Berdasarkan survey Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (DEMOS), agama menjadi jawaban yang terpenting bagi masyarakat Indonesia saat ini. Kemudian disusul suku, kebangsaan, dan kemanusiaan di urutan terakhir.
Bukan tanpa sebab agama menempati urutan pertama dalam kepentingan dan urusan masyarakat. Salah satu penyebabnya, paham-paham kanan yang beberapa waktu terakhir ramai menjarah Indonesia. Doktrinitas akan kebutuhan dan militansi terhadap agama menyeruak, bahkan seperti tren. Dalam waktu singkat, paradigma yang berkembang di masyarakat beralih dari dialog menjadi paradigma benar dan salah.
Paham-paham yang masuk dan berkembang bahkan sudah sampai pada taraf ekstrim. Bukan lagi sekadar sebagai paham, tetapai sudah beralih menjadi gerakan. Salah satunya, gerakan untuk mengambil alih kepemerintahan, bahkan ingin mengganti ideologi negara. Dalih sebagai agama mayoritas, kelompok-kelompok Islam ekstrimis mencoba menggeser Pancasila menjadi negara khilafah sebagai ideologi negara.
Gerakan ini tidak sekadar panas-panas tanpa asap, tetapi sudah terlanjur menjadi kobaran besar. Polarisasi dan dikotomi masyarakat semakin jelas. Membentuk sinergi klaim benar dan salah. Perbedaan yang ada tidak lagi membentuk harmoni, melainkan berubah menjadi sinisme dan saling mencurigai. Kebenaran hanya ada pada kelompok sendiri, di luar garis kelompok merupkan satu dosa besar.
Baca Juga: Muslim dan Perbincangan tentang Kebenaran
Gerakan negara khilafah misalnya yang mendapat banyak pertentangan keras dari masyarakat, baik individu maupun kelompok yang sudah ada sebelumnya. Mempertahankan ideologi Pancasila sebagai harta dan hadiah terbesar dari leluhur bangsa Indonesia. Pancasila menjadi entitas dan karakter bangsa. Menjaga setiap warga negaranya dengan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam sejarahnya, Pancasila lahir dari ajaran-ajaran universal. Bukan dari satu kebenaran, melainkan esensi dari banyak kebenaran. Bermacam nilai, norma, etika dan sari kehidupan tertuang penuh dalam kelima sila. Secara tidak langsung, Pancasila menjadi cerminan diri masyarakatnya.
Akan tetapi jika melihat ironi yang terjadi saat ini, keagungan Pancasila seakan hanya sebatas mitos. Terlepas dari doktrin khilafah dan gerakan ekstrimis yang sudah mengakar, masyarakat sendiri seakan melakukan penghianatan dengan keapatisannya. Banyak yang hafal teks Pancasila, tetapi tidak sampai pada makna hakikat dan implementasinya. Bahkan, menghafal Pancasila sering dianggap sebatas seremonial dalam dunia pendidikan. Lima sila yang termaktub seperti kehilangan ruang dalam menjamah ranah parktis hidup masyarakat.
Pancasila diposisiskan hanya dijadikan sebagai teks, tanda dan simbol. Karakter dan jiwa bangsa jauh tidak tersentuh. Jurang yang membelah antara Pancasila dan masyarakat pun semakin kentara. Padahal nilai-nilai yang terkandung di dalamnya begitu erat bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari.
Salah satu bagian terpenting dari Pancasila ialah semboyan Bhinneka Tinggal Ika. Sayangnya, nilai dari semboyan ini pun seperti diacuhkan. Hanya diamini sebagai sejarah masa lalu yang diwariskan oleh para pendiri bangsa. Mengagungkan semboyan sebatas dalam kata-kata, tidak sampai dalam perbuatan.
Membaca dan Menyikapi Pancasila
Tentang bagaimana bangsa ini memandang dan memaknai Pancasila kini dan ke depan, Fahruddin Faiz, dosen filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta, dalam salah satu pengajiannya membedah sejarah dan makna Bhinneka Tunggal Ika. Dalam penuturannya, bahwa makna "berbeda-beda tetapi tetap satu" tidak merujuk pada keberagaman suku, ras dan budaya pada awal kemunculannya. Melainkan lahir dari Budha dan Siwa. Dua zat berbeda, Budhis dan Hindustan. Sebagai dua agama yang berbeda dalam memanifestasikan ajarannya, keduanya memiliki satu entitas yang sama, keilahian.
Kemudian dalam perkembangannya, Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan untuk keberagaman di Indonesia. Baik agama, suku, ras, maupun budaya. Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi wujud pluralitas bangsa Indonesia terhadap keberagaman. Di mana perbedaan-perbedaan tersebut saling bersinergi membentuk keharmonian dan keselarasan.
Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa inti dari Pancasila adalah Ekasila. Mengekstrak Pancasila menjadi Trisila, kemudian lebih mengerucut lagi menjadi Ekasila. Esensi utama dari Pancasila bermakna gotong royong. Bukan sekedar kerja bakti dan beramai-ramai menyelesaikan pekerjaan, tetapi lebih pada saling bahu membahu menyukseskan visi dan misi bersama.
Gotong royong juga bermakna kesetaraan tetapi tidak seragam. Artinya, setiap orang atau kelompok memainkan peran yang berbeda dan posisi yang berbeda. Kemudian peran-peran tersebut saling bertanggungjawab dalam menggerakkan gerbong cita-cita yang menjadi tujuan secara bersama-sama.
Baca Juga: Membicarakan Menteri Pendidikan Pencetak Buruh
"Tan Hana Dharma Mangrwa," kitab Sutasoma, oleh Empu Tantular, pupuh 139, bait 5. Bahwa tidak ada dharma yang mendua. Setiap orang memiliki dharmanya masing-masing. Apa pun pekerjaannya, apa pun jabatannya, apa pun golongannya, semuanya berada dalam dharmanya masing-masing. Tidak perlu iri atau malu, karena setiap dharma setara dalam perannya dan membentuk keselarasan.
Indonesia kini, dengan kekayaan dan keberagamannya berada dalam kebingungan. Masyarakatnya serba takut. Tabu untuk bertindak karena ketakutan akan klaim suatu kelompok. Melakukan suatu hal dalam ketakutan akan label yang diperoleh nantinya. Dampaknya, dalam mencegah munculnya pelabelan tersebut, masyarakat lebih sering menuding, sebagai bentuk benteng pertahanan.
Terlebih dalam keberagaman dan perbedaan, klaim kebenaran acapkali menjadi momok yang memecah belah. Antara satu dengan lainnya saling merebutkan piala "paling benar". Sedangkan kebenaran tidak bisa diputuskan berdasarkan perspektif satu pihak. Kebenaran pada hakikatnya merepresentasikan kebaikan, dimana kebaikan mencerminkan entitas keilahian. Pada akhirnya satu, bagaimanapun manifestasi duniawinya, yang dituju tetap sama, kebaikan dan ketuhanan.
Dalam relasinya dengan menjaga keutuhan Indonesia, gotong royong berperan sebagai media dialog. Menumbuhkan paradigma terbuka dengan nalar sehat. Dialog sebagai medium membentuk pluralitas dan kedamaian bersama. Sudah bukan masanya lagi mengkomunikasikan perbedaan dalam ruang konflik.
Banyak masyarakat yang memposisikan Indonesia sebagai beban. Merasa malu menjadi orang Indonesia, sedih, minder dan perasaan pesimisme lainnya. Krisis kepercayaan diri masih menjadi problem besar yang hadir di tengah masyarakat. Beban yang ada berkembang menjadi keterpaksaan sebagai orang Indonesia.
Mendharmakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam lini kehidupan terkecil dan sederhana, masih menjadi PR besar. Bermanunggal dengan Indonesia dan Pancasila, seharusnya memutus rasa beban, keterpaksaan, maupun pikiran pesimisme lainnya. Menyisakan rasa cinta dalam diri untuk Indonesia. Mengamalkan Pancasila dan berdialog dalam dharma masing-masing. Ketika ada cinta, rasa egoisme hilang dengan sendirinya. Tidak lagi menyisakan 'aku' dan Indonesia, melainkan Indonesia dan seisinya dalah 'aku'.
[Ainun]
Artikel Lain:
Hari Pers Nasional: Polemik dan Masa Depan Pers Indonesia
Komitmen NU Menolak Pemahaman Islam Radikal demi Menjaga Keutuhan NKRI
Sumpah Pemuda, Prokem, dan Ancaman Kedaulatan Negeri
Menyoal Bonus Demografi di Indonesia
Era-nya Milenial dan Redesign Skema Politik Nasional
KOMENTAR