
Permasalahan pangan menjadi salah satu topik pembahasan dalam debat capres kedua, 17 Februari 2019 lalu. Namun sayangnya, baik Jokowi maupun Prabowo, tidak membahas lebih jauh soal nasib petani yang menjadi garda terdepan dalam menjamin ketahanan pangan nasional. Mungkinkah profesi petani mulai diabaikan?
Tahun 2010, tercatat sebanyak 42,8 juta masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani. Namun pada tahun 2017, angkanya turun menjadi 39,7 juta jiwa (TribunPontianak.co.id 18/03/18). Berdasarkan data tersebut, jumlah petani di Indonesia dalam jangka waktu tahun 2010-2017 mengalami penurunan sebesar 1,1 persen per tahunnya. Selain di Indonesia, penurunan jumlah petani juga terjadi di negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Filiphina.
Dalam sebuah kesempatan, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendradi menegaskan bahwa sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional. Sektor pertanian menyumbang kontribusi besar dalam bidang pangan, penyediaan bahan baku industri, kewirausahaan, hingga penunjang produk domestik bruto. Peran strategis tersebut tidak diimbangi dengan adanya inovasi pertanian dan pemberlakuan kebijakan yang memihak kepada petani.
Melihat betapa besarnya peran petani, lantas mengapa profesi ini seakan dianggap rendah? Dalam banyak kasus, sebelum melepas putra-putrinya ke tanah rantau para petani selalu memberikan wejangan sakti. "Belajar atau bekerjalah yang benar. Supaya kamu tidak merasakan panasnya kerja di sawah kayak Bapak".
Harapan itu seakan menjadi pemutus regenerasi petani. Bahkan, ada studi yang mengatakan bahwa masyarakat berusia muda tidak lagi berprofesi sebagai petani desa, melainkan lebih memilih urbanisasi ke kota ataupun luar negeri untuk bekerja.
Dalam hal ini terdapat sebuah kontradiksi. Generasi muda lebih memilih bekerja di luar daerah bahkan di luar negeri. Setelah mendapatkan cukup uang, mereka akan membelikan sepetak sawah. Sementara dari sisi skill, mereka tidak bisa mengolah sawah tersebut. Hingga menyerahkan urusan sawah kepada orang tua mereka sebagai petani yang sudah mulai menua. Sawah hanya dipandang sebagai bagian dari bisnis properti yang bisa dijual dengan harga mahal ketika para petani yang sudah menua mulai tiada.
Profesi petani dianggap sebagai pekerjaan yang rendah dalam strata sosial dan tidak memiliki masa depan cerah. Padahal kegiatan bercocok tanam menghasilkan kebutuhan manusia sehari-hari, seperti bahan makanan. Bahkan Ir. Soekarno pernah mengatakan, "Soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa". Pernyataan presiden pertama Indonesia tersebut seperti mengatakan bahwa ketersediaan pangan juga menentukan apakah suatu bangsa akan terus hidup atau mati.
Kesejahteraan Petani, Bagian dari Reforma Agraria?
Reforma agraria menjadi salah satu program prioritas dalam RPJMN 2015-2019 dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia diatur dalam Perpres 45 tahun 2016 mengenai rencana kerja pemerintah (RKP). Tanah seluas 9 juta hektar dijanjikan sebagai tanah obyek reforma agraria (Tora) dari kawasan hutan maupun non hutan berupa legalisasi dan redistribusi aset. Untuk memperluas akses kelola masyarakat, juga dijanjikan 12,7 juta hektar perhutanan sosial. Walaupun masih kurang, tapi sudah terlihat ada kemandegan selama tiga tahun menjabat.
Kurangnya sistem reforma agraria terlihat dari terjadinya kriminalisasi di pertanian. Seperti yang disebutkan pada data KPA yaitu, dari tahun 2015 sampai 2016 telah terjadi 702 konflik agraria di lahan 1.665.457 hektar dan mengorbankan 195.459 keluarga petani. Di situ terjadi kriminalisasi yang menyebabkan 455 petani ditahan, 229 mengalami kekerasan dan 18 orang tewas.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Rahma Mary mengatakan, selama tiga tahun reforma agraria sebenarnya lumayan berhasil dalam meyiapkan dokumen-dokumen perencanaan. Sayangnya, penerapannya masih minim. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan infranstruktur berupa bandara, jalan tol, PLTU, dan lain-lain yang mengakibatkan lahan-lahan masyarakat terampas. Sekaligus juga menyebabkan konversi lahan besar-besaran dari sawah ke non sawah, petani menjadi buruh.
Jadi sebenarnya yang mau dicapai itu apa? memperbanyak lahan pertanian, atau malah meggusur petani? ini kontradiksi yang sampai sekarang belum juga terjawab. Deputi advokasi, Hukum dan Kebijakan Kiara Tigor Gemdita Hutapea, menyoroti reforma agraria di pesisir dan pulau-pulau kecil. Seharusnya ada upaya penguatan dan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dia menyoroti sejumlah aturan mengenai pesisir dan pulau-pulau kecil yang justru meminggirkan masyarakat. Salah satu, permen ATR/BPN Nomor 17/2016 mengatur penguasaan tanah di pulau-pulau kecil. Substansi permen ini, 70% pulau kecil bisa dikuasai oleh korportasi atau individu. Sebenarnya dalam menjalankan agenda reforma agraria sudah mempunyai program jelas, begitu kata Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN.
Pemerintah menargetkan tanah di Indonesia bisa terdaftar dan bersertifikat paling lambat 2025 yaitu dengan agenda pertahun paling sedikit 10 juta bidang. Supaya semua tanah di luar kawasan hutan jelas dan tersertifikat. Jadi, yang sudah dicapai sekarang dalam reforma agraria sekarang ini hanya "bagi-bagi sertifikat" saja.
Untuk mencapai reformasi agraria, tentunya terdapat banyak kendala yang harus dihadapi. Minimal, ada empat kendala dalam pelaksanaan reforma agraria sampai saat ini. Pertama adalah sulitnya keterukuran antara rencana dan implementasi. Proses penetapan obyek-obyek tanah yang prematur mengindikasikan bahwa perencanaan tidaklah matang. Kedua, data pertanahan. Ini menyangkut validitas data di Indonesia yang belum terintegrasi, terutama data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perhutanan.
Ketiga, tidak diimbanginya political capacity di jajaran menteri dan birokrasi atas political will kabinet kerja Jokowi-JK terhadap reforma agraria. Keempat, belum populernya isu reforma agraria di institusi pendidikan tinggi menyebabkan minimnya kajian ilmiah maupun ahli-ahli reforma agraria di Indonesia.
Dengan keempat kendala di atas, bagaimana jika reforma agraria melibatkan generasi muda? Pasti akan lebih mudah lagi. Melihat semangat para generasi muda yang tinggi, kemungkinan tidak akan ada kendala lagi. Tapi jika melihat sekarang ini, generasi muda di Indonesia sudah rusak karena banyak yang melakukan penyimpangan bahkan sampai kenakalan remaja.
Solusi dengan cara melibatkan generasi muda sekarang ini tidak bisa menjadi yang prioritas. Lalu, dengan kendala yang seperti itu, siapa yang berani menjadi petani? [Kaka]
KOMENTAR