Tanggal 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan. Membaca kata "pahlawan", apa yang teman-teman pikirkan? Apakah peperangan yang harus menumpahkan darah dan mengorbankan nyawa? Apakah yang mengikrarkan dirinya untuk membela dan memperjuangkan Nederlandsch Oost-Indi yang kemudian menjadi Indonesia?
Selama ini kita terjebak pada pengertian pahlawan yang gugur dalam perang. Padahal kata pahlawan luas maknanya. Cerminan dari orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran dapat dikatakan pahlawan.
Pahlawan tidak harus identik dengan pedang dan teriakan "serang" kepada musuh. Pelabelan pahlawan yang selama ini membuat perspektif kita tentang pahlawan begitu sempit.
Seseorang yang dapat dikatakan pahlawan ketika ia memiliki jiwa kepahlawanan, pahlawan untuk diri sendiri yang melepaskan diri dari hal-hal yang buruk hingga ke ranah kejahatan. Bukan hanya untuk pribadi semata, pahlawan juga berpengaruh untuk lingkungan. Selain itu tentu untuk kemanfaatan di lingkungan sosial.
Membahas pahlawan penulis jadi teringat dengan Muhammad, sang revolusionis. Saat momen hari pahlawan tahun ini, bertepatan pula dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 9 November 2019. Selain gelar nabi beliau juga menjadi tolak ukur pahlawan sepanjang masa.
Tidak hanya menghempaskan pedang, Muhammad juga berperang dengan gagasan dan ideologi baru. Sejarah mencatat beliau mendamaikan kota Madinah yang plural dan sering terjadi peperangan antar suku Arab sendiri. Beliau membuat Piagam Madinah yang salah satu isinya tentang ajakan untuk menumbuhkan rasa kesatuan dengan perdamaian.
Baca Juga: Guru, Masihkah Disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
Tidak jauh berbeda dengan keadaan Indonesia yang beragam tatanan sosial masyarakat dan budayanya. Indonesia juga memiliki alat perdamaian yang dimaknai sebagai Pacasila. Akan tetapi fenomena yang terjadi sekarang, Pancasila tidak banyak diresapi oleh anak bangsa sendiri, melihat banyaknya kasus yang berbau radikalisme atau paham kanan.
Paling disayangkan dari kasus tersebut, kaum milenial-lah yang menjadi peranan aktif. Media mengatakan keterlibatan milenial memenuhi gerakan radikal yang sangat masif ini. Ketika makna pahlawan dapat diartikan lebih luas makna peperangan sendiri juga lebih luas dari hempasan pedang. Pahlawan muncul dalam setiap masa begitu juga perang, perang ideologi misalnya.
Seperti kasus radikalisme dengan korbannya didominasi oleh kalangan milenial yang erat dengan teknologi dan zaman banjir informasi yang sangat sulit dibendung ini. Bidikan peluru media sosial berhasil menembus benteng perang ideologi. Media sosial menjadi arena yang menarik untuk menyuburkan ideologi yang bersebrangan dengan Pancasila.
Padahal kaum milenial menjadi penggenggam dan penentu arah ke mana Indonesia akan pergi. Ketika kita membaca dan mampu melihat kasus tantangan zaman, kecil kemungkinan untuk masuk dalam lingkaran gelap radikalisme dan intoleransi. Seperti yang dikatan Hellen Keller dalam bukunya Aku dan Duniaku, "Kebutaan tidak membatasi visi mentalku, cakrawala intelektualku tak terbatas luasnya, semesta yang dilingkupinya tak terukur".
Kata "kebutaan" dalam kutipan Hellen di atas, ketika ditafsirkan secara kontesktual, dimana kita dapat menyisir informasi yang harus kita telan dengan banyaknya informasi hoaks yang semakin masif. Saat kita melihat tanpa mempunyai visi bisa dikatakan dalam keadaan buta, buta dalam informasi juga dalam intelektual.
Mengingat kaum milenial punya tugas sebagai Iron Stock, Agent of Change, Guardian of Value, Moral Force, Social Control, menuntut kita untuk lebih memahami nasib Indonesia selanjtnya. Jiwa kepahlawanan di era ini sangat diharapkan tidak hanya dimaknasi sebatas menumpahkan darah. Tetapi lebih subtantif dengan mampu menjadi benteng pertahanan untuk menghadapi problem zaman.
Lalu, apakah kita sebagai generasi milenial sudah meilhat dan mampu membaca makna pahlawan bukan dalam arti mainstram? Dan mampukah kita menjadi sosok pahlawan milenial? [Safira]
KOMENTAR