![]() |
Gambar: tempo.co |
Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Shohibul Iman menyebut Sandiaga Uno sebagai santri post-islamisme. Sandiaga dinilai sebagai sebagai seorang muslim yang tidak mengedepankan simbol dan identitas keislaman. Namun lebih dari itu, Sandiaga lebih mementingan substansi dan nilai-nilai keislaman. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, PKS mengklaim bahwa sifat dan perilaku Sandiaga mencerminkan nilai-nilai luhur yang diajarkan di pesantren.
Sebutan santri post-islamisme kepada calon wakil presiden Indonesia ini memicu berbagai komentar. Pengamat politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak mengatakan sebutan santri post-islamisme menjadi cara untuk membangun citra positif pada Sandiaga. Tujuannya, agar pasangan calon Prabowo-Sandiaga memperoleh dukungan dari umat muslim. Khususnya kalangan santri.
Apalagi ketika calon presiden Indonesia incumbent, Joko Widodo memutuskan untuk menggandeng Ma'ruf Amin yang berasal dari kalangan islamis dan dihormati para santri sebagai calon wakil presiden. Penyematan santri post-islamisme dianggap sebagai bentuk perlawanan dari kubu Prabowo-Sandiaga. Membangun citra calon pemimpin dari kalangan nasionalis-agamis.
Terlepas dari segala komentar pro dan kontra, penyematan sebutan santri post-islamisme menjadi isyarat bahwa pemilih dari kalangan santri menjadi salah satu sasaran bagi kedua pasangan calon presiden. Apalagi di tengah maraknya politik identitas yang terasa semakin kuat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Masyarakat semakin mudah terprovokasi dengan isu-isu yang berkaitan dengan identitas agama.
Lantas bagaimanakah hakikat santri yang sebenarnya? Apakah gelar santri bisa didapatkan secara instan? Serta bagaimanakah posisi santri di tengah pergulatan kepentingan politik seperti saat ini?
Identitas dan Sikap Santri
Satu hal yang jelas membedakan antara santri yang mondok di pesantren dengan gelar santri post-islamisme yang disematkan kepada Sandiaga Uno. Identitas santri post-islamisme Sandiaga didapatkan secara instan, itu pun berdasarkan hasil klaim sepihak dari kelompok tertentu. Sementara identitas santri bagi masyarakat yang pernah mondok di pesantren diperoleh melalui proses yang sangat panjang.
Pengalaman penulis yang pernah nyantri di pesantren selama enam tahun, memperlihatkan realitas kehidupan yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Kiai tidak hanya mengajarkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Melainkan pula mengajarkan nilai-nilai luhur ajaran Islam sesuai dengan konteksnya.
Kiai membangun landasan berpikir para santrinya melalui kajian kitab karya ulama klasik. Kemudian membebaskan santri untuk berkesplorasi dan mengekspresikan pikirannya sesuai dengan realitas kehidupan. Sehingga pola pikir santri mampu menjangkau lingkup lebih luas. Tidak sebatas pada persoalan normatif, hitam atau putih, yang belakangan rawan memicu konflik.
Ikatan santri dengan pesantren, kiai, dan sesama santri lainnya pun terbilang sangat kuat. Meskipun seorang santri sudah boyong dari pesantren, ia masih mengakui dirinya sebagai santri dari pesantren itu. Bahkan banyak pula yang menurunkan ikatan santri ini kepada anak-cucunya. Sehingga ketersambungan sanad keilmuan tetap terjaga dengan baik.
Saking istimewanya identitas santri, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) memberikan definisi tersendiri tentang makna seorang santri. Bagi Gus Mus, santri ialah murid-murid kiai yang dididik dengan penuh kasih sayang. Tujuannya untuk menjadikannya seorang mukmin yang kuat. Tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan perbedaan.
Selanjutnya makna santri bagi Gus Mus ialah orang yang mencintai tanah airnya. Tempat ia dilahirkan dan bersujud di atas tanahnya. Orang yang menghargai tradisi dan budayanya, serta menghormati guru dan orang tuanya hingga tiada. Selain itu Gus Mus juga menganggap santri sebagai orang yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Serta menganggap ajaran agam sebagai anugerah dan wasilah untuk mendapatkan ridho Tuhannya.
Santri bukanlah mereka yang semata terjebak dalam politik praktis. Mudah terprovokasi untuk memilih kelompok politik tertentu dan menghujat kelompok lainnya. Seorang santri yang telah dibekali landasan keilmuan yang kuat oleh para kiainya, akan terlebih dahulu melakukan tabayyun sebelum mengambil keputusan.
Santri, Komoditas Politik?
23 Oktober 2018 lalu Front Pembela Islam (FPI), turut merayakan hari santri nasional. Dalam kesempatan itu imam besar FPI, Riziq Shihab memberikan sambutan melalui video converence. Dalam sambutannya, Riziq mengajak anggota Front Santri Islam (FSI), yang juga hadir dalam acara itu, untuk tidak ragu memilih pasangan Prabowo-Sandi sebagai pemimpin negeri ini. Bahkan dalam forum ini, FSI menyebut diri mereka sebagai "santri militan" yang siap memenangkan Prabowo-Sandi.
Sementara di kubu lain, Ketua Pengurus Wilayah Muslimat DKI Jakarta, Hizbiyyah Rohim, mengklaim bahwa mayoritas kiai dan santri NU memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf. Hizbiyyah juga mengatakan bahwa saat ini keberadaan santri juga memiliki peran dalam memenangkan pasangan calon Jokowi-Ma'ruf.
Terdapat alasan-alasan tertentu mengapa para elite politik memperebutkan suara dari kalangan santri. Secara kuantitas, jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 25.938 pesantren. Dengan jumlah santri mencapai 3.962.700 jiwa. Jumlahnya memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang mencapai 185 juta jiwa. Namun secara sosial, penguasaan suara di kalangan santri memiliki dampak tersendiri.
Pakar budaya politik UIN Syarif Hidayatullah, Sukron Kamil menjelaskan kalangan pesantren menjadi daya tarik perebutan suara bukan karena banyaknya jumlah santri. Melainkan karena kuatnya pengaruh kiai dan santri di tengah masyarakat. Apalagi ikatan antara santri dan kiai yang tetap terjalin kuat. Meskipun seorang santri tidak lagi belajar di pesantren, namun ia akan tetap ta'dzim terhadap semua tutur dan laku sang kiai. Termasuk dalam urusan politik.
Memang tidak ada undang-undang yang melarang santri untuk andil dalam dunia politik. Namun ada baiknya jika santri mengambil langkah politik dengan hati-hati. Tidak asal mendukung satu pasangan calon dan menghujat pasangan calon lainnya. Dengan landasan keilmuan yang didapatkan dari kiai kemudian dikembangkan berdasarkan realitas kehidupan, akan membentuk pola pikir santri yang mendalam dan luas. Sehingga santri memiliki kepekaan tinggi, mampu menyadari lalu menolak untuk dijadikan sebagai komoditas politik. [Firda]
KOMENTAR