Gambar: http://mega-atika.blogspot.com |
Indonesia akan memasuki era bonus demografi, dimana seluruh elemen kenegaraan dipegang dan dikendalikan oleh para pemuda. Badan Pusat Statistik (BPS), memprediksi bahwa bonus demografi akan terjadi pada tahun 2030 dan berakhir pada tahun 2036. Kepala BPS, Suhariyanto, menyampaikan jika era bonus demografi merupakan kondisi ketika masyarakat Indonesia dipenuhi dengan usia produktif. Yaitu antara 15 tahun sampai 64 tahun. Dari sini timbul pertanyaan, di era tersebut apakah berdampak bagi kemajuan Indonesia atau malah menjadi kemunduran telak bagi bangsa ini?
Saat kita sampai pada masa di mana semua elemen negara dikuasai oleh pemuda, otomatis nasib bangsa ini beralih ke tangan mereka. Apakah Indonesia akan semakin maju atau semakin mundur, tergantung bagaimana pemudanya memimpin negara.
Demi terwujudnya tujuan Indonesia seperti dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 berbunyi, "... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...". Kita sangat membutuhkan seorang pemuda berkarakter pemimpin. Namun melihat kenyataan yang terjadi sekarang, tampaknya hal tersebut masih jauh dari harapan.
Banyak pemuda Indonesia tersandung kasus kenakalan remaja sampai narkoba. Menurut data dari penelitian Puslitkes Universitas Indonesia (UI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2016 lalu tercatat jumlah pemakai narkoba di Indonesia sebanyak 5,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 27,32 persennya adalah pelajar dan mahasiswa. Para pemuda semakin tidak menunjukkan karakter sebagai tonggak penopang masa depan bangsa.
Sebagai tonggak penopang, tentunya para pemuda harus memiliki karakter dan moral yang baik. Bersikap baik dan dapat mengabdi kepada masyarakat, serta memiliki jiwa pemimpin yang adil dan bijak, dapat menjadi landasan tercapainya tujuan-tujuan bangsa Indonesia.
Salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkannya tentu bukan hal yang mudah. Pemimpin harus cerdas dan memiliki strategi yang bagus dalam mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera. Kelak, jika pemimpin bangsa ini tidak menunjukkan karakter tersebut maka kemajuan Indonesia hanya akan menjadi mimpi yang tidak tahu kapan bisa terwujud.
Revolusi Mental
Dari banyaknya persoalan yang dialami Indonesia dalam menyongsong era bonus demografi, Jokowi, Presiden Republik Indonesia, di tahun 2014 lalu memberikan solusi yang dianggap akan mengubah kehidupan masyarakat Indonesia, yakni Revolusi Mental. Ia menegaskan, terminologi revolusi tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dimaksudkan itu, kata Jokowi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Dia berkeyakinan, dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Selain Jokowi, Presiden Indonesia pertama yaitu Ir.Soekarno juga pernah mencanangkan 'Revolusi Mental' pada masa pemerintahannya. 'Revolusi Mental' menurut Ir.Soekarno sendiri merupakan usaha memperbarui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, yang dapat ditemukan dalam ideologi dan agama manapun.
Pendapat itu tidak jauh beda dengan yang dijabarkan oleh Jokowi, dua-duanya bermaksud memperbarui keadaan masyarakat yang awalnya negatif menjadi positif. Namun masyarakat masih menyangsikan Revolusi Mental sebagai solusi tantangan zaman, alih-alih menjadikannya visi yang sifatnya utopis.
Revolusi Mental Salah Sasaran
Sempat disinggung oleh Didi Kwartanada, Sejarawan Indonesia, bahwa sosialisasi Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi tersebut terbilang tidak maksimal. Ia mengatakan bahwa Puan Maharani selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK), tidak mampu memaksimalkan ide Revolusi Mental sebagaimana mestinya.
Contoh saja, sasaran utama Revolusi Mental merupakan generasi milenial yang cenderung lebih menggunakan gawai di setiap kegiatan mereka. Namun, sosialisasi tentang Revolusi Mental malah cuma dipasang di iklan koran cetak dengan mengambil kutipan Bung Karno tentang revolusi mental saja.
Cara pasang iklan di media cetak itu sebenarnya sudah bagus, tapi salah sasaran. Bayangkan saja, berapa banyak generasi milenial saat ini yang masih membaca koran cetak? Jika memang sasaran pertama para milenial, sosialisasi dapat dilakukan dengan cara memberikan informasi di media sosial populer, atau berupa videografik/infografik yang lebih menarik. Sebab, semua informasi yang didapat para milenial bersumber dari gawai yang mereka pegang setiap hari.
Kemenko PMK juga sempat membuat website revolusi mental. Akan tetapi dianggap tak tepat sasaran. Didi masih menyangsikan, apakah ada orang bersedia browsing website Revolusi Mental ketika hal bukan hal populer? ujarnya.
Kita tidak dapat membendung derasnya informasi dan pesatnya kemajuan teknologi di Indonesia saat ini. Dunia maya (baca: internet) kini dimiliki oleh hampir semua kalangan masyarakat. Penggunaan internet tidak lagi sekadar untuk berkomunikasi atau mencari informasi. Melainkan telah diisi juga dengan konten informasi bersifat provokatif dan konten informasi populer bersifat viral.
Sejatinya, Revolusi Mental adalah perubahan pola pikir seseorang dari yang negatif menjadi pola pikir yang positif. Untuk mewujudkan pola pikir tersebut, dibutuhkan penanganan khusus agar Revolusi Mental terbentuk sempurna seperti yang diharapkan. Ketika mental pemuda telah terevolusi dan terbentuk, bonus demografi Indonesia bukan lagi menjadi momok. Andai Revolusi Mental belum mampu menjadi solusi atas masalah yang akan dihadapi. Maka sudah menjadi PR kita untuk merumuskannya kembali. [HM]
KOMENTAR