"Politik itu wasilah, bukan ghoyah". Tutur tokoh Nahdlatul Ulama, Mustafa Bisri (Majalah IDEA, Black Campaign #Rapopo). Politik berperan sebagai wasilah atau alat untuk mencapai tujuan bersama, bukan ghoyah atau tujuan itu sendiri. Namun kenyataannya, sebagian elite politik Indonesia menganggap politik sebagai ghoyah. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, salah satunya memainkan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) yang berujung pada kekerasan simbolik.
Seperti halnya pilkada di DKI Jakarta 2017 lalu, isu SARA menjadi alat efektif untuk memecah masyarakat menjadi beberapa kelompok, mengarahkan mereka untuk memilih pasangan tertentu. Akibatnya ujaran kebencian dan berita hoax berhamburan di media sosial bahkan menjalar dalam realitas keseharian masyarakat.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menilai empat aspek dalam isu SARA merupakan manifestasi dari sikap primordialisme yang bersifat perenial (Kompas). Sikap ini menunjukkan perilaku seseorang atau kelompok yang membanggakan, mendedikasikan, serta memiliki emosi kuat terhadap agama, ras, sejarah, bahasa, serta negara tempatnya berasal.
Bagi masyarakat Indonesia, primordialisme menjadi pemahaman yang mengakar dalam alam bawah sadarnya. Jika primordialisme tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, maka mampu memicu banyak ketimpangan. Salah satu contohnya ketika primordialisme berupa isu SARA dijadikan komoditas politik, akan terjadi kisruh dalam masyarakat yang membela identitas primordial masing-masing.
Primordialisme sebagai komoditas politik diperjualbelikan dalam bentuk penguatan politik identitas. Sebagian elite politik di negeri ini berlomba mengenakan dan menonjolkan simbol agama, suku, atau kelompok untuk menggalang dukungan. Hingga muncul istilah keagamaan yang menjadi jargon politik tanpa mempertimbangkan esensinya. Seperti kalimat takbir yang sering digaungkan dalam momentum unjuk rasa politik. Identitas sosial telah menjadi faktor penentu kemenangan politik, sebab masyarakat masih kuat dalam memegang identitas primordialnya.
Media Sosial; Ladang Konflik Baru
Di era digital, konflik antar identitas sosial tidak hanya terjadi di dunia nyata, melainkan lebih masif di media sosial. Netizen tidak mengenal batas-batas tabu. Moral dan etika diterabas begitu saja demi membela dan mempertahankan identitas primordialisme masing-masing.
Padahal identitas seseorang di dunia maya sangatlah ambigu dan multitafsir berupa sebuah akun. Akun tersebut merepresentsikan identitas asli seseorang secara identik. Atau sebaliknya, tidak mencerminkan identitas siapapun di dunia nyata alias identitas palsu. Jenis identitas yang kedua inilah perlu diwaspadai.
Dalam praktik politik praktis, identitas sosial palsu digunakan sebagai peralatan perang untuk memenangkan cyber war. Sebut saja kasus Saracen 2017 lalu, mereka memiliki 800 ribu akun media sosial yang digunakan untuk menyebar hoax. Membuat masyarakat saling berdebat bahkan bertikai. Mengikis lapisan-lapisan moral luhur, warisan nenek moyang bangsa ini.
Mengutip pendapat seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, "Jika seseorang seseorang ingin meraih cita-citanya yang tertinggi, ia tidak akan selalu merasakan bahwa bermoral itu sebagai hal yang rasional." Setidaknya itulah yang dilakukan sebagian elite politik di negeri ini, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politisya.
Menjelang pesta demokrasi 2018 dan 2019, mungkin saja kelompok semacam Saracen akan muncul kembali untuk menyebar isu hoax atau ujaran kebencian. Parahnya, minimnya budaya membaca membuat sebagin masyarakat langsung percaya saja, tanpa klarifikasi dan verifikasis dahulu.
Kembali pada Khittoh Luberjudil
Pemilu di Indonesia memiliki konsep ideal berupa pelaksanaan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjudil). Konsep ini mencerminkan harapan pada pemerintahan baru agar menyempurnakan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Setelah menjadi calon wakil rakyat pun mereka harus memenuhi kepentingan publik, sebagai wujud dari janji program kerja saat kampanye.
Keinginan mendapat pemimpin yang dapat melayani masyarakat tentu bergantung proses pemilihannya. Apakah mudah tergoda oleh iming-iming materi, daya tarik emosional primodial, atau memperteguh dan mempertimbangkan secara rasional untuk menentukan pilihan. Calon wakil rakyat pun harus mempertimbangkan politik bersih dan tidak menggunakan black campaign.
Tercapainya hakikat pelaksanaan pesta demokrasi bergantung prinsip luberjudil yang dipatuhi seluruh lapisan masyarakat demokratis. Sebagai bangsa yang bermoral, masyarakat Indonesia tidak perlu menerapkan konsep politik a la Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politisnya. Sebab tindakan itu rawan menimbulkan konflik antara masyarakat Indonesia yang multikiultural. Tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai falsafi yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. [NZ]
Seperti halnya pilkada di DKI Jakarta 2017 lalu, isu SARA menjadi alat efektif untuk memecah masyarakat menjadi beberapa kelompok, mengarahkan mereka untuk memilih pasangan tertentu. Akibatnya ujaran kebencian dan berita hoax berhamburan di media sosial bahkan menjalar dalam realitas keseharian masyarakat.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menilai empat aspek dalam isu SARA merupakan manifestasi dari sikap primordialisme yang bersifat perenial (Kompas). Sikap ini menunjukkan perilaku seseorang atau kelompok yang membanggakan, mendedikasikan, serta memiliki emosi kuat terhadap agama, ras, sejarah, bahasa, serta negara tempatnya berasal.
Bagi masyarakat Indonesia, primordialisme menjadi pemahaman yang mengakar dalam alam bawah sadarnya. Jika primordialisme tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, maka mampu memicu banyak ketimpangan. Salah satu contohnya ketika primordialisme berupa isu SARA dijadikan komoditas politik, akan terjadi kisruh dalam masyarakat yang membela identitas primordial masing-masing.
Primordialisme sebagai komoditas politik diperjualbelikan dalam bentuk penguatan politik identitas. Sebagian elite politik di negeri ini berlomba mengenakan dan menonjolkan simbol agama, suku, atau kelompok untuk menggalang dukungan. Hingga muncul istilah keagamaan yang menjadi jargon politik tanpa mempertimbangkan esensinya. Seperti kalimat takbir yang sering digaungkan dalam momentum unjuk rasa politik. Identitas sosial telah menjadi faktor penentu kemenangan politik, sebab masyarakat masih kuat dalam memegang identitas primordialnya.
Media Sosial; Ladang Konflik Baru
Di era digital, konflik antar identitas sosial tidak hanya terjadi di dunia nyata, melainkan lebih masif di media sosial. Netizen tidak mengenal batas-batas tabu. Moral dan etika diterabas begitu saja demi membela dan mempertahankan identitas primordialisme masing-masing.
Padahal identitas seseorang di dunia maya sangatlah ambigu dan multitafsir berupa sebuah akun. Akun tersebut merepresentsikan identitas asli seseorang secara identik. Atau sebaliknya, tidak mencerminkan identitas siapapun di dunia nyata alias identitas palsu. Jenis identitas yang kedua inilah perlu diwaspadai.
Dalam praktik politik praktis, identitas sosial palsu digunakan sebagai peralatan perang untuk memenangkan cyber war. Sebut saja kasus Saracen 2017 lalu, mereka memiliki 800 ribu akun media sosial yang digunakan untuk menyebar hoax. Membuat masyarakat saling berdebat bahkan bertikai. Mengikis lapisan-lapisan moral luhur, warisan nenek moyang bangsa ini.
Mengutip pendapat seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, "Jika seseorang seseorang ingin meraih cita-citanya yang tertinggi, ia tidak akan selalu merasakan bahwa bermoral itu sebagai hal yang rasional." Setidaknya itulah yang dilakukan sebagian elite politik di negeri ini, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politisya.
Menjelang pesta demokrasi 2018 dan 2019, mungkin saja kelompok semacam Saracen akan muncul kembali untuk menyebar isu hoax atau ujaran kebencian. Parahnya, minimnya budaya membaca membuat sebagin masyarakat langsung percaya saja, tanpa klarifikasi dan verifikasis dahulu.
Kembali pada Khittoh Luberjudil
Pemilu di Indonesia memiliki konsep ideal berupa pelaksanaan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjudil). Konsep ini mencerminkan harapan pada pemerintahan baru agar menyempurnakan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Setelah menjadi calon wakil rakyat pun mereka harus memenuhi kepentingan publik, sebagai wujud dari janji program kerja saat kampanye.
Keinginan mendapat pemimpin yang dapat melayani masyarakat tentu bergantung proses pemilihannya. Apakah mudah tergoda oleh iming-iming materi, daya tarik emosional primodial, atau memperteguh dan mempertimbangkan secara rasional untuk menentukan pilihan. Calon wakil rakyat pun harus mempertimbangkan politik bersih dan tidak menggunakan black campaign.
Tercapainya hakikat pelaksanaan pesta demokrasi bergantung prinsip luberjudil yang dipatuhi seluruh lapisan masyarakat demokratis. Sebagai bangsa yang bermoral, masyarakat Indonesia tidak perlu menerapkan konsep politik a la Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politisnya. Sebab tindakan itu rawan menimbulkan konflik antara masyarakat Indonesia yang multikiultural. Tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai falsafi yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. [NZ]
KOMENTAR