Ilustrasi: Anak-anak merokok dengan berbagai alasan |
"Sampun, Dhe, lha niki," anak-anak itu menjawab sambil memperlihatkan rokok dalam genggamannya.
Dialog seperti ini sering penulis jumpai di Dusun Goleng, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan, ketika momen hari raya tiba. Sebuah fenomena yang tak wajar, anak-anak kecil diperbolehkan merokok oleh orang tuanya hanya di waktu hari raya. Ketika Idul Fitri dan Idul Adha, di setiap sudut desa akan dijumpai anak-anak yang sedang asyik menghisap lintingan rokok pemberian orangtuanya.
Masjid maupun mushola, penuh dengan anak-anak kecil dengan batang rokok di tangannya. Ada yang hanya sekadar menghisap lalu menyemburkan asapnya begitu saja. Ada juga anak yang menghisap lintingan tembakau itu dalam-dalam, kemudian menyemburkan asapnya hingga membentuk lingkaran.
Mereka pun tak sungkan-sungkan menyapa setiap orang yang ditemuinya saat memegang "pusaka" kebanggannya itu. Fonemena itu, tepatnya terjadi selama 2x24 jam dalam setahun. Dimulai pada malam takbiran hari raya sampai tiba waktu maghrib di hari selanjutnya. Dalam jangka waktu itu anak-anak berusia lebih dari delapan tahun diperbolehkan merokok. Aneh.
Hanya di hari raya, anak-anak di salah satu daerah di Kabupaten Grobogan tersebut pasti memiliki satu bungkus rokok sekaligus korek di saku mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan ada sebagian anak yang tidak masuk dalam daftar itu. Bisa saja, orangtuanya belum memberi izin, atau si anak yang justru belum ingin merasakan rokok seperti teman-temannya yang lain.
Kalau pun penulis boleh menyimpulkan dari obrolan ringan dengan masyarakat sekitar, alasan paling mendasar dari adanya fenomena tersebut, ternyata berangkat dari pemahaman masyarakat terhadap hari raya. Masyarakat memahami bahwa di hari raya Idul Fitri, mereka diajarkan untuk benar-benar menikmati anugerah Tuhan, berupa kebebasan, kesuksesan, dan kebahagiaan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa. Salah satu anugerah tersebut adalah rokok, sehingga anak-anak perbolehkan merokok sepuas hati mereka dalam jangka waktu 24 jam.
Fenomena ini pun berlangsung saat hari raya Idul Adha berlangsung. Bedanya di hari raya kurban ini anak-anak hanya mendapatkan jatah satu bungkus rokok. Jatah mereka habis ketika dua belas batang itu sudah menjadi abu. Karena hari esoknya, hanya ada darah yang mengalir dari hewan-hewan kurban. Tidak ada hidangan rokok untuk mereka seperti saat hari raya Idul Fitri, pun tidak ada tawaran merokok dari orang tua untuk anak-anak di daerah perbatasan Kudus-Purwodadi tersebut.
Puasa dan Hari Anak Bebas Merokok
Selain berpuasa sebulan penuh selama Ramadhan, masyarakat di daerah tersebut juga antusias dalam melaksanakan puasa sunnah tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah. Lalu, apa hubungannya dengan anak-anak bebas merokok? Begini, adanya kebebasan merokok menjadi harapan bagi orangtua agar si anak dapat menerima perintah untuk ikut melaksanakan puasa hingga takbir berkumandang. Menurut orangtua di daerah tersebut, pada umumnya sangat sulit mengajak anak-anak berusia delapan tahun untuk melaksanakan puasa.
Jadi, orangtua menggunakan rokok sebagai "perangkap" bagi anak-anak mereka. Ketika si anak telah memperoleh bonus untuk bebas merokok di hari raya, maka mereka harus bersedia melaksanakan puasa di tahun berikutnya sebagai konsekuensinya. Kenapa harus rokok? Bisa saja masyarakat di daerah tersebut memiliki pandangan bahwa rokok merupakan simbol kedewasaan seseorang.
Suatu pelajaran yang hendak diberikan para orangtua adalah ketika anak-anak sudah mencicipi rokok, mestinya mereka sudah tahu konsekuensi yang harus diterimanya. Salah satunya, bahwa rokok terbilang sebagai "jajanan" bagi orang dewasa, jika dilihat dari harganya. Di situ, anak-anak diharapkan akan lebih bisa menghargai nominal daripada uang. Akibatnya, anak anak akan mengikuti anjuran orangtua mereka tanpa ada kontrak tertulis.
Penulis teringat quote dari Psikolog Barat, Sigmund Freud yang berbunyi "Sometimes, cigar is just a cigar" bahwa kadang-kadang, rokok hanyalah sebuah rokok. Menurut penulis, perkataan Freud itu keluar ketika dia tidak bisa bebas merokok di negara adidaya, Amerika Serikat. Berangkat dari situlah, mungkin,
Freud merasa benci kepada Amerika Serikat, karena dia tidak bisa menikmati cerutunya dengan bebas. Bisa saja ketika kita hendak menelusuri lebih dalam, alasan orangtua di dusun Goleng memberikan kebebasan merokok bagi anak-anak di hari raya, kita akan berhenti dengan alasan yang sulit dijelaskan oleh masyarakat itu sendiri.
Adakah tradisi semacam ini di daerah Anda? (Islah)
KOMENTAR