyata, mereka pun mengintai dari dunia maya. Salah satunya menjelma dalam bentuk tautan yang dapat memecah-belah persatuan bangsa Indonesia.
Minimnya pengetahuan masyarakat terkait hal itu, membuat perpecahan yang tak terlihat di dunia nyata semakin masif terjadi. Di dunia maya orang-orang ramai mengutarakan pendapat dan menyebarkan informasi pada akun pribadinya maupun grup-grup media sosial semisal Facebook. Hal tersebut patut disayangkan karena validitas sumbernya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sehingga cacian dan makian menjadi viral di kalangan netizen menjadi satu hal yang biasa terjadi.
Kasus terbaru adalah dugaan penistaan agama oleh Ahok. Banyak netizen mengutarakan pendapatnya berdasar pada tautan-tautan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banyak pula netizen yang tiba-tiba mengerti agama setelah membuka Google. Pada akhirnya muncul pertikaian karena adanya perbedaan pendapat.
Lantas bagaimana kita menyikapi fenomena tersebut? Bersikap dan berlaku bijak, itulah tindakan yang tepat. Bijak dalam mencari sumber informasi, memilah dan memilih sumber-sumber yang validitasnya jelas sebagai media yang sah untuk memberikan informasi. Serta bijak dalam menulis tautan yang akan diunggah ke media sosial.
Kita perlu berhati-hati dalam menuliskan segala hal terutama hal yang sensitif, karena apa yang kita unggah ke media sosial dapat mempengaruhi masyarakat luas. Jangan sampai hanya karena satu postingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, menimbulkan konflik yang dapat menghambat kemajuan bangsa. Negara hanya akan membuang waktunya, karena hanya sibuk melerai konflik rakyatnya tanpa sempat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kaitannya dengan mahasiswa, seharusnya sebagai pengontrol sosial tidak turut terjebak menyebarkan tautan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mahasiswa dituntut untuk memberikan tautan yang bermanfaat, tidak hanya menuliskan keluh-kesah, percintaan, juga memamerkan kehidupannya.
Namun, melihat realitas yang ada, apakah kita sebagai mahasiswa telah melakukan hal yang tepat di media sosial? Sampai kapan kita hanya pasif dan tidak mau tahu akan kondisi negara ini? Atau mungkin kitalah “aktor” di balik konflik yang terjadi?
Mahasiswa sebagai salah satu harapan bangsa harus dapat menjalankan fungsinya di masyarakat sebagai agent social of control harus memperhatikan masalah-masalah di atas. Agar jargon-jargon besar di atas tidak hanya menjadi platform saja. Melainkan dapat menjadi kenyataan dengan kesadaran penuh untuk menjadi pahlawan masa kini. (Riyan)
KOMENTAR