![]() |
Kompasiana |
Presiden Jokowi kemungkinan akan melantik Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia pada Jumat (08/12/17) di Istana Presiden Bogor, Jawa Barat.
Seperti yang dilansir Kompas, Kamis (07/12/17), Hadi Tjahjanto menegaskan ia ingin mengikuti jejak Jenderal Soedirman sebagai sosok panglima yang setia, tidak berpolitik, serta menjaga hubungan bawahan dan atasan agar tetap cair.
Selain itu, dalam penyampaian visi-misinya, litbang kompas mencatat ada sebanyak 51 diksi "perang" digunakan Hadi Tjahjanto dalam tulisannya itu. Ia menjelaskan bahwa kata "perang" merupakan gambaran tantangan TNI kedepannya bukan hanya perang secara fisik, namun melalui dunia maya (cyber warfare).
Peran Militer dalam Politik Indonesia
Pada masa parlementer (1945-1959), kepemimpinan serta komando militer masih belum terstruktur. Diberlakukannya sistem parlementer sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X, posisi presiden sebagai panglima tertinggi sudah tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya hal ini masih berlaku.
Puncaknya, pada tanggal 17 Oktober 1952, sebanyak 30 ribu massa melakukan demonstrasi ke gedung parlementer di Jakarta. Mereka menuntut agar presiden membubrkan dewan perwakilan rakyat sementara, kemudian mengadakan pemilu. Ketika itu, mobil-mobil berlapis baja dan beberapa meriam terlihat tepat mengarah kepada presiden ketika berbicara.
Setelah itu, presiden berbincang dengan 17 perwira sebagai perwakilan demonstran, Soekarno tetap tidak memenuhi permintaan mereka. Perbincangan antara Soekarno dan 17 perwira pun tidak menemui jalan keluar, semua pihak bersitegang dengan keinginan masing-masing.
Lalu pada tahun 1965, Jenderal Nasution merumuskan sebuah konsep "Jalan Tengah". Ketika itu tentara mencetuskan fungsinya sebagai kekuatan militer dan kekuatan sosial-politik. Sebagai kekuatan sosial-politik ketika itu, mereka berhak ikut dalam bidang, ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan.
Meski waktu itu belum dicetuskan secara resmi, dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI. sekarang dikenal dengan sebutan TNI) ketika itu sering dibuat alasan untuk mengendalikan bidang politik dan ekonomi.
Tidak hanya itu, di era Soeharto, ternyata militer menjadi kekuatan utama pemerintah untuk "menghancurkan" organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militan (Iswadi, 1998). Sehingga, tekanan militer terhadap pemerintahan yang tidak pro dengan Soeharto begitu kuat terasa. Meskipun, dalam refernsi yang berbeda ada yang mengatakan bahwa Soeharto digulingkan karena kekuatan militer yang sudah tidak sejalan dengannya.
Peran militer di ranah politik begitu terasa, bahkan kejatuhan presiden Abdurahman Wahid dan fenomena Megawati terhadap pencalonan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya melakukan konspirasi politik dan militer guna mendukung serta memantapkan kekuasaannya (M Sadli, 2002).
Belajar Pada Jendral Soedirman
Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga. (Jendral Soedirman)
Perkataan Soedirman ketika berada di Jogjakarta tahun 1949 kiranya perlu direnungkan oleh anggota milter Indonesia saat ini. Peran mereka dalam menjaga kedaulatan negara, kiranya tidak perlu dicampuradukan dengan kepentingan politik. Sehingga, visi-misi luhur TNI bisa terlaksana dengan baik.
Sejumlah pihak menilai keputusan Presiden Jokowi memilih Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI sebagai langkah yang tepat. Seperti dilansir Kompas, Kamis (7/12/17) Hadi Tjahjanto memiliki visi yang jelas, tidak mencampuradukan urusan militer dengan politik. Satu komitmen yang sangat dibutuhkan dari seorang panglima, apalagi menyambut tahun politik pada 2018 dan 2019 mendatang.
Akankah Hadi Tjahjanto akan memegang teguh komitmennya tersebut? Semoga saja begitu.
Sebagai warga negara yang cinta akan kedamaian, saya berharap Hadi Tjahjanto bisa merealisasikan visi-misinya selama menjabat sebagai Panglima TNI, sehingga membuat TNI semakin netral dan tidak dikuasai oleh partai politik. [Abdi]
KOMENTAR