Gambar: ceppihabibi.files.wordpress.com |
Ungkapan Peter Fray, guru besar Faculty of Arts and Social Sciences, University of Technology Sydney ini menjadi menjadi gambaran atas tantangan media massa di era disrupsi seperti sekarang ini. Terutama berkaitan dengan independensi dan netralitas media massa menjelang Pemilu, 17 April 2019 mendatang.
Meskipun demikian, Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pers Nasional, 09 Februari 2019, justru mengklaim bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa berada di titik aman. Presiden Jokowi mengutip data dari Edelman Trust Barometer Media. Data itu menunjukkan bahwa sebanyak 63 persen masyarakat Indonesia lebih percaya pada informasi yang disajikan media massa konvensional. Sementara masyarakat yang percaya pada informasi di media sosial berada pada kisaran angka 40 persen. Lantas apakah data ini cukup kuat untuk menegaskan independensi dan netralitas media massa?
Sementara itu independensi media massa di Indonesia harus menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya penurunan jumlah audiens dalam media massa konvensional (televisi, radio, dan media cetak). Menurunnya profit perusahaan media, melebarnya kesenjangan antara media massa dengan masyarakat. Serta tantangan terbesar berupa pesatnya perkembangbiakkan berita palsu (fake news) di media sosial.
Tantangan terakhir ini menjadi poin yang kronis dan banyak menyita perhatian masyarakat dan pemerintah. Pada tahun 2017, Kementrian Komunikasi dan informasi (Kominfo) mencatat sebanyak 800 ribu situs berita di Indonesia terindikasi menyebarkan informasi palsu. Sementara itu di tahun yang sama, Kumparan.com menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 43.300 media online. Dari jumlah tersebut hanya 168 media online yang terverifikasi oleh Dewan Pers Indonesia.
Angka tersebut bukan hal yang mengejutkan. Sebab di tengah kemudahan akses teknologi, semua orang dari berbagai latar belakang berpotensi membuat dan mengembangkan websitenya sendiri. Sebanyak 800 ribu situs tersebut bisa saja dikelola oleh pihak yang tidak memahami etika dan nilai-nilai jurnalisme. Sehingga seluruh informasi yang disajikan sarat akan kepentingan kelompok tertentu.
Apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, persebaran informasi menjadi lebih sensitif. Segala pemberitaan selalu dikaitkan dengan persoalan politik. Mulai dari isyarat angka menggunakan jari, gaya berpakaian, hingga persoalan identitas yang berpotensi mengarah kepada perpecahan. Selain itu porsi pemberitaan yang tidak berimbang turut membuat sejumlah pihak mempertanyakan independensi media massa dan media online.
Padahal sebagian besar media online telah mencantumkan pedoman pemberitaan media cyber yang disusun Dewan pers Indonesia di website masing-masing. Salah satu poinnya menyebutkan "Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan". Namun apa yang tertulis tidak selalu sama dengan kenyataan di lapangan. Verifikasi menjadi barang langka. Kualitas informasi terabaikan. Kedamaian antar kelompok masyarakat menjadi pertaruhan.
Segala perdebatan tentang informasi di media massa tidak perlu terjadi jika Dewan Pers melaksanakan tugasnya dengan baik. Dewan Pers sebagai induk organisasi pers nasional memiliki fungsi untuk "Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik". Namun di tengah maraknya persebaran berita palsu, Dewan Pers seperti tidak memiliki taji. Tidak berdaya menghadapi gempuran arus informasi yang begitu deras.
Semarak Hari Pers Nasional
Setiap tanggal 9 Februari, insan pers bersemarak menyambut datangnya Hari Pers Nasional (HPN). Di tanggal ini, berbagai kalangan beramai-ramai memberikan penghargaan kepada individu maupun kelompok yang dianggap berjasa terhadap kelangsungan pers di indonesia. Dalam peringatan HPN 2019, Presiden Joko Widodo menerima penghargaan Kemerdekaan Pers. Ia dinilai telah menjamin kebebasan kehidupan pers di Indonesia.
Di balik semarak perayaan di setiap tahunnya, terdapat sejarah panjang dalam penentuan HPN. Dahulu sebelum masa kemerdekaan Indonesia, wartawan memegang peran ganda. Pertama, sebagai aktivis pers. Kedua, sebagai aktivis politik. Perannya sebagai aktivis pers dijalankan ketika wartawan melakukan pemberitaan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia waktu iru. Sementara aktivis politik dijalankan wartawan ketika mereka berperan menyulut perlawanan rakyat untuk merebut kemerdekaan.
Peran penting wartawan tersebut memperoleh payung hukum pada 09 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hadirnya PWI menjadi tonggak perjuangan rakyat Indonesia. Melalui jalan pers, wartawan memiliki visi untuk menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda di tanah air. Melalui berita yang mereka tulis, para insan pers mengobarkan nyala semangat revolusi dan perlawanan rakyat akan penjajahan. Serta menempa persatuan nasional demi abadinya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Hari pembentukan PWI itu kemudian ditetapkan sebagai HPN oleh Presiden Soeharto pada 1985, melalui Keputusan Presiden Nomor 05 tahun 1985. Setelah masa kemerdekaan, memasuki orde lama dan orde baru, hingga era reformasi, dinamika pers di Indonesia mengalami pasang surut dan pergolakan di zamannya masing-masing.
Terlepas dari sejarah penetapan HPN, sejumlah pihak justru mempermasalahkan penetapan waktunya. Penentuan waktu ini dikritik karena hanya berdasarkan pada waktu pembentukan PWI. Beberapa organisasi wartawan yang enggan terlibat HPN tanggal 09 Februari di antaranya Aliansi Jurnalis Independem (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Maka dari itu mereka mengusulkan untuk mengganti peringatan HPN menjadi 23 September. Sebab pada tanggal itu terjadi pengesahan Undang-undang Pers yang menjadi tonggak perjuangan insan pers Indonesia.
Pers Indonesia ke Depan
Setiap tantangan selalu menawarkan adanya peluang. Seorang jurnalis New York Times, Jim Rutenberg menjelaskan, tantangan pers di era tsunami informasi juga menjanjikan sebuah peluang. Terutama dalam hal maraknya berita palsu. Ia mengatakan bahwa maraknya berita palsu justru semakin meningkatkan nilai kebenaran dalam sebuah berita.
"Hanya jurnalisme hebat yang mampu menyelamatkan jurnalisme itu sendiri," Jim menyimpulkan. Lantas seperti apakah jurnalisme hebat itu? Jim memberikam catatan, jurnalisme hebat akan terbentuk ketika insan pers mampu menyajikan informasi yang orisinil, kritis, serta melalui proses telaah panjang.
Jim juga memberikan catatan bahwa insan pers harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan kemajuan zaman. Media massa bagaimanapun bentuknya tetap mengikuti kultur masyarakat yang dinamis. Tentunya dengan tetap memperhatikan etika jurnalisme yang sesuai dengan identitas ketimuran bangsa Indonesia.
Ketika ruh jurnalisme mampu terserap dengan baik oleh insan pers, maka tugas dan fungsi pers akan berjalan dengan baik. Sehingga HPN yang diperingati setiap tahunnya, terlepas dari kontroversi waktu peringatannya, tidak sekadar menjadi acara seremonial. Tidak memberikan sumbangsih berarti bagi kemajuan pers Indonesia. Sebab pers telah menjadi bagian dari demokrasi. Seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 tentang kebebasan menyampaikan pendapat. Selamat Hari Pers Nasional. [AN]
KOMENTAR