![]() |
gambar: nusantaranews.co |
Narasi-narasi ketakutan sengaja diproduksi untuk menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat. Salah satunya adalah isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu terkait PKI akan terus digulirkan selama berlangsungya masa kampanye, untuk menyerang satu sama lain.
Isu PKI dianggap sexy untuk meraup keuntungan dan mendulang suara masyarakat indonesia. Para politisi tahu bahwa masyarakat Indonesia mempunyai trauma sejarah dengan PKI. PKI didaulat dalam sejarah versi "orde baru" telah melakukan pembunuhan massal dan pemberontakan di masa lampau.
Ketika isu tersebut terus digulirkan secara masif di tengah-tengah masyarakat akan memunculkan persepsi bahwa pKI benar-benar akan bangkit kembali. Meme dan visual lain tentang kebangkitan PKI terus dibuat untuk menyakinkan akan kebenaran isu tersebut. Meskipun faktanya, belum tentu benar adanya.
Joseph Goebbels pernah mengatakan, kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja. Doktrin Goebbels masih hidup sampai sekarang dan berhasil menjadi bagian strategi kelompok propagandis.
Baca Juga: Era-nya Milenial dan Redesign Skema Politik Nasional
Melalui Twitter, Facebook, WhatssApp dan media sosial lainnya, isu PKI terus dikampanyekan secara masif. Dan tak jarang, masyarakat percaya akan hal itu. Yang timbul adalah ketakutan dan kegaduhan publik. Jelas ini bahaya.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menjelaskan sejumlah pihak akan diuntungkan dari isu-isu tersebut. Mereka adalah politisi busuk, kaum agama radikal, pengusaha gelap, dan kelompok militer.
"Kenapa diuntungkan? Sebab dengan isu ini, pihak-pihak tersebut mencoba mencari celah ke kekuasaan dalam konteks pilkada 2018 maupun pemilu 2019," ujar Syamsuddin saat ditemui selepas acara pemaparan hasil survei nasional Saiful Muljani Research and Consulting (SMRC) bertema ‘Isu Kebangkitan PKI’ di Jakarta, Jumat (tirto.id, 29/9/2017)
Mengadopsi Kemenangan Trump dan Hitler
Politik ketakutan bukanlah hal baru dalam sejarah perpolitikan di dunia. Dalam sejarah politik dunia, Adolf Hitler adalah salah satu orang yang mempropagandakan narasi-narasi ketakutan untuk meraih tampuk kekuasaan. Hitler sendiri pernah menjabat Kanselir Jerman pada tahun 1993. Padahal, track record Hilter buruk. Ia merupakan mantan pecatan militer, pernah menjadi narapidana kasus makar, dan sangat membenci ras lainnya selain bangsa Arya Jerman.
Pada waktu itu, Hitler gencar mempropagandakan akan dominasi Amerika Serikat yang kapitalis dan Rusia yang komunis. Hitler juga senantiasa membuat narasi bahwa Yahudi ingin memulai perang dan memusnahkan bangsa Jerman. Propaganda ketakutan ini berhasil membawa Hitler meraih kekuasaan.
Baca Juga: Dosa Besar Pemilu
Bukan hanya kaum Nazi yang mengkampanyekan narasi ketakutan, Donald Trump ketika meraih pucuk kekuasaan melawan Hillary Clinton juga menggunakan cara yang sama. Bedanya, Trump mempropagandakan dominasi kaum imigran atas warga kulit putih Amerika Serikat. Kita tahu warga Amerika sebagai negara liberal, banyak warga imigran. Di antaranya adalah warga Muslim, Latin, kulit hitam, dan warga minoritas AS lainnya.
Trump gencar melancarkan propaganda bahwa warga imigran telah mencuri lapangan pekerjaan di Amerika. Mereka dianggap sebagai penyebab warga kulit putih Amerika kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, Trump menyebarkan ketakutan terhadap Tiongkok yang dinilai menjadi faktor utama jatuhnya ekonomi AS.
Padahal, apa yang dikampanyekan Trum terkait ekonomi AS berbading terbalik sejumlah fakta dan data resmi di lapangan, bahwa kondisi ekonomi Amerika pada waktu itu berada dalam kondisi yang relatif aman. Namun sebagaimana dijelaskan lembaga riset Pew Research Center, mayoritas masyarakat percaya bahwa fakta lapangan adalah ekonomi Amerika semakin memburuk. Hampir 78 persen pemilih Trump percaya akan hal itu dengan dibuktikan tingginya angka kejahatan dan kriminalitas.
Baca Juga: Santri Yes, Golput No
Narasi pesimisme dan ketakutan sengaja dikonversi untuk mengangkat elektabilitas Trum saat itu. Ia menjadikan krisis ekonomi dan politik sebagai fokus utama kampanyenya. Terbukti strategi ini berhasil mengantarkan Trump menduduki tahta kekuasaan di AS.
Pada akhirnya, Trump terpilih menjadi presiden AS mengalahkan Hillary Clinton berkat jualan krisis dan ketakutan. Penulis menilai isu PKI dikampanyekan kembali agar menumbuhkan trauma sejarah dan narasi ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja, tujuannya adalah mengangkat elektabilitas calon. Politik ketakutan inilah yang berpotensi membawa kondisi saat ini pada apa yang dikatakan Thucydides, ketakutan adalah unsur pembentuk kekuasaan, Fear is the Source of Power. [KA]
Artikel Lain:
Jejak Politik Mantan Perwira
Pemilu, Untuk Rakyat atau Pejabat?
Hoaks vs Parodi di Pilpres 2019
Jokowi dan Bayang Politik Militer
Membendung Bahaya Laten Politik Identitas
KOMENTAR