Ketika memasuki Tempat Pemungutan Suara pada Pemilihan Umum Presiden, seorang perempuan menemukan sebuah pistol di sana. Ditariknya pelatuk dan Dorr! ia tidak sadar bahwa yang sedang ia pegang adalah senjata pemusnah masal.
Narasi di atas adalah ilustrasi sederhana yang sengaja saya buat atas sebuah kuotasi yang saya temukan saat membaca artikel tentang pemilihan umum di Negeri Paman Sam; Amerika. Kuotasi ini cukup menarik untuk direnungkan mengingat yang mengucapkannya- Abraham Lincoln- adalah Founding Father yang membidani lahirnya negara Adikuasa tersebut. Kalimatnya seperti ini “The Ballot is Stronger than the Bullet”- Kertas Suara jauh lebih kuat dari pada Peluru.
Kertas suara memiliki peran yang signifikan dalam menentukan masa depan sebuah negara. Nasib Indonesia hingga lima tahun kedepan bergantung pada hasil perhitungan kertas suara pasca pemilu 2014 kini. Bagaimana mungkin sebuah kertas menentukan nasib suatu negara? Tentu ia tidak menjadi elemen tunggal dalam masalah ini, ada serangkaian faktor pendukung seperti partai politik, kampanye, dan pastinya partisipasi kita yang semuanya terangkum dalam sebuah agenda besar bernama pemilihan umum.
Partai politik dan Representasi Demokrasi
Membincang soal pemilu tak bisa dilepaskan dari persoalan tentang partai politik. Dalam teori demokrasi modern, partai-partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Partai-partai dianggap memiliki peranan menyeluruh sebelum, selama dan sesudah pemilu. Partai politik memiliki peran yang sentral sebagai pengorganisir utama yang membentuk, melaksanakan dan mengawasi proses penyusunan kebijakan. (Klingemann Dkk, 1994)
Selama tiga bulan pertama sejak Indonesia merdeka Indonesia hanya menganut dan mengenal partai tunggal yaitu PNI yang didasarkan pada keputusan PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP, pemerintah mengeluarkan maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat agar mendirikan partai-partai politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai dengan Desember 1945 tidak kurang 9 partai lahir. Sebagai bentuk perwujudan dari sistem demokrasi yang dianut, pemilihan umum di Indonesia sejak saat itu hingga sekarang menggunakan sistem pemilihan umum multi partai.
Tahun 1999, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, antusiasme rakyat dalam perpolitikan telah melahirkan ratusan partai politik. Kendati demikian, hanya ada 48 partai yang lolos verifikasi sebagai peserta pemilu 1999, 24 partai yang lolos pada pemilu 2004, 38 partai pada pemilu 2009, dan 12 partai pada pemilu 2014 kali ini.
Yang jadi pertanyaan adalah; apakah pemilu dengan sistem multi partai ini sudah sepenuhnya merepresentasikan jargon sakral demokrasi; dari, untuk dan oleh rakyat? Jawabannya Tidak. Atau sebagai bentuk optimistik pada pemilu 2014 ini, mari kita jawab Belum. Ya, sistem multi partai sampai dilaksanakannya pemilu 2009 belum sepenuhnya menjadi representasi, apalagi refleksi dari sistem demokrasi di Negara ini. Kecurangan-kecurangan seperti jual beli suara, money politic, pelanggaran dalam kampanye, dan sebagainya masih banyak terjadi.
Kampanye; Ajang Pertarungan Citra
Satu hal yang tidak boleh dilupakan sebagai bagian penting dalam pelaksanaan pemilu adalah kampanye. Proses ini bisa dikatakan menjadi determining factor, faktor penentu jumlah suara yang akan diperoleh sebuah partai dan oknum-oknum yang diusungnya dalam pemilu. Kampanye menjadi ajang pertarungan citra antar peserta pemilu dan simpatisan yang mendukungnya.
Citra-citra yang terbentuk ini dalam teori komunikasi politik Dan Nimmo, dikatakan memiliki peran untuk membentuk opini Publik. Opini di sini tidak semata dimaknai sebagai argumentasi, namun lebih dalam lagi, opini adalah kepercayaan, nilai dan pengharapan yang disuarakan melalui perilaku. Opini publik inilah yang menuntun seseorang dalam menentukan tindakan politiknya. Dan sekali lagi, pembentukan citra adalah faktor utamanya. (Nimmo: 1989)
Begitu signifikannya citra dalam membentuk opini sampai-sampai di Indonesia belakangan mulai muncul istilah politik pencitraan. Istilah ini mengarah pada kegiatan pembentukan citra seorang aktor politik, sehingga ia bisa dikenal baik, santun dan layak dipilih. Kampanye yang seharusnya disediakan sebagai ajang pertarungan visi misi calon justru dimanfaatkan sebagai ajang pertarungan citra.
Pencitraan ini biasanya dipublikasikan melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Menjelang pemilu, televisi, radio, koran bahkan sosial media dipenuhi oleh iklan dan pemberitaan tentang para calon legislatif, calon presiden beserta partai yang mengusungnya. Bahkan beberapa tahun terakhir, media banyak dikuasai oleh oknum-oknum politik. Akibatnya, media banyak diarahkan untuk kepentingan politis pemiliknya. Keberpihakan media bukan lagi pada kebenaran namun pada kekuatan politik yang menungganginya.
Masyarakat dibombardir dengan berita-berita yang saling menjatuhkan satu sama lain. Media yang dikuasai partai A akan mengunggulkan calon dari partai A dan menjatuhkan lawannya dari partai B. Dan begitu sebaliknya. Kampanye di media massa pada akhirnya bukan lagi sekedar publikasi dan sosialisai visi misi melainkan lebih mengarah pada kampanye hitam atau black campaign yang jauh dari kesan santun dan damai. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang edukasi politik bagi masyarakat awam politik, justru jauh dari kesan mendidik. Akibatnya, citra politik bagi masyarakat awam menjadi sesuatu yang negatif; kejam, jahat dan kotor.
Euforia dalam Pemilihan Umum
Sebagai salah satu model sistem pemilihan wakil rakyat, Pemilihan Umum bisa dikatakan menjadi salah satu keistimewaan tersendiri yang hanya dimiliki negara-negara demokrasi. Bahkan pemilu seringkali diasumsikan sebagai pesta akbar demokrasi. Laiknya sebuah pesta, pemilu dipenuhi dengan euforia dan tentu saja pemborosan biaya.
Dalam sejarahnya, pemilu di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada perjalanannya, setelah amandemen UUD ’45 disepakati pada tahun 2002, Pemilihan presiden dan wakil presiden yang pada mulanya dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Pelaksanaan pemilu menandakan terbukanya kran kebebasan memilih dan bersuara bagi rakyat. Hal ini hampir inharen dengan pemaknaan demokrasi sebagaimana yang kita baca dalam pengertian umum; dari, oleh dan untuk rakyat. Mengapa harus hampir? Karena kenyataannya memang begitu.
Demokrasi -dalam hal ini direpresentasikan dengan pelaksanaan pemilu- dalam praktiknya memang dilaksanakan dari rakyat, karena jamak kita ketahui bahwa anggaran pemilu dan peserta pemilu semuanya berasal dari rakyat. Pemilu Oleh rakyat, karena para pemilih adalah seluruh warga negara Indonesia. Meski ini juga perlu disangsikan, apa benar seluruhnya oleh rakyat jika masih ada praktik money politic dan jual beli suara oleh para calon wakil rakyat. Untuk rakyat, yang terakhir ini adalah yang paling bullshit. Apa iya selama ini mereka yang duduk di parlemen dan juga Istana presiden, sudah benar-benar melaksanakan amanat demokrasi “untuk rakyat”?
Pemilu tak lebih dari urusan seremoni, pesta (atas nama) rakyat, hajatan “kondangan” nasional yang apabila kita tidak ikut guyub di dalamnya akan malu dengan pak Lurah, pak RT/RW dan tetangga sekitar. Jika kita tengok kembali, pemilu yang sudah terjadi belum sepenuhnya memberi perubahan yang signifikan dalam pemerintahan. Pemberitaan seputar politik semakin hari semakin dipenuhi laporan tentang korupsi yang pelakunya tidak lain adalah mereka yang dulu terpilih melalui kertas-kertas suara di Tempat Pemungutan Suara, mereka -yang secara langsung atau entah keterwakilan partai- terpilih dalam pemilu.
Pemilu menjadi penentu kemajuan ataukah kehancuran yang terjadi di negara ini selanjutnya. Dan entah sadar atau tidak, dalam prosesnya, tangan-tangan kitalah sesungguhnya yang bekerja. Kita adalah the lord of the gun dalam pesta akbar politik lima tahunan ini, maka terserah kita mau kemana mengarahkan pelatuk. Tangan kita yang akan menentukan, akan dimana negara ini dibawa? (Faiqoh Rosita)
KOMENTAR