Pendidikan digaungkan sebagai sarana pendongkrak kemajuan bangsa di semua lini kehidupan. Pendidikan yang tinggi juga dipercaya dapat melahirkan generasi emas yang mampu menuntaskan kemiskinan di negara ini. Tetapi langkah nyata yang ditempuh pemerintah belum menunjukan komitmennya .
Seperti pernyataaan Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, yang meyatakan bahwa pendidikan vokasi dan studi terkait science, technology, engineering, arts and mathematics (STEAM) lebih utama digalakkan untuk memenuhi kebutuhan industri daripada sarjana sosial.
"Kita masih menutup pendirian prodi selain STEAM dan vokasi, karena kaya gitu. Jangan sampai perguruan tinggi kita terlalu banyak yang humaniora dan sosial saja, tetapi kebutuhan industri sebetulnya bukan di situ," ungkap Totok (Tribunjakarta.com, 12/03/2019).
Sistem pendidikan ini menunjukkan bahwa masyarakat dididik menjadi masyarakat buruh semenjak dini. Konstruksi pendidikan tinggi negara ini masih sekadar mencetak para pencari kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Karena visi pendidikan ‘siap latih’ berkonotasi kemampuan kuli yang nasibnya bergantung pada ketersediaan lowongan pekerjaaan.
Anggapan masyarakat mengenai pekerjaan bahwa orang yang sukses ialah yang memiliki pekerjaan mapan, berdasi, berjas, dan duduk manis sebagai pegawai kantoran, menjadi satu sisi permasalahan tersendiri. Mindset yang tertanam kuat membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan ‘impian’ tersebut. Mereka juga rela bersaing dengan jutaan masyarakat lainnya demi dianggap mapan. Ini bukti nyata bahwa mentalitas masyarakat berorientasi menjadi ‘pesuruh’ yang dipekerjakan dan diperbudak.
Kenyataannya, menjadi masyarakat industri belum dapat menjamin kesejahteraan bahkan untuk HAM sekalipun. Permasalahan Upah Minimum Regional (UMR) masih menjadi bola panas yang digoreng mentah setiap tahunnya. Tentang rendahnya upah yang belum bisa dikatakan cukup manusiawi. Hal ini terjadi akibat membludaknya tenaga buruh dan minimnya peluang kerja yang diciptakan para pelaku wiraswasta.
Jika mentalitas buruh ini terus dianak-pinakkan melalui orientasi pendidikan yang hanya condong ke arah industri, dapat dibayangkan bagaimana kondisi Indonesia 10 tahun yang akan datang. Padahal permasalahan negara ini tidak hanya pada sektor ekonomi. Banyak masalah sosial yang juga harus mendapatkan perhatian. Alih-alih mendapatkan para sarjana humaniora dan sosial yang memerhatikan problematika sosial, pemerintah malah mencetak masyarakat robot yang diwajibkan hidup terisolasi dari dunia.
Ketika konsen pendidikan hanya memenuhi kebutuhan pasar dan menutup mata akan permasalahan moral yang terus menggerus jiwa bangsa ini, apakah pemerintah akan tetap mengklaim bahwa pendidikan Indonesia menekankan pendidikan karakter dan moral? Sedangkan lulusannya acuh terhadap permasalahan sosial dan hanya mengejar kemapanan ekonomi. Masyarakat digiring menjadi asosial dan apatis. Usaha yang terlalu minim untuk merealisasikan cita-cita bangsa.
Secara eksplisit konstitusi mengamanatkan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sedangkan untuk menuju ke arah sana dibutuhkan generasi optimis yang terus berprogres, bukan pesuruh yang pesimis.
Generasi muda menjadi garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Akan tetapi jika sedari dini dicekoki juga ditempa bermental dan menjadi budak, akankah cita-cita itu terwujud? Mungkinkah Indonesia bisa bergerak dalam perubahan dan kemajuan? [Adha]
KOMENTAR