gambar: nalarpolitik.com |
Coba kita merunut fakta sejarahnya, bukan bermaksud untuk bernostalgia, hanya saja fakta sejarah menjadi referensi kunci dalam menganalisa sesuatu. Gagasan Pancasila mengemuka lewat lisan Soekarno pada pertemuan agung dalam perumusan ideologi bangsa yang berlarut-larut tanpa kepastian konklusi. Hal tersebut digambarkan jelas melalui perdebatan alot kaum agamawan yang diwakili Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo dan kaum nasionalis dengan Moh. Yamin dan Moh. Hatta sebagai penggagasnya.
Akhirnya, keadaan demikian mendesak Soekarno untuk segera maju ke podium dan mengumumkan gagasannya yang disinyalir sebagai penengah kedua pihak yang sedang semangat dalam merumuskan ideologi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila mampu menjadi payung besar yang menaungi kepentingan-kepentingan ideologi yang telah kuat sebelum ia mengemuka di permukaan. Hadirnya Pancasila pada praktiknya mampu menggeser sifat angkuh dan egoisme masing-masing golongan, karena memang anugerah kemajemukan yang ada di Indonesia tak lagi mudah untuk dipadukan.
Baca Juga: Siapa Pendekar Berwatak Jahat yang Sesungguhnya?
Keseriusan Pancasila dalam menyoroti perdamaian dan persatuan dunia pernah mendapat sanjungan dari Sosiolog Inggris, Bertrand Russel. Ia menggambarkan kekagumannya terhadap Ideologi Pancasila dengan menganggapnya sebagai sintesis kreatif antara ideologi demokrasi liberal-kapitalis dengan ideologi komunis. Jelas sekali terlihat betapa agungnya eksistensi Pancasila dalam merawat keberagaman dunia pada umumnya dan bagi Indonesia khususnya.
Berangkat dari sinilah, betapa berharganya sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia mudah diterjemahkan masyarakat awam. Sejauh pengamatan penulis, dari butir-butir sila yang telah disepakati bersama, sama sekali tak pernah menyinggung dan menciderai pesan agama. Di sisi lain, Pancasila dipahami sebagai ikhtiar teologis dalam menerjemahkan pesan-pesan kitab suci, apapun bentuknya. Hanya saja perjalanan Pancasila dalam menjaga kesatuan Republik Indonesia selalu saja menemui kerikil tajam, dari kemampuan personal masyarakat Indonesia dalam menyelami makna sampai muncul sistem yang dianggap solutif mengganti Pancasila, yaitu Khilafah Islamiyah menjadikan Pancasila sebagai teks liar yang memiliki proses kontekstualisasi diri dalam mengarungi samudera kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lagi-lagi, kesakralan Pancasila mampu mematahkan serangan yang terus menggerus pola keragaman di Indonesia. Namun, akan lebih indah jika kemampuan tersebut tak hanya menjadi cerita klasik perjalanan sebuah bangsa. Sebaliknya, rakyat Indonesia diharapkan mampu merekam pencapaian itu dan memperluas terjemahan masing-masing amanah founding father dalam tubuh Pancasila. Sudahkah kita menjalankan misi yang demikian sakralnya?
[NN]
Artikel Lain:
Suara Rakyat Dalam Pesta Demokrasi Indonesia
"People Power" Amien Rais dan Hantu Ancaman Kedaulatan
Identitas Santri di Tengah Pergulatan Politik
Hari Pers Nasional: Polemik dan Masa Depan Pers Indonesia
Sumpah Pemuda, Prokem, dan Ancaman Kedaulatan Negeri
KOMENTAR