Ungkapan "People Power" oleh Amien Rais beberapa waktu sebelum pemilu presiden 17 April lalu begitu menghantui masyarakat hingga setelah pemilu berlangsung seperti sekarang. Hal ini terbukti dengan masih panasnya suasana bangsa dan politiknya hingga hari ini.
Amien Rais, tokoh politisi nasional dan kini menjadi bagian dari kubu yang bertarung di perebutan kursi pemerintahan itu seakan memberi sinyal ancaman, bahwa jika terjadi kecurangan pemilu maka akan ada gerakan massa yang akan menggeruduk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebelum membaca lebih jauh sketsa politik bangsa kini dari pembacaan people powernya Amien Rais, penting pula untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya Gerakan "People Power" itu sendiri. Baru kemudian membaca pergulatan politik bangsa ini kini yang syarat akan bahaya kedaulatan.
Ungkapan “People Power” sendiri, dari kacamata historis, mengacu pada revolusi sosial damai yang terjadi di Filipina. Revolusi oleh bangsa Filipina ini sebagai bentuk perlawanan kepada Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa 20 tahun dan dianggap sudah tidak layak memimpin negara tersebut.
Protes ini dimulai saat Corazon Aquino, istri dari pemimpin oposisi Benigno Aquino, Jr, meluncurkan kampanye anti kekerasan untuk menggulingkan Marcos. Aquino melancarkan protes sebagai konsekuensi dari deklarasi kemenangan Marcos pada pemilihan presiden tahun 1986.
"People power" sendiri dikenang sebagai perlawanan damai yang ditandai dengan demonstrasi di jalanan setiap hari oleh rakyat Filipina, yang terutama diadakan di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan kembali demokrasi di Filipina.
Dari penjelasan sejarah dipakainya istilah "People Power" tersebut, dapat dikatakan bahwa "People Power" sendiri adalah bentuk gerakan massa sebagai protes dan kudeta. Namun gerakan itu menggunakan jalan damai di dalam prosesnya.
Pilpres 2019 dan People Power
Di pergulatan dan pertarungan pemilihan presiden Indonesia ke-8 ini, yang penyelenggaraan pemilunya pada 17 April lalu, masih menjadi ironi bangsa ini. Barangkali, suasana panas dan bangsa ini akan dihantui kecemasan hingga setelah 22 Mei 2019 (Pengumuman hasil Pemilu).
Amien Rais yang menjadi bagian dari salah satu kubu, yakni kubu 02, sebelum dan sesudah pilpres berlangsung seringkali memicu kontroversi dan membuat gaduh bangsa melalui ungkapan-ungkapannya.
Ia dan kelompoknya menilai bahwa KPU dihawatirkan akan melakukan kecurangan pemilu yang akan membuat rugi kubunya berupa kekalahan. Oleh karenanya, ia mengancam akan melakukan gerakan massa untuk menuju ke kantor KPU.
Publik menilai dengan berbagai macam opini. Di antaranya adalah akan ditakutkannya intervensi kepada KPU sehingga membuat KPU menjadi tidak obyektif lagi. Selain itu, ada pula ketakutan di mana akan terjadi chaos antara gerakan massa dari masing-masing kubu yang bertarung.
Hal ini terjadi karena unsur bahasa tentang people power oleh Amien Rais dan kelompoknya lebih bernada ancaman. Gerakan massa seakan menjadi sebuah tanda ketidakterimaan bahwa jika kelompoknya akan kalah dalam kontestasi pilpres 2019 ini.
Ronde Kedua Jokowi dan Prabowo
Pemilu telah berlangsung, namun pengumuman pemenang pemilu secara resmi dari KPU belum dikeluarkan. Kedua kubu yang bertarung nyatanya sudah melakukan klaim kemenangan masing-masing.
Jokowi merasa menang di perhitungan Quick Count lembaga-lembaga survei. Sedangkan Prabowo pun demikian. Melakukan klaim kemenangannya melalui survei internalnya, hingga sudah tiga kali deklarasi, tasyakuran dan sujud syukur kemenangan, dan berfoto layaknya presiden yang sudah terpilih.
Di sisi lain, ada isu bahwa telah terjadi banyak kecurangan di pemilu kali ini. KPU dianggap terlalu berpihak kepada salah satu kubu, yakni kubu 01. Sehingga dari pihak kubu 02 tidak akan terima jika nanti ia harus kalah lagi dan gagal menjadi presiden.
Dari sanalah, saat kedua kubu saling klaim kemenangan dan tidak ada yang mau menerima kekalahan, maka ditakutkan akan ada konflik yang terjadi di perjalanan politik bangsa ini setelah 1998.
Oleh karenanya, netralitas pihak penegak hukum dan penjaga persatuan bangsa, baik Polri dan TNI harus tetap kuat dijaga. Jika tidak, maka kondisi konflik akan semakin parah karena bukan hanya sipil saja yang terlibat konflik.
Mendalami People Power Amien Rais dan Kubu 02
Jika melihat hasil pemilu dari dua kubu yang bertarung oleh berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan laporannya, pemerolehan suara masih terpecah menjadi dua bagian besar, yakni 50:50%.
Maka dari itu, jika sampai ada protes besar-besaran yang dilakukan oleh salah satu kubu untuk menuntut ketidakterimaan dan ingin mengkudeta kepada presiden terpilih, maka hal itu tidak mewajahkan people power seperti halnya historical people power itu sendiri, sebagaimana dijelaskan di atas.
Gerakan massa di people power secara historis lebih mengacu pada keinginan sebagian besar bangsa karena sudah lelah dan geram dengan pemerintahan yang berlangsung terlalu lama masanya. Jika di Indonesia sendiri seperti di era pemerintahan Soeharto.
Dalam people power, masyarakat secara berduyun-duyun melakukan protes dan turun ke jalan namun tetap menjunjung tinggi nilai dan hukum yang ada. Namun people power seperti yang digemborkan Amien Rais dan kubunya adalah seperti halnya jihad yang mau tidak mau harus dimenangkan bahkan sampai harus mengorbankan banyak hal yang berharga sekalipun.
Terbukti dengan seringkali pula, di kubu 02 ini membuat narasi jihad laiknya Perang Badar dalam pemenangan pilpres 2019 ini. Intinya, calon yang diusung harus menang dan lawannya adalah orang zalim, yang jauh dari kelayakan dalam memimpin bangsa ini.
Mempertanyakan Kekuatan Negara Pancasila dan Negara Hukum
Sebagai negara dan bangsa Pancasila serta menjunjung tinggi lima sila yang tertuang di dalamnya, kondisi dan situasi politik seperti yang terjadi kini justru tidak mencerminkan hal itu. Terutama sila ketiga yakni Persatuan Indonesia.
Kedua kubu seakan emoh peduli pada persatuan yang diperjuangkan di era kemerdekaan 1945 lalu. Hanya karena kursi jabatan dan fanatik buta yang malah condong ke arah Chauvinisme ini, mereka menggadaikan hal tersebut (sebuah kedaulatan) yang selama ini dirawat.
Selain itu, saat melihat yang terjadi, konteks negara hukum juga dipertanyakan. Sebab, yang terjadi seperti juga enggan untuk mematuhi hukum dan koridor yang berlaku. Melalui ancaman dan politik brutal jika sampai terjadi chaos, maka bangsa ini benar-benar telah menghianati hukum yang dibuatnya sendiri.
Selain itu pula, jika sampai terjadi chaos, maka peradaban yang katanya sudah dewasa ini malah berjalan ke arah kejahiliahan. Atau mungkin hal dan sikap ini adalah memang sebagai bentuk cerminan dari masih rendahnya sumber daya manusia yang ada.
Politik adalah jalan untuk sebuah bangsa tetap hidup dan berkembang. Bukan jalan untuk kejahiliahan dan kemerosotan nalar. [k]
KOMENTAR