
Pernah menonton acara Waktu Indonesia Bercanda (WIB) yang dipandu Cak Lontong? Di acara ini semua jawaban dari teka-teki silang yang diajukan Cak Lontong terkesan nyeleneh, menjengkelkan, menggelitik, lucu, tetapi juga cerdas. Bagi sebagian orang, cara berpikir seperti Cak Lontong ini dianggap hanya sebagai media guyonan. Namun jika dilihat dari sisi lain, cara berpikir a la Cak Lontong ini bisa menjadi kritik terhadap cara berpikir masyarakat Indonesia yang sebagian besar dibentuk oleh sistem pendidikan yang berlaku di negeri ini.
Pada dasarnya Cak Lontong mengajak masyarakat untuk keluar dari cara berpikir linier yang cenderung normatif dan bermuara pada dua pilihan, benar atau salah. Cara berpikir satu arah semacam ini bisa kita jumpai dalam proses belajar-mengajar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Transfer pengetahuan hanya berlangsung satu arah, siswa pun terbiasa mengerjakan soal pilihan ganda. Hal ini menutup kemampuan siswa dalam berargumen dan mengembangkan gagasannya.
Seorang guru yang telah mengajar lebih dari 15 tahun, pernah menyebarkan angket kepada para siswanya. Hasilnya, sebagian besar siswa lebih menyukai soal pilihan ganda dibandingkan soal esai. Para siswa beralasan, menjawab soal pilihan ganda lebih praktis dan cepat. Jika menemui jalan buntu, siswa cukup menghitung kancing baju tanpa harus memeras otak.
Pengalaman peserta didik yang terbiasa berhadapan dengan soal-soal pilihan ganda akan mengendap dalam alam bawah sadar mereka, tanpa disadari akan membentuk karakter siswa menjadi pribadi yang enggan berpikir kritis. Kondisi tersebut mengakibatkan siswa Indonesia hanya kuat dalam kemampuan menghafal, sedangkan kemampuan menalar dan menerapkan ilmu pengetahuan sangat rendah (Kompas.com).
Tes model pilihan ganda mencerminkan hasil belajar siswa dari aspek kognitif semata. Artinya, siswa hanya paham bagian yang diajarkan dalam aspek teoritis, namun mereka akan kebingungan ketika menerapkannya dalam tataran praktis dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena soal model pilihan ganda tidak mampu mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah secara optimal. Mereka memilih jawaban bukan karena paham, tapi adanya pikiran, "daripada tidak diisi". Peserta didik jadi malas berpikir, plin-plan, peragu, dan mentah mengambil keputusan.
Padahal pendidikan diharapkan mampu membentuk siswa bernalar kritis sehingga mampu menggapai nilai serta kreatif dalam memecahkan suatu masalah. Namun pendidikan hari ini, seperti yang dikritik oleh seorang kritikus pendidikan, Ivan Illich, malah mengebiri kebebasan dan kreativitas anak dalam belajar. Di sekolah, anak-anak dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran berlandaskan kurikulum tertentu, yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Guru dan siswa dipaksa untuk mematuhi sistem yang dibuat penguasa yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Sekolah, Produsen Tenaga Kerja?
"Aku gagal dalam ujian semua mata pelajaran, tetapi temanku berhasil. Sekarang dia menjadi karyawan di Microsoft dan aku adalah pemilik Microsoft." Pernyataan Bill Gates tersebut semakin menegaskan bahwa sistem pendidikan di sekolah hanya berperan besar menyumbangkan lulusannya menjadi tenaga kerja. Banyak para ahli dari seluruh dunia setuju bahwa sistem pendidikan saat ini dirancang untuk menciptakan pribadi dengan mentalitas buruh yang memasok sebagian besar jumlah tenaga kerja sebagai pendukung era industri.
Mentalitas buruh semacam ini bisa dilihat ketika siswa berhadapan dengan setumpuk tugas dan kehidupan mereka diatur oleh dering lonceng. "Duduk ambil bukumu, buka halaman 40. Selesaikan soal nomor tiga, berhenti berbicara." Sepanjang hari, siswa tidak melakukan apapun selain mengikuti petunjuk dan instruksi. Kepatuhan terhadap keduanya menjadi indikator keberhasilan serta prestasi akademik siswa.
Akibatnya, di sekolah siswa kehilangan otoritas penuh untuk mengembangkan bakat dan minat yang mereka miliki. Semuanya dipaksa untuk menguasai seluruh mata pelajaran dalam waktu bersamaan. Sementara para ahli percaya bahwa otonomi sangat penting untuk anak-anak. Maka tidak mengherankan jika anak-anak mulai bosan dan kehilangan motivasi untuk berangkat sekolah.
Akibat lainnya, menurut seorang pemerhati pendidikan dari Khan Academy, Sal Khan menyebutkan bahwa siswa di sekolah konvensional telah melalui pengalaman fundamental yang tidak manusiawi. Rata-rata 30 siswa dalam satu kelas hanya diam mendengarkan pemaparan materi pelajaran dari guru tanpa diperbolehkan berinteriaksi satu sama lain. Sementara dalam setiap kelas siswa memiliki tingkat pemahaman yang berbeda, namun dituntut untuk mencapai nilai rata-rata di semua mata pelajaran.
Bercermin pada Finlandia
Finlandia selalu menjadi acuan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia yang mengedepankan aspek kemanusiaan dan interaksi sosial tanpa memaksakan kehendak. Kultur pendidikan di Filandia sudah terstruktur sedemikian rupa dimulai dari kelompok masyarakat terkecil, keluarga. Keluarga akan memberikan maternity package yang berisi tiga buku bacaan untuk ibu, ayah, dan anak. Masyarakat Finlandia menyakini bahwa usia balita merupakan tahap belajar pertama yang paling kritis dalam pembelajaran sepanjang hayat. Karena 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia ini dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun).
Menginjak usia sekolah, anak pun akan mendapatkan pembelajaran yang menyenangkan di sekolah melalui implementasi belajar aktif berbentuk kelompok-kelompok kecil. Metode pembelajaran juga tidak terpaku pada kurikulum pemerintah, mereka boleh menerapkan metode dan buku ajar sendiri sesuai dengan kebutuhan siswa. Dengan model pendidikan semacam ini, Finlandia perlahan mampu bangkit menjadi negara negara yang diperhitungkan dalam persaingan global. Bahkan Finlandia telah menjadi kiblat bagi penerapan sistem pendidikan yang ideal.
Lantas, mungkinkah sistem pendidikan di Indonesia bisa seperti Finlandia? [Zella]
KOMENTAR