Hari Buruh Internasional (May Day) bermula pada waktu revolusi industri abad ke-19. Masyarakat yang tergabung dalam kelas pekerja berjuang meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Serikat pekerja menuntut perbaikan dalam hal pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik.
Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa tanggal 1 Mei di Amerika sebagai hari buruh sedunia. Aksi ini mengeluarkan resolusi berisi, "Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis".
Resolusi tersebut mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara. Kemudian diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara sebagai "Hari Buruh Internasional", meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.
Tidak berhenti sampai di situ, peringatan hari buruh setiap tahunnya diwarnai dengan tuntuntan dari kelas pekerja buruh. Hal ini bisa dilihat dari kasus yang terjadi selama tiga tahun terakhir di Indonesia.
Baca Juga: Sejak Perempuan (Terpaksa) Memilih Menjadi Buruh
Tahun 2016, ada sembilan tuntutan yang diajukan oleh para buruh. Seperti menolak PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan; naikkan upah minimum tahun 2017sebesar 30 persen; ubah komponen KHL menjadi 84 item; mendukung Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk buruh dan rakyat. Lalu, para buruh menolak pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tolak PHK sepihak, tolak upah murah, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan yang terakhir menolak kriminalitas aktivis pekerja.
Kemudian pada tahun 2017, Para serikat buruh menuntut tiga permintaan yang disuarakan dalam aksi May Day. Seperti menghapus outsourcing (kontrak kerja) dan magang, jaminan sosial, juga menolak upah murah. Sedangkan di tahun 2018, para buruh menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dan mendesak Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dakhiri mundur dari jabatannya.
Tidak semua tuntutan kaum buruh bisa diterima dan terealisasikan. Banyak dari tuntutan-tuntutan tersebut yang sampai saat ini belum bisa dipenuhi. Salah satunya para buruh selalu menuntut pemerintah dan pengusaha untuk memperhatiakan kesejahteraan pekerja, yakni terkait pengupahan. Kenaikan upah minimun dianggap sangat melemahkan kaum buruh jika ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Adanya PP no. 78 tahun 2015, dianggap telah merampas hak serikat pekerja untuk menentukan upah minimum.
Baca Juga: Membicarakan Menteri Pendidikan Pencetak Buruh
Selama ini, peringatan hari buruh seperti hanya sebatas seremonial saja. Hak-hak yang disuarakan setiap 1 Mei oleh para buruh tidak bisa dipenuhi secara menyeluruh. Hal Itu hanya sebatas aksi demonstrasi tanpa adanya hasil. Tuntutan tersebut hanya ditindaklanjuti sebatas respon dan wacana tanpa adanya kebijakan yang jelas.
Gerakan aktivis buruh setiap tahunnya menjadi perjuangan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada intinya, cita-cita gerakan buruh bertujuan untuk kesejahteraan bagi kaum buruh dan keluarganya. Dua hal yang menjadi fokus tuntutan, yakni kenaikan upah minimum dan kepastian kerja. Dalam hal ini, upah minimum berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan kaum buruh.
Perjuangan panjang yang menyita waktu dan energi untuk menaikan upah minimun seringkali berhasil, meskipun kenaikannya tidak signifikan. Namun tidak jarang juga memgalami kegagalan. Bahkan terkadang masih ada perusahaan-perusahaan yang tidak menangguhkan upah.
Kuasa di Balik Hari Buruh
Di balik tidak terpenuhinya tuntutan kaum buruh, ada sistem kuasa yang berpengaruh di dalamnya. Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia ialah sejarah perjuangan kelas, yang mana melahirkan kelompok borjuis (pengusaha) dan kelompok proletar (buruh).
Borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem industri yang menghilangkan hak buruh sebagai manusia. Marx juga menjelaskan, konflik disebabkan oleh faktor ekonomi, di mana penguasaan terhadap alat produksi oleh borjuis. Walaupun jumlah borjuis sedikit, tetapi mereka dapat memonopoli kekuasaan dan hasilnya. Sedangkan jumlah kaum proletar lebih banyak dan tidak memiliki kuasa. Sehingga dijadikan robot, diperlakukan sewenang-wenang yang bertentangan dengan HAM.
Proletar bekerja guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dengan menerima upah dari kaum borjuis. Sedang kelas borjuis bekerja dengan mencari untung atau laba sebanyak-banyaknya. Mereka sering diperas tenaganya dan diberikan upah yang rendah guna kepentingan meraup laba sebesar-besarnya. Mereka pun menerima apa adanya, asalkan dapat bekerja, memperoleh upah dan dapat bertahan hidup dengan keluarga.
Baca Juga: Siapa Berani Jadi Petani?
Kaum proletar juga kehilangan kebebasan. Mereka memprotes Borjuis dengan melakuakn demontrasi karena tidak ada kekuasaan yang memberikan hak untuk berbuat lebih. Daftar panjang tuntutan buruh yang tidak terpenuhi menjadi bukti nyata masih berlangsungnya kesenjangan kelas dalam sosial hingga kini.
Seharusnya antar kaum buruh dan pengusaha harus ada kesetaraan dan keadilan karena sama-sama penggerak perekonomian negara. Buruh perlu mendapatkan output yang imbang atas apa yang telah meraka kerjakan. Namun sebaliknya, HAM justru dipertukarkan dengan nilai rupiah. Para buruh dijadikan sapi perah untuk para penguasa dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Kaum buruh yang terus menyuarakan haknya tidak diperdulikan dan seakan hanya menjadi angin lalu. Jika keadaan ini masih terus berlangsung dan tidak ada solusi yang lebih baik, bisa jadi aksi demonstrasi pada peringatan hari buruh akan tetap menjadi seremonial selamanya. Para buruh akan tetap tertindas dan para pengusaha semakin berjaya. [Gita]
Artikel Terkait:
Menengok Sejarah Hari Perempuan Internasional
Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
KOMENTAR