gambar: pixabay.com |
Dua minggu lalu, saya mengikuti kegiatan penelitian sosial kemasyarakan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di lapangan, saya menjumpai berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari kalangan petani, pedagang, mahasiswa dan lain-lain.
Saya ditugaskan di tiga kecamatan, tepatnya di Kecamatan Susukan, Ciwaringin dan Gempol. Mayoritas warga desa berprofesi sebagai petani, berdagang, dan ada pula yang kerja di pabrik atau instansi pemerintah.
Setiap hari saya mendatangi warga di tiga kecamatan tadi secara bergantian, untuk bertanya perihal sosial kemasyarakatan, khususnya persoalan pemilu. Ketika ditanya ihwal pemilu, beragam respon timbul dari warga. Ada yang acuh, respek, dan ada pula yang bersikap kritis.
Satu jawaban menarik keluar dari salah seorang warga yang kritis terhadap pelaksanan pemilu. "Sebenarnya pemilu itu untuk siapa sih, rakyat atau pejabat?" Sikap kritis responden tersebut merupakan cerminan dari "buruknya" kinerja wakil rakyat selama lima tahun terkahir. Sepuluh warga yang saya temui, 70 persen di antaranya tidak mengetahui hasil kinerja anggota DPR. Tahu saja tidak, bagaimana bisa menilai? Lantas ke mana saja para wakil rakyat saat ini sampai rakyat yang mereka wakili tidak mengenalnya?
Warga menilai calon anggota dewan akan giat menyapa warga secara langsung ketika menjelang pemilu ini. Bahkan, foto mereka terpampang di setiap sudut jalan. Seringnya mengganggu pemandangan jalan.
Mereka kerapkali mengobral janji manis untuk menarik simpati masyarakat. Janji manis dan angin surga demi kemaslahatan rakyat menjadi senjata utama meraih dukungan warga. Padahal “janji surga” yang kerap diumbar, merupakan amanat rakyat terhadap pemerintah yang memang sudah di atur dalam undang-undang dasar 1945.
Meskipun demikian, setelah menjabat mereka lupa akan janji-janjinya. Jangankan untuk menengok warga, menyapa pun enggan. Akhirnya, kehidupan warga pun berjalan seperti biasanya, tanpa ada perubahan yang signifikan.
Sibuk Memperkaya Diri
Anggota DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, malah sibuk memperkaya diri dan menambah pundi uang pribadinya. Perilaku korup masih menjadi tontonan anggota dewan hari ini. Harusnya mereka menjadi contoh baik bagi rakyat, tapi malah korupsi dan sikap serakah yang ditampilkan.
Kasus korupsi berjamaah anggota DPRD Kota Malang yang sempat membuat gempar menambah daftar tindak pidana korupsi di Indonesia . Bisa dibayangkan, sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 terlibat kasus korupsi dugaan kasus suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015.
Kasus lain adalah kasus korupsi yang dilakukan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Sebagaimana dilansir Kompas (Jumat, 7/9), sejumlah anggota DPRD Provinsi turut menerima uang dari Zumi Zola.
Selain menerima uang, Zumi Zola juga memberika fee proyek kepada pimpinan DPRD. Tercatat, Zumi Zola memberikan uang suap sebesar Rp 16,4 miliar kepada 53 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019.
Kasus di atas hanya seklumit contoh korupsi di negeri ini. Tentu masih banyak rentetan kasus korupsi yang dilakukan anggota DPR dan pejabat negara lainnya. Para koruptor ini secara tidak langsung telah menegasikan rakyat, yang telah dengan rela dan ikhlas memilihnya.
Lalu, bagaimanakah mewujudkan Indonesia bebas korupsi? Setidaknya kita dapat memulai dari diri kita sendiri dengan menguatkan peran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis yakin agama mempunyai peran penting dalam mengatur prilaku manusia agar menjadi lebih baik. Dengan catatan, agama tidak hanya dipandang sebagai ritual semata, tapi menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah kita. Maka, pemahaman dan keteguhan menjalankan prinsip-prinsip agama dapat menjadi solusi efektif anti korupsi, khususnya bagi seorang pemimpin.
Langkah lain adalah mengubah pola dan sistem perpolitikan yang berkembang di Indonesia. Selama ini, kost politik yang ditanggung para caleg sangat tinggi.
Para politisi harus mengeluarkan biaya besar untuk kampanye di setiap perhelatan demokrasi. Hal ini, menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, dapat memicu korupsi massal di parlemen.
Namun, sebesar apapun biaya yang dikeluarkan caleg, ketika terpilih sebagai anggota dewan, kepentingan rakyat yang harus diutamakan, bukan menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan korupsi. Jangan sampai pemilu hanyalah momentum sementara, untuk rehat bekerja. Tetapi tidak berdampak apa-apa. [kl]
KOMENTAR