Gambar: nalarpolitik.com |
Namun bagaimana jika pepatah tersebut dilihat secara subjektif? Akan timbul permasahan panjang di dalamnya. Rakyat dan Tuhan akan menjadi bias. Para penguasa yang tengah berkompetisi dalam panggung demokrasi saling berebut klaim atas suara rakyat dan suara Tuhan.
Abraham Lincoln pernah berkata, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Eksistensi suara rakyat sangat penting. Dalam proses Pemilu, para politikus membutuhkan banyak suara dukungan agar bisa menduduki kursi jabatan selama lima tahun.
Bahkan mereka menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan dukungan. Mulai dari pendekatan personal sampai mengundang simpati dengan melakukan pencitraan di media.
Perebutan suara rakyat ini membuat persaingan dalam Pemilu 2019 semakin sengit. Rakyat terpecah menjadi dua kubu. Sebagian kelompok yang kontra dengan kinerja Jokowi beralih mendukung Prabowo. Sementara sebagain kelompok lagi yang sudah merasa nyaman dengan sosok Jokowi yang sering dianggap ‘merakyat’ akan kembali menjagokannya.
Suara Pendukung Fanatik
Menjelang Pilpres 2019, kedua kelompok pendukung ini mempunyai sebutan unik bahkan cenderung sarkas karena menggunakan nama binatang. Cebong sebutan untuk pendukung Jokowi, dan kampret bagi pendukung Prabowo. Suara yang memicu perdebatan kedua kubu sangat riuh dan mengusai jagat media sosial. Membuat jenuh pengguna media sosial lain yang tidak berafiliasi dengan kedua kubu.
Pendukung fanatik kedua kubu saling adu wacana. Dukungan ke tokoh politik pilihan selalu digembor-gemborkan. Mereka turut berkampanye untuk mendapatkan massa yang lebih banyak. Bahkan begitu bangganya, secara terang-terangan mereka mengumbar keberpihakan politiknya kepada calon pasangan tertentu.
Pendukung fanatik kedua kubu tak sungkan-sungkan mendeklarasikan dukungannya di hadapan publik. Seperti yang dilakukan ribuan orang yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Jateng. Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Wafi Maimoen Zubair, memimpin deklarasi yang digelar pada 27 Februari 2019 di Gedung Pemuda Temanggung.
Dalam deklarasinya, Putra KH Maimoen Zubair atau yang sering dipanggil Gus Wafi itu menyampaikan bahwa warga PPP Jateng siap menyukseskan dan memenangkan Prabowo – Sandi Uno. “Kami warga PPP kesemuanya menyatakan semuanya mendukung dan siap menyukseskan serta memenangkan Prabowo Subianto menjadi Presiden RI periode 2019-2024, Allahu Akbar," kata Gus Wafi (beritasatu.com, 28/02).
Kondisi serupa juga terjadi di kubu petahana. Jokowi – Ma’ruf Amin mendapatkan dukungan dari ratusan guru yang tergabung dalam Forum Komunikasi Dakwah Takmiliyah (FKDT) Jawa Timur. Deklarasi itu dipimpin Ketua DPW FKDT Jatim, Santuham Akbar pada tanggal 13 April 2019 di Aula Hotel Utami Sidoarjo.
Santuhan Akbar menyatakan, siap menggerakkan puluhan ribu pengurusnya untuk mendukung Jokowi. Terlebih, setelah Ma’ruf Amin terpilih menadi calon wakil presiden. “Terkait dukungan ini, FKDT akan menggerakkan puluhan ribu pengurusnya hingga ke level desa untuk mengawal kemenangan Jokowi-Ma`ruf. Mereka akan memastikan seluruh guru madrasah bisa menggunakan hak pilihnya pada 17 April dengan mencoblos Jokowi-Ma`ruf," tandasnya (liputan6.com, 14/04).
Realita Tersembunyi di Balik Framing Media
Kecenderungan pilihan politik sangat terlihat jelas dari dua berita tersebut. Apalagi mendekati hari H pesta demokrasi, suara-suara rakyat kian masif menyesaki media massa. Isu-isu sensasional digencarkan untuk mengundang provokasi.
Tentu ada narasi tersembunyi di balik deklarasi itu. Seperti halnya kampanye, wacana yang ditampilkan di media hanyalah poin yang menguntungkan kelompok politik tertentu. Tujuannya agar masyrakat terhipnotis dengan sisi baik baik dari satu pasangan calon, dan dibuat jengah dengan perilaku buruk pasangan calon lain.
Dalam ranah inilah, pemberitaan media massa profesional dituntut untuk mengedepankan salah satu aspek jurnalisme, cover both side. Media massa profrsional dianjurkan untuk memuat dua sisi pemberitaan secara berimbang, agar tidak terkesan berpihak kepada kelompok tertentu.
Sebagaimana dikatakan oleh Stephen J. A. Ward bahwa keseimbangan pemberitaan diperlukan untuk mewujudkan rasa tanggung jawab pelaku media agar informasi yang disebarkan selalu menempatkan dua sisi. Menyeimbangkan antara kebebasan dan nilai-nilai yang hidup di lingkungan media, termasuk di dalamnya ada rasa keadilan, kesetaraan, serta rasa percaya yang dikelola secara tepat.
Bahkan dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 menegaskan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan azas praduga tidak bersalah”.
Meskipun demikian, sekeras apapun pelaku media untuk menjaga keseimbangan cover both side, pemberitaan media tidak bisa dilepaskan dari framing. Setiap media mempunyai framing pemberitaan tersendiri tergantung pada kepetingan masing-masing. Media massa akan menampilkan bagian-bagian tertentu yang nantinya akan terus ditonjolkan atau cenderung disembunyikan dalam pemberitaan.
Konstruksi framing yang dibangun suatu media sangat menentukan posisi pembaca dalam memandang realitas sosial. Jika media massa hanya menampilkan satu sisi peristiwa dalam pemberitaan, lantas bagaimana pendangan masyarakat setelah menerima informasi itu? Akan menjadi masalah jika masyarakat langsung mempercayai setiap berita yang diproduksi media.
Padahal terdapat realitas tesembunyi di balik teks berita yang belum tentu diketahui pembaca. Maka kecermatan membaca berita saja tidak cukup, pembaca juga harus memiliki jiwa skeptis, kritis, dan rasa ingin tahu yang tinggi atas narasi yang dibangun di dalam dan di balik suatu berita.
Menjadi Pembaca Kritis
Menangani hal itu, pembaca harus cerdas dalam menyikapi setiap pemberitaan. Dalam buku Analisis Wacana, Eriyanto menawarkan dua paradigma yang dapat digunakan untuk pembacaan teks berita. Pertama, paradigma positivistik. Kedua, paradigma konstruktivistik.
Pembacaan dengan paradigma positivistik membuat pembaca selalu percaya dengan informasi yang diterima. Pembaca memandang apa yang diberitakan media adalah benar adanya. Berita menjadi cermin sempurna atas peristiwa yang terjadi di lapangan. Namun paradigma ini tidak membuat pembaca mencari tahu tentang narasi yang dibangun di balik berita itu. Dalam kondisi ini, pembaca sudah terjebak framing yang diciptakan media.
Berbeda halnya jika menggunakan paradigma kontstruktivitsik yang menyertakan realitas di balik teks. Sikap kritis pembaca sangat diperlukan dalam paradigma ini. Dalam menghadapi teks-teks berita, pembaca akan selalu mempertanyakan setiap informasi yang beredar. Ia akan mempertanyakan relitas tersembunyi di balik teks berita. Misalnya, bagaimana posisi media dalam memberitakan fenomena ini? Mengapa dia mengambil angle demikian? Siapa pemilik media massa ini? Bagaimana afiliasinya dengan pihak yang diberitakan? Serta pertanyaan kritis lainnya.
Terbentuknya framing tentu tidak bisa lepas dari ideologi dan kepentingan media. Agar terhindar dari framing ini, alangkah baiknya pembaca menggunakan paradigma konstruktivistik. Pembacaan ini memungkinkan pembaca terhindar dari framing media. Sehingga mempunyai sikap dan kesimpulan berbeda dalam memandang realitas sosial terlepas dari teks yang tersaji.
Euforia Kemengan Semu
Suhu panas tidak kunjung reda meskipun Pilpres 2019 sudah terlaksana. Setelah pemungutan suara, publik dihebohkan dengan deklarasi kemenangan dari kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Keduanya saling mengklaim bahwa kubunya yang berhasil memenangkan suara rakyat.
Sehari pasca Pemilu, kubu Prabowo-Sandiaga menggemakan kemenangan di hadapan para pendukungnya. Bertempat di kediamannya, Jalan Kertanegara Jakarta Selatan, Prabowo mengkalim bahwa dia mendapatkan suara 62 persen berdasarkan hasil real count dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) di lebih dari 320 TPS. “Kami mendeklarasikan kemenangan sebagai presiden dan wakil presiden berdasarkan perhitungan real count lebih dari 62 persen," kata Prabowo (Kompas.com, 18/04). Deklarasi tersebut kemudian disambut dengan gema takbir dari seluruh pendukung yang hadir.
Kubu lawan tidak diam saja. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin juga menyatakan sebagai pemenang dalam Pilpres 2019. Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua TKN, Moeldoko saat jumpa pers yang digelar 19 April.
"Pada malam hari ini saya mewakili TKN untuk menyampaikan pernyataan resmi dari TKN. Pertama adalah TKN berterima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada paslon 01 Ir Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin sehingga menjadi pemenang Pilpres 2019," ujar Moeldoko di Rumah Cemara, Menteng, Jakarta Pusat (Kompas.com, 19/04).
Deklarasi kemenangan itu merujuk pada data Quick Count dari empat lembaga survei yang menunjukkan bahwa pasangan Jokowi - Amin menang atas Prabowo dengan perolehan suara lebih dari 52 persen. Keempat lembaga survei itu adalah Litbang Kompas, dan Lingkaran Suvei Indonesia, Indo Barometer, Kedai Kopi.
Namun apakah klaim kemenangan atas suara rakyat tersebut bisa dipertanggungjawabkan validitasnya? Sedangkan siapa pasangan yang nantinya akan menduduki kursi presiden dan wakil presiden akan diputuskan melalui jalur konstitusional. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumukannya hasil real count paling lambat tanggal 22 Mei 2019 mendatang.
Lantas, mengapa kedua kubu saling memperebutkan klaim kemenangan atas suara rakyat? Dari dua deklarasi yang dilakukan kedua kubu, tampaknya mereka benar-benar berambisi menduduki kursi orang nomor satu dan nomor dua di negeri ini. Mereka ingin menggiring opini publik dan meraih dukungan massa yang lebih banyak lagi.
Suara Sumbang di Media Sosial
Fenomena saling klaim kemenangan ini mendapatkan perhatian khusus dari publik, khususnya netizen di media sosial. Suhu politik bangsa Indonesia kian memanas. Pendukung fanatik kedua tidak berhenti berulah. Mereka saling beradu wacana dan argumen lewat media sosial.
Beragam jenis pujian, cibiran, bahkan umpatan berjejal memenuhi kolom komentar secara masif. Kedua pendukung tak henti-hentunya saling menghujat pasangan calon lawan. Suara-suara netizen di media sosial semakin sumbang.
Salah satu postingan di akun @satuindonesia.id menuai ribuan komentar. Postingan hasil quick count enam lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Jokowi dan Maruf Amin mendapatkan dukungan dan apresiasi dari netizen dengan akun @ardiansyah_welly. Di kolom komentar, dia menuliskan “Allahu Akbar. Secara pribadi saya memohon kepada Allah SWT agar Pak JKW tetap memimpin Indonesia kedepannya. Amin. Bangsa ini masih memerlukan pemimpin seperti beliau”.
Di sisi lain, pendukung yang kontra dengan Jokowi turut memberikan komentar juga. Akun instagram @rony.bandhoro tidak terima dengan hasil quick count yang menyatakan Prabowo – Sandi kalah. Dia mengatakan bahwa terjadi kecurangan dalam proses Pemilu ini. “Ini pasti Curang, kecurangan secara Terstruktur,Sistematif dan Masif.”
Begitulah kondisi dunia maya di tahun politik 2019 ini. Media sosial seolah menjadi ladang bagi netizen untuk menyuarakan aspirasinya. Namun permasalahan terjadi dengan para netizen yang mengeluarkan kata-kata kotor atau cibiran tanpa etika. Tanpa filter, mereka buas dan bebas dalam bersuara, tetapi tidak memikirkan bagaimana dampaknya.
Barangkali mereka memang tidak khawatir karena proses komunikasi di dunia maya bersifat anonim. Seseorang bisa menyamarkan identitas dengan membuat akun palsu. Bahkan satu orang bisa membuat akun lebih dari satu. Hujatan di media sosial ini juga tidak akan diketahui orang lain karena pengguna menggunakan akun samaran.
Harga Mahal Suara Rakyat
Pesta demokrasi yang digelar 17 April kemarin tentu membutuhkan biaya penyelenggaraan yang tidak sedikit. Untuk menyukseskan Pemilu 2019 ini, pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menganggarkan sebesar Rp 25,59 triliun dari Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN). Angka ini jauh lebih besar dibanding Pemilu 2014 dengan jumlah biaya Rp 15,62 triliun. Jumlah alokasi anggaran Pemilu melonjak sebanyak 61 persen. Fantastis, bukan?
Biaya itu mencakup surat suara, bilik suara, logistik, maupun keperluan lain dalam tiap-tiap TPS. Dana fantastis ini menunjukkan bahwa suara rakyat mempunyai harga mahal. Berapa pun biaya akan dikeluarkan pemerintah agar semua rakyat dapat menyampaikan hak suaranya.
Dalam negara demokrasi ini, rakyat memang mempunyai kedudukan tertingi. Pada praktiknya, suara rakyat menentukan calon pemimpin Indonesia ke depan. Karena begitu berharganya suara rakyat, calon pemimpin pun menggunakan beragam cara untuk mendapatkannya. Termasuk menggunakan cara yang dilarang, salah satunya praktik money politic.
Money politic menjadi cara yang sering digunakan. Ini cara kotor. Rakyat tersihir dengan iming-iming beberapa lembar uang,. Sementara para politikus rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya asal mendaptakan dukungan suara yang banyak dan bisa mengantarkannya ke kursi jabatan.
Praktik money politic sering terjadi di Indonesia saat terselenggaranya Pemilu. Tingkat pelanggaran ini pun terbilang tinggi. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, money politik di Indonesia sangat tinggi menurut standar internasional.
“Dari data yang saya himpun, pada tahun 2014 lalu, hampir mencapai 33 persen berbeda dari negara lainnya yang maksimal sekitar 28 persen. Ini menunjukan politik uang di indonesia masih sangat tinggi,” kata Burhanuddin (sindonews.com, 09/07/18).
Burhanuddin melanjutkan, praktik money politic tidak hanya berbentuk pemberian uang, tetapi juga dalam bentuk lain. "Paling besar 75% uang, 15% perkakas rumah tangga, 10% sembako. Dari situ saya mendapatkan data yang menarik dari informan di daerah, bahwa penjualan amplop meningkat tajam dan juga alat tukar uang kecil meningkat,” ungkapnya.
Kasus money politic tampaknya merata di daerah Indonesia. Dari Sulawesi Tengah terdapat 10 kasus, Bengkulu 8, NTT 7, Gorontalo 6, JawaTengah 5, Sulsel 5, Sultra 4 kasus, Jatim 4, Sulut 3, Maluku 3, dan Bali 2. Sementara Maluku Utara, Papua, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Banten, DIY rata-rata masuk satu kasus. Itu pun baru kasus money politic yang sampai di meja kepolisian. Sementara praktik money politic yang sudah menjadi rahasia umum bahkan telah membudaya, siapa yang bisa mengkalkulasikan jumlah kasusnya?
Kasus money politik ini telah mencederai sistem demokrasi bangsa indonesia. Rakyat tidak diberikan kebebsan dalam memilih calon pemimpin. Suaranya malah dibeli dengan harga yang relatif murah. Padahal konsep demokrasi adalah kebebasan suara rakyat sangat dijaga. Namun melihat fenomena ini, apakah Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi?
Tidak Bersuara, Salahkah?
Dalam setiap ajang Pemilu, banyak dijumpai sebagian masyarakat yang tidak mau menyuarakan hak pilihnya dengan berbagai macam penyebab. Kelompok yang memilih untuk diam dan tak bersuara ini masuk ke dalam golongan putih (golput).
Terdapat beragam faktor yang menyebabkan masyarakat memilih untuk diam saat Pemilu. Mereka bisa jadi tidak percaya terhadap kandidat pemimpin dan sekelompok partai. Mereka beranggapan bahwa sistem Pemilu tidak akan mengubah negara. Hasilnya, pemimpin yang terpilih akan melakukan hal sama dengan pemerintah sebelumnya, perubahan tidak akan terjadi di negeri ini.
Gelombang golput ini memang tidak pernah surut di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput menunjukkan tren yang meningkat. Tingkat golput awalnya hanya sebesar 8,60 persen pada 1955. Namun semakin ke sini semakin tinggi. Pada tahun 2014, angka golput dalam Pileg mencapai 24,89 persen. Sedangkan dalam Pilpres sebelumnya, masyarakat yang golput terdapat 29,01 persen masyarakat yang golput.
Namun pelanggaran ini tdak mendapatkan sanksi serius dari pemerintah. Masyarakat yang tidak mau menyuarakan hak pilih hanya mendapatkan sanksi berupa cibiran. Mereka dihujat tidak peduli dengan perkembangan bangsa ini. Padahal bukan itu alasannya, melainkan sistem Pemilu yang menyebabkan mereka memilih untuk diam.
Terkait permasalahan ini, memang tidak ada undang-undang yang mengatur tindakan golput. Barangkali ini yang menyebabkan partisipasi masyarakat kecil. Menangai hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat mengeluarkan fatwa mengharamkan golput. MUI beranggapan memilih menjadi kewajiban bagi warga negara. Karena hal ini sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa.
Tetapi fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2009, hanya sebatas fatwa yang tidak mengikat. Setelah penetapan fatwa tersebut bagaimana partisipasi masyarakat, terutama yang beragama Islam dalam setiap gelaran Pemilu? Apakah angka golput semakin menurun? Atau malah justru semakin naik?
Suara Rakyat yang Melahirkan Tirani?
Seorang filosof Yunani, Plato telah merumuskan konsep negara ideal. Menurut Plato negara paling ideal berbentuk aristokrasi kepiawaian. Sistem ini memungkinkan kekuasaan berada di tangan orang-orang terbaik dan paling bijak di negerinya. Pemilihan melalui proses seleksi yang ketat, bukan ditentukan melalui pemungutan suara.
Tetapi anehnya, hingga saat ini, tidak ada satu pun pemerintahan yang menerapkan konsep negara ideal versi Plato ini. Meskipun jutaan orang di seluruh penjuru dunia telah membaca pemikirannya yang tercantum buku The Republic. Negara-negara di penjuru dunia pada umumnya menerapkan asas monarki, demokratik, tirani demagogik. Tidak ada negara yang menganut aristokrasi kepiawaian Plato. Masihkah pemikiran ini layak dianggap sebagai negara ideal?
Dalam konteks Indonesia, negara ini telah beberapa kali berganti konstitusi pemerintahan. Mulai dari sistem pemerintahan parlementer, demokrasi terpimpin, hingga pemerintahan demokrasi yang bertahan hingga sekarang. Sistem pemerintahan demokrasi dianggap sebagai model pemerintahan yang paling cocok dengan kondisi geografis dan sosial-masyarakat Indonesia.
Namun demikian, Plato meramalkan bahwa bentuk negara demokrasi sangat berpotensi menimbulkan kekacauan dan anarki. Dalam bahasa yang lebih tegas, Plato mengatakan bahwa hasil logis dari bentuk negara demokrasi adalah tirani.
Plato mengutip ungkapan gurunya Socrates, ketika masyarakat mendapatkan kebebasan dalam demokrasi meraka akan mabuk karenanya. Kondisi ini membuat para pemimpin negara berusaha untuk tetap populer di mata rakyat. Popularitas pemimpin tersebut didapatkan dengan jalan citra untuk membela rakyat, tegas menegakkan peraturan.
Ketika program populis tidak lagi bekerja, para pemimpin akan memberikan beban berlebihan kepada rakyat agar mereka bisa mempertahankan aset ekonomi dan politik. Kemudian pemimpin akan menciptakan musuh dari dalam kelompoknya sendiri. Setiap warga negara yang menyuarakan kritik dilabeli sebagai simpatisan musuh. Mereka dianggap tidak memiliki jiwa patriotik.
Dalam tahap ini pemimpin telah benar-benar menjelma menjadi seorang tiran. Mengabaikan kebutuhan rakyat demi mempertahankan posisinya. Pemimpin lupa diri kepada suara rakyat yang dipercayakan kepadanya ketika Pemilu berlangsung. Apakah penyaluran suara rakyat di Indonesia serupa dengan kondisi tirani dalam demokrasi seperti yang diramalkan Plato? [Mahfud]
KOMENTAR