gambar: www.nusabali.com |
Masyarakat yang masih melestarikan tradisi Larung mempercayai bahwa sajian yang dilarung ke laut bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan. Sesaji diberikan kepada arwah leluhur, penjaga laut, sebagai bentuk penghormatan kepada sesama mahluk Tuhan. Sebagai pengingat bahwa manusia tidak hidup sendirian, melainkan hidup berdampingan dengan mahluk lain.
Pelaksanaan tradisi Larung di berbagai wilayah Indonesia memiliki beberapa poin kesamaan. Di antaranya dalam hal perlengkapan dan peralatan yang digunakan. Semuanya memiliki makna tersendiri yang melambangkan bahwa Larung sesaji bukan kegiatan yang asal dilakukan. Di beberapa wilayah di Pesisir Jawa, masyarakat menyertakan kepala kerbau atau kambing dalam sesaji yang dilarung ke laut. Hal ini sebagai simbol kebodohan yang harus dibuang jauh ke laut. Selain itu terdapat bunga sebagai simbol permohonan dari keharuman. Maknanya manusia harus bisa membawa harum identitasnya ke manapun ia berada.
Baca Juga: Hari Raya, Rokok, dan Anak-anak
Di sisi lain masyarakat yang masih setia melestarikan tradisi Larung menolak keras isi pesan spanduk tersebut. Mereka meminta agar spanduk tersebut diturunkan, kalau perlu dibakar. Bahkan mereka akan melakukan segala upaya untuk menurunkan spanduk, meskipun harus beradu fisik. Pertentangan dua kelompok berbeda pemahaman ini semakin menambah daftar panjang konflik yang mengatasnamakan agama di Indonesia.
Larung, Sebuah Pesan Perdamaian
Terlepas dari segala perdebatannya, tradisi Larung menyiratkan pesan perdamaian. Pada umumnya tradisi larung hidup di tengah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada wilayah perairan.
Masyarakat menghantarkan makanan dan sesaji lainnya ke tengah sungai, danau, maupun laut, kemudian membiarkannya tertelan arus. Sebelum proses pelarungan, masyarakat terlebih dahulu memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Agar masyarakat senantiasa diberikan keberkahan dan terhindar dari segala bahaya di perairan.
Dalam praktiknya, ketika kelompok masyarakat menganut lebih dari satu agama, maka akan dilakukan doa menurut agama masing-masing. Sehingga tradisi ini menyimpan pesan perdamaian. Bahwa leluhur bangsa Indonesia mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap perbedaan. Para leluhur mengajarkan bahwa inti dari sebuah agama ialah berserah diri kepada Tuhan. Bagaimanapun cara dan implementasinya. Selain itu Larung juga menjadi wujud penghargaan kepada alam dan mahluk Tuhan tak kasat mata lainnya.
Seorang peneliti, Made Jayaratha dari Coral Reef Alliance menyampaikan secara filosofi dasar tujuan Larung merepresentasikan permohonan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Nilai kearifan lokal dalam tradisi Larung turut menjaga kelestarian lingkungan. Tradisi Larung ini jadi tonggak menegaskan para nelayan untuk senantiasa memperbaiki lingkunganya. Karena kelompok bisnis dan kelompok industri kini justru merusak. Dan jika kita melihat laut, sekarang dijadikan tong sampah karena lupa akan kearifan lokal yang sudah menjadi tradisi.
Masyarakat perlu menyadari bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan manusia, melainkan ada makhluk lain yang turut hidup berdampingan. Serta saling menjaga sesuatu yang sudah diciptakan. Dengan melihat tradisi Larung dari sudut pandang lain yang tidak normatif, maka masyarakat akan mampu menemukan nilai-nilai luhur dalam tradisi Larung yang diwariskan oleh nenek moyang. Masihkah ada tradisi Larung di daerah kalian?
[Sofia Najma]
Artikel Lain:
Menengok Sejarah Hari Perempuan Internasional
Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
Merayakan Hari Valentine yang Islami?
Siapa Berani Jadi Petani?
KOMENTAR