
Pikiran saya semakin dibuat cemas dengan perang tagar di media sosial (medsos). Bagaimana tidak, saya semakin khawatir dengan kondisi dunia maya yang dipenuhi dengan tagar-tagar untuk menjatuhkan orang atau kelompok secara blak-blakan dan tak kenal maaf. Perang tersebut sama sekali tidak lagi memikirkan dampak kemanusiaan dan sosial.
Terlepas dari segala dampak yang lebih berbahaya yang akan ditimbulkan dari perang tagar ini, sebagai pengguna aktif medsos -termasuk saya- realitas seperti ini tidak dapat terhindarkan. Selain itu, jika dilihat lebih detail lagi, tidak sedikit adanya kejanggalan-kejanggalan ketika perang tagar ini bertujuan untuk kepentingan tertentu.
Perang tagar menurut saya kini bahkan lebih fenomenal dari girlband Black Pink atau oppa oppa yang ada di drama Korea, terutama di Twitter dan Instagram. Mengapa demikian? Entah valid atau tidak, perang tagar seakan digunakan selain hanya untuk melihat jumlah pendukung masing-masing paslon melalui impresi pada tagar itu, perang tagar ini lebih parah lagi dijadikan cara ampuh untuk membentuk opini publik selama tahun politik berlangsung.
Di sisi lain, kesibukan warganet yang hanya hobi menscroll layar HP dari ke atas bawah (baca: gagap teknologi informasi), tidak sempat mengawasi dengan betul jalannya kampanye menjelang pesta demokrasi April 2019 nanti yang isinya terdapat hoaks. Jadi, ketika ada isu yang digoreng, mereka bisanya hanya ikut-ikutan merespon dan percaya begitu saja tanpa ada filter dan verifikasi terlebih dahulu.
Perang Tagar dan Politik Indonesia
Menjelang Pilpres 2019 seperti sekarang, pertarungan tagar semakin kentara dan jelas bertujuan untuk serang-menyerang belaka. Perang antara kubu Petahana dan oposisi, semakin ramai melalui tagar yang dibuat. Sebagaimana, tagar yang saat itu fenomenal dan cenderung merujuk untuk menjatuhkan salah satu paslon, yaitu, #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi.
Tagar #2019gantipresiden misalnya, siapa yang tidak mengetahui fenomena tagar tersebut. Berawal dari viralnya di dunia maya, ternyata mampu membangun opini publik, sampai dengan menggiring massa untuk melakukan aksi di berbagai daerah. Hal tersebut tentu, membuat kalang kabut dari pihak lawan politiknya. Tak sampai disitu, #2019gantipresiden juga mengidealisasi produk-produk fashion, dan menjadi trend belakangan ini.
Namun, pada masa-masa kampanye ini pada akhirnya dua kubu yang saling serang melalui tagar malah semakin kentara watak jahatnya. Tagar yang tranding kanal media sosial penuh dan tanpa celah. Semua berisi "yang penting lawan saya harus hancur". Bagaimana dengan rakyat yang selalu diombang-ambingkan dengan konspirasi tagar ini?
Siapakah Pendekar Berwatak Jahat yang Sebenarnya?
Kondisi di atas adalah realitas kontestasi politik yang terjadi sejak beberapa bulan terakhir ini. Sebuah realitas yang menurut saya tidak lagi mengenal humanisme, yang idealnya sebagai acuan dalam berpolitik. Media sosial yang pada awalnya dan seharusnya dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari perkembangan dan kemajuan teknologi, tetapi malah tidak digunakan sebagaimana mestinya. Elit politik tidak peduli dengan akibat dari penggunaan strategi tagar dan perilaku jahat di dunia maya.
Fenomena perang tagar yang terjadi menunjukkan begitu sadisnya laku elit dalam merusak akal sehat masyarakat. Bahkan, saya beranggapan, para pelaku perang tagar adalah pembunuh tersadis di sepanjang sejarah politik Indonesia. Karena hal tersebut telah benar-benar merusak persepsi-persepsi masyarakat dan menimbulkan kebingungan ketika melihat perang tersebut.
"Luka tubuh seminggu sembuh, tetapi luka pikiran dapat merusak sendi-sendi kehidupan."
Perang tagar akan menghancurkan satu persatu nalar masyarakat yang sudah mulai terbangun. Pembuat konten negatif semakin ke sini telah berhasil membuat kekacauan. Tidak hanya di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Mengakhiri perang tagar ini memang sulit, karena penggunaan medsos di kalangan publik yang meningkat dan susah untuk dikontrol.
Oleh karenanya, jika hal ini, kejahatan dan pembunuhan nalar ini terus dilakukan, maka konsekuensi yang akan terjadi adalah hilangnya cita-cita bangsa yang ingin besar oleh bangsanya sendiri yang berwatak jahat, melalui politik. [Da]
KOMENTAR