
Maraknya kelompok berideologi transnasional yang berkembang saat ini bisa menjadi ancaman bagi persatuan bangsa Indonesia. Kelompok ini selalu menggaungkan arabisasi Islam dan berusaha menegakkan khilafah islamiyah dengan menghalalkan berbagai macam cara. Termasuk melakukan teror bom seperti yang terjadi di gereja di Surabaya beberapa hari lalu. Tentunya pemahaman ini bertentangan dengan prinsip salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU).
NU telah berkomitmen untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu diwujudkan dengan cara mengajarkan kepada masyarakat untuk mengedepankan sikap moderat dan toleran dalam kehidupan beragama.
Terkait dengan hal tersebut, NU memiliki “jurus” ampuh untuk menangkal ideologi transnasional dan tetap mempertahankan tradisi lokal demi keutuhan NKRI. Guna mengetahui “jurus” ampuh tersebut, kru LPM IDEA berkesempatan untuk mewawancarai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, pada Desember 2016 lalu di kediamannya, kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai genealogi Islam radikal dan perkembangannya di Indonesia?
Usai menaklukkan kota Thaif, umat Islam mendapat banyak ghonimah (rampasan perang) seperti unta, kambing, dan harta lainnya. Namun pembagian ghonimah oleh Rasulullah sedikit aneh, karena para sahabat senior tidak diberi bagian apapun. Sebaliknya, ghanimah diberikan kepada sahabat yang baru masuk Islam seperti Abu Sufyan dan al-Bakhtari, padahal mereka sudah kaya.
Melihat kejadian itu, tiba-tiba Dzul Huwaishir melakukan protes kepada Rasul. Ia berkata, "Berbuat adillah wahai Muhammad, jangan membagi semaumu sendiri". Nabi pun menjawab, "Tidak ada yang lebih adil di muka bumi ini daripada saya, apa yang saya lakukan adalah perintah Allah".
Setelah itu, Huwaishir pun pergi. Kemudian nabi menyampaikan kepada para sahabat bahwa di masa yang akan datang akan muncul orang semacam itu. Orang yang hafal al-Quran tapi tidak melewati tenggorokannya, serta dangkal pemahamannya. Imam Nawawi mengambarkan sosok Dzul Huwaishir itu kurus, berjenggot panjang, jidatnya hitam, kepala botak, dan gamisnya cingkrang.
Prediksi nabi terbukti benar dengan terbunuhunya Ali bin Abi Thalib. Ali dihukumi kafir oleh satu kelompok karena dituduh tidak menggunakan hukum Allah. Sebelumnya Ali menilai ucapan mereka memang benar, tapi tendesius. Ucapan mereka hanya melegitimasi untuk mengkafirkan orang lain. Kelompok tersebut adalah Khawarij, kelompok yang menggunakan al-Quran untuk kepentingan yang tidak benar.
Sebelumnya, ketika Ali berperang melawan kelompok Khawarij di jembatan kota Haruroh, mayoritas dari mereka telah terbunuh. Kecuali beberapa orang yang berhasil melarikan diri. Diantaranya, ke Bahrain, Afrika Utara dan Oman. Jaringan teroris yang selama ini berkembang di Timur Tengah merupakan keturunan dari mereka.
Secara lembaga, kelompok khawarij sudah hilang dari kehidupan masyarakat. Namun, ideologinya terus berkambang hingga kini dalam wujud berbagai organisasi. Pada tahun 1970-an muncul Jamaah Takfir wal Hijroh di Mesir, dipelopori oleh Umar Syukri Ahmad. Semua orang dianggap kafir kecuali mereka yang hijrah. Kelompok ini dapat membunuh orang secara terang-terangan, salah satu korbannya adalah Husain al-Dzahabi pengarang Tafsir wal Mufassirun, Yusuf Siba’i, dan Presiden Anwar Sadad.
Di Irak muncul kelompok al-Qaeda. Awalnya, kelompok ini merupakan bentukan Amerika Serikat untuk membantu peperangan melawan Soviet di Irak. Pemuda Islam dibina dan dilatih berperang merakit bom dan kemiliteran. Pasca perang, pemuda Saudi ditarik kembali oleh Raja Fahd kecuali Osama bin laden.
Dalam perjalanannya, al-Qaeda berbalik memerangi Amerika Serikat dan NATO dengan target utama camp mereka. Pemuda Islam Indonesia yang ikut pelatihan itu di antaranya Amrozi dan Imam Samudra yang direkrut menjadi anggota al-Qaeda lewat Abu Bakar Baasyir di Johor, Malaysia.
Setelah itu, muncul ISIS yang dimotori Mus’ab Zarkowi, pria bertato warga negara Yordania yang berdomisili di Israel . Pasca Mus'ab meninggal, kepemimpinan diambil alih Ibrahim bin ‘Awan bin Ibrohim al-Badri (Abu Bakar Al Baghdadi). Pada awalnya Amerika Serikat membiarkan kelompok ini karena dinilai menghalangi perjalanan tentara Iran yang hendak membantu Basyar Asad. Mereka lebih kejam dari kelompok al-Qaeda. Mereka tidak hanya menghalalkan membunuh non muslim, orang Islam yang tidak sejalan dengan mereka pun halal dibunuh, termasuk anak kecil.
Jaringan Islam radikal yang berkembang di Indonesia sampai saat ini merupakan tangan panjang dari kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah. Selepas kembali ke Indonesia, alumni kelompok separatis tersebut mulai melakukan gerakan dengan merekrut anggota baru serta melakukan aksi teror di berbagai daerah. Mereka tergabung dalam berbagai golongan, ada di kelompok jamaah Takfir wal Hijroh, Jamaah Islamiah, hingga Anshorut Tauhid wad Daulah atau ISIS.
Meskipun baru, penyebaran ISIS di Indonesia hampir merata di setiap kota: Bekasi, Medan, Samarinda, Majalengka, Banten, Aceh, Cianjur dan kota-kota lainnya. Kini, sekitar 1.200 penduduk Indonesia telah bergabung dengan ISIS. Adapun yang merekrut anggota ISIS di Indonesia adalah Salim at-Tamimi seorang warga Malang, lebih dikenal dengan sebutan Abu Jandal.
Seiring berkembangnya teknologi, penyebaran paham radikal merambah di dunia maya. Saat ini telah menjamur situs-situs radikal di internet. Menurut Bapak, seberapa besar bahaya yang ditimbulkan?
Sangat berbahaya. Di era digital, semua informasi tersedia di internet. Sekarang, kita bisa belajar merakit bom dari internet, tanpa harus ikut pelatihan di Timur Tengah. Kasus lain adalah revolusi Tunisia, Presiden Erden digulingkan dari tampuk kekuasaannya berawal dari protes tukang sayur di beranda Facebooknya. Kemudian menjalar ke seluruh negeri. Begitu besarnya pengaruh internet dalam penyebaran informasi.
Menjamurnya situs-situs radikal di dunia maya merupakan "metamorfosis" pergerakan kelompok Islam radikal dewasa ini. Mereka dengan bebas mengunggah materi-materi berbau radikal di internet. Dengan demikian, paham Islam radikal mudah tersebar dan sampai ke masyarakat. Sehingga, tak heran kalau banyak anak muda berhasil direkrut jaringan Islam radikal. Radikalisme menjadi salah satu ancaman besar bangsa Indonesia saat ini.
Maka, masyarakat harus lebih arif dan bijak mengkonsumsi segala informasi di internet, agar tidak salah melangkah. Sehingga, tidak terjebak dalam paham-paham yang mengancam keutuhan NKRI.
Menurut Bapak, apa ancaman paling serius yang dihadapi bangsa Indonesia dari maraknya situs radikal?
Reformasi yang menandai gerbang baru pemerintahan Republik Indonesia, terbebas dari tirani kepemimpinan yang otoriter. Berbalik menjadi euforia kebebasan tanpa kontrol yang baik. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas, koran, penyebaran brosur berdiri dengan bebas tanpa izin pemerintah. Akhirnya, sering kebablasan. Kondisi ini bertolak belakang dengan era orde baru yang serba terkungkung.
Saat Soeharto menjadi presiden, ada pemaksaan ideologi. Ketika itu, masyarakat dipaksakan mengikuti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kemudian di era reformasi sosialisasi empat pilar digagas oleh Pak Taufik Kiemas. Ide itu sangat bagus, namun tidak menyentuh pada tataran bawah, karena peserta seminar hanya kalangan terbatas. Itu pun yang hadir orang-orang berpendidikan semua.
Dampak dari euforia kebebasan pasca reformasi tersebut, mulai menjamur kelompok yang selalu meneriakkan bahwa dasar negara Indonesia itu thoghut. Mereka menilai dasar negara Indonesia tidak sesuai dengan syariat Islam, berlandaskan Q.S. al-Maidah: 44. Padahal, kalau mereka memahami lebih cermat dan tidak hanya memandang secara legal formal, pemerintahan Indonesia sudah islami. Syariat Islam tidak hanya berbentuk qishosh, namun juga meliputi pendidikan, kesejahteraan, serta akhlak.
Agenda pemerintah Indonesia adalah mencerdaskan bangsa, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan mempersolid persatuan bangsa. Semuanya itu merupakan perintah Allah, hal terpenting adalah Islam diamalkan menjadi model kehidupan kita sehari-hari. Jadi, tidak usah menyerukan negara Islam karena Indonesia sudah Islami.
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, apa saja yang telah dilakuakn NU untuk menjaga Islam pribumi dan keutuhan NKRI?
Sudah banyak sekali. Kontribusi NU tidak hanya menjaga keutuhan NKRI, bahkan ikut andil merebut kemerdekaan Indonesia. Salah satu ijtihad KH. Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dalam mempertahankan keutuhan NKRI adalah membumikan ukhuwah wathoniah: menyatukan Islam dan nasionalisme.
Mbah Hasyim berpandangan bahwa Islam saja belum cukup menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Begitu pula, nasionalisme tanpa agama akan terasa kering. Keduanya harus saling berhubungan dan bersinergi untuk mendukung satu sama lain. Karena, cinta tanah air merupakan sebagian dari iman.
Pada muktamar di Banjarmasin tahun 1936, kiai-kiai NU memutuskan bahwa setelah merdeka mereka berkeinginan membentuk negara Darus Salam (negara damai), bukan Darul Islam (negara Islam). Artinya itu, negera nasional. Wahid Hasyim pun terpilih menjadi anggota dari tim sembilan yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Saat perumusan Piagam Jakarta, Wahid Hasyim setuju untuk menghapus tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Baginya yang terpenting negara Indonesia berdiri dulu.
Saat Gus Dur menjabat Ketum PBNU tahun 1984, ia mempertegas lagi bahwa Indonesia merupakan negara nasional. UUD 1945 dan pancasila sudah final sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Gus Dur melihat, ide mendirikan negara Islam hanya memperkeruh kondisi bangsa ini. Jika kita tidak pandai-pandai membawa Islam, maka akan mudah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa Indonesia.
Jadi, sejak dulu NU terus berkomitmen menjaga keutuhan NKRI dengan mengajarkan kepada masyarakat tentang ajaran Islam yang rahmatal lil alamin: damai, ramah, moderat, dan toleran.
Lantas menurut Bapak, apa yang harus dilakukan untuk menekan maraknya paham radikal?
Kita harus memperkuat pemahaman yang telah diajarkan Walisongo. Mengedepankan dakwah bil hikmah (dakwah menggunakan kebijaksanaan). Yakni, sikap santun, tidak menghapus, dan memusuhi tradisi lokal. Buktinya hanya dalam waktu 50 tahun, Walisongo mampu mengislamkan mayoritas penduduk tanah Jawa, tanpa peperangan dan pertumpahan darah.
Para wali menyebarkan Islam dengan budaya dan pemikiran, sehingga Islam bisa menyatu dengan kondisi sosial masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Konsep dakwah semacam ini menjadi wajah Islam Indonesia. Misal, para wali memoles tradisi sesajen menjadi selametan. Awalnya, sesajen dipersembahkan untuk roh jahat, diubah menjadi shodaqoh untuk tetangga sekitar. Begitulah Walisongo berdakwah dan terlibat dalam kehidupan masyarakat di lingkungan masing-masing. [Sholihin]
Tulisan ini pernah diterbitkan di Majalah IDEA edisi 40 "Silat Radikalisme Dunia Maya"
KOMENTAR