Ilustrasi |
Banyaknya faktor yang menunjang terjadinya semua itu, seperti media sosial, majalah, sinetron, dan lain sebagainya yang mampu membuat orang tidak sadar bahwa bahasa yang dikonsumsi tersebut akan mengubah kemurnian bahasa Indonesia. Kian hari, bahasa prokem terus bermunculan dan menjadi bahasa yang lumrah di masyarakat.
Lebih menghawatirkan lagi ketika masyarakat tidak dapat membedakan mana bahasa Indonesia yang benar dan mana bahasa prokem. Sehingga ketika masyarakat berhadapan dengan situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidahnya, otomatis mereka akan merasa kesulitan.
Seberapa sakral bahasa Indonesia? Apakah merebaknya bahasa prokem menjadi wujud modernitas atau justru menjadi cerminan sebuah wajah masyarakat konsumtif? Di manakah peran bahasa sebagai Identitas bangsa?
Jaques Derrida pernah memberi peringatan, “Bangsa yang tak bisa merawat bahasanya- memelihara dan menggunakan khazanah kata-katanya dengan saksama-adalah bangsa yang tak mampu merawat dan mengembangkan dirinya”.
Dalam sejarahnya, di era penjajahan, di saat bangsa ini sangat menginginkan kemerdekaan, muncul sebuah gagasan dari kalangan pemuda di berbagai daerah untuk bersatu. Namun, ada kendala komunikasi karena perbedaan bahasa daerah. Kemudian hal tersebut menjadi latar belakang terciptanya sebuah bahasa persatuan, menggemakan satu suara dalam satu bahasa untuk mengalahkan penjajah. Yakni bahasa Indonesia.
Setelah komunikasi terjalin, pada puncaknya, 28 Oktober 1928, para pemuda menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa perlawanan dan persatuan yang kemudian diikrarkan dalam butir ketiga Sumpah Pemuda. "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia," begitulah bunyinya.
Sumpah Pemuda menjadi penanda bahwa pemuda menjadi inisiator kemerdekaan negeri di tengah pengorbanan dan pertumpahan darah melawan penjajahan yang telah sekian lama diperjuangkan. Di sanalah letak sakralitas bahasa Indonesia yang begitu layak untuk dijaga, oleh setiap generasi selanjutnya.
Tantangan
Di era keterbukaan dan era Internet ini, generasi kita tampaknya telah banyak melupakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa sakral seperti yang dijelaskan di atas. Era digital menjadi masa ketika generasi dihadapkan pada pengejaran sebuah citra, sehingga melupakan karya historis yang menggambarkan identitas diri mereka sebagai sebuah bangsa.
Dalam realitasnya, usaha perawatan dan pengajaran untuk tetap berbahasa sebagai identitas, seperti di sekolah dengan segala kurikulumnya, masih jauh dari harapan maksimal. Padahal sekolah diharapkan menjadi tempat paling efisien untuk mengajarkan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun kenyataannya, sekolah seakan menjadi tempat penyampaian teori belaka. Kemudian setelah pulang, hilang begitu saja.
Tantangan zaman memang tidak terelakkan, bangsa ini masih terbilang "kagetan" saat ada hal baru. Padahal risiko atau konsekuensi yang akan terjadi bisa menjadi bumerang. Jika bahasa prokem tersebut berhasil mengubah bahasa baku kita, maka yang akan terjadi sebuah pengkhianatan sejarah yang dulu begitu sulit diperjuangkan. Sebuah wacana yang menunjukkan bahwa bangsa ini masih lemah, hanya menjelma menjadi konsumen pasar yang gampang dibodohi. Inikah kita?
Bahasa pun menjadi bentuk sebuah kedaulatan politik negara. Jika bangsa dari negara tersebut kehilangan identitasnya, maka ia pun akan kehilangan kedaulatan politiknya. Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional sudah sewajarnya dijunjung tinggi seperti halnya bendera Indonesia, lagu kebangsaan, UUD 1945 dan identitas lainnya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Jika ada orang lain menginjak-injak bendera merah putih, pasti sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita akan marah. Lalu bagaimana jika ada orang yang mengubah bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi bahasa prokem, tindakan apa yang akan kita lakukan?
Sudah saatnya sekolah, komunitas, dan masyarakat secara menyeluruh sadar akan filosofi dan pentingnya menjaga implementasi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Menjaga bahasa Indonesia sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Ancaman-ancaman akan kebhinekaan bangsa ini akan terus datang dengan wajah-wajah yang inovatif. Merawat bahasa Indonesia adalah kewajiban, meninggalkannya adalah dosa besar.
Meneguhkan Sumpah Pemuda
Setiap tahun, peringatan Sumpah pemuda seakan masih dianggap sebagai seremonial atas romantisme masa lalu yang dialami bangsa ini. Sebenarnya, jika ditelisik mendalam, di balik peristiwa Sumpah Pemuda terdapat semangat untuk melakukan pemaknaan dan pengimplementasian ulang yang bisa dilakukan oleh pemuda di setiap generasi. Semangat mengamalkan poin-poin suci Sumpah Pemuda, demi terciptanya Indonesia lebih baik.
Poin tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sangat urgen untuk dikaji dan diperdalam di era kemajuan di tengah ancaman perpecahan. Pemuda memiliki peran penting dengan semangat dan inovasinya yang terus berkembang di setiap masanya.
Pemuda pada hakikatnya memiliki semangat membara, kritis berlogika sangat diharapkan mampu membawa suatu bangsa menjadi lebih baik. Apakah kita mau untuk selalu dikatakan sebagai bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa? (Taufiq Hidayat, pernah dimuat di harian Wawasan edisi 01 November 2016)
KOMENTAR