gambar: teras.id/ |
Sebagai wanita yang hidup di zaman modern, banyak wanita memilih menjalankan peran ganda. Sebagai ibu rumah tangga sekaligus penopang ekonomi keluarga. Dalam bahasa kekinian, mereka disebut sebagai wanita karir. Beragam pekerjaan mereka lakukan, mulai menjadi staff di perusahaan, buruh pabrik, bahkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
Survey Angkatan kerja Nasional (Sakernas) tahun 2016 mencatat jumlah pekerja Indonesia mencapai 16,4 juta. Dari total jumlah tersebut sektor jasa kesehatan dan tenaga sosial menjadi yang paling dominan diisi oleh pekerja wanita sebanyak 67,5 persen. Disusul jasa pendidikan sebanyak 61,1 persen. Serta sektor jasa lainnya sejumlah 62,3 persen. Sebagian dari pekerja wanita ini menganghap bahwa apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari implementasi emansipasi wanita yang digagas RA. Kartini. Benarkah demikian?
Memilih menjadi seorang pekerja wanita bukannya tanpa risiko. Meskipun secara ekonomi mampu meringankan beban finansial rumah tangga, seorang ibu yang memilih bekerja dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi putra-putrinya. Kasih sayang dan pengetahuan yang seharusnya dicurahkan dengan sepenuh hati harus terputus karena sang ibu harus memenuhi target produksi di pabrik. Sehingga curahan kasih sayang beralih ke nenek, atau bahkan pengasuh anak yang sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga.
Dalam Islam, terdapat hadis yang menyebutkan bahwa seorang ibu adalah tempat belajar pertama seorang anak. Ibulah yang membangun karakter anaknya, sehingga ia menjadi orang yang paling menentukan sikap seorang anak ketika sudah dewasa. Ketika seorang ibu lebih memilih menggadaikan waktunya untuk bekerja di pabrik, tidak sepantasnya ia menyalahkan orang lain ketika anaknya memiliki etika yang kurang baik.
Diskriminasi Buruh Wanita
Bukan suatu pemandangan asing setiap peringatan Hari Buruh Nasional pada 01 Mei, banyak pekerja wanita yang ikut turun ke jalan. Seperti yang terjadi di Jakarta dalam peringatan Hari Buruh Nasional 2018 lalu. Para buruh wanita menyuarakan tuntutan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Mereka menilai, hak-haknya sebagai wanita tidak dipenuhi oleh pabrik tempat mereka bekerja. Kebijakan pabrik dinilai hanya berpihak kepada buruh pria dan mengabaikan hak buruh wanita.
Hasil penelitian dari Labore Institute Indonesia menyebutkan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang hingga saat ini dihadapi buruh wanita. Tiga hal ini pula yang sering disuarakan sebagai bentuk diskriminasi terhadap buruh wanita. Pertama, kekerasan berbasis gender. Buruh wanita masih sering mendapatkan pelecehan seksual di tempat kerja. Anehnya, mereka tidak mau melaporkannya kepada pihak berwajib karena ingin bermain aman, tidak ingin kehilangan pekerjaannya.
Selain itu, juga terjadi ketimpangan status sosial antara pria dan wanita. Banyak yang menganggap bahwa buruh wanita yang bekerja di pabrik masih berstatus lajang. Padahal dalam banyak kasus, ada buruh wanita yang justru menjadi penopang utama perekonomian keluarga. Anggapan semacam ini membuat potensi pelecehan buruh wanita di tempat kerja semakin meningkat.
Kedua, sulitnya mendapatkan hak maternity. Wanita selalu mengalami siklus periodik yang berpengaruh terhadap kuantitas produksi, seperti menstruasi, hamil, dan menyusui. Dalam banyak kasus, perempuan yang akan melahirkan tidak mendapatkan hak cuti. Namun dipersilahkan untuk berhenti.
Ketiga, sulitnya akses mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Sulitnya akses BPJS ini banyak dialami oleh buruh wanita yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Pemilik perkebunan berdalih bahwa satus buruh wanita hanyalah sebagai pekerja borongan.
Terdapat kontradiksi ketika buruh wanita menuntut penyelesaian atas dugaan diskriminasi di tempat kerja tersebut. Buruh wanita menjadi tidak fokus dengan keputusannya untuk terjun ke dunia kerja. Sebab, kebanyakan sistem dan kebijakan pabrik disusun atas dasar perilaku dan kebiasaan buruh pria.
Hakikat Wanita Indonesia
Dalam sejarahnya, wanita direkrut menjadi bagian dari buruh sebab alasan ekonomis. Pada masa itu upah untuk buruh wanita lebih murah dibandingkan buruh laki-laki. Sehingga semakin banyak merekrut buruh wanita sama artinya dengan menghemat biaya produksi. Selain itu, wanita juga dinilai lebih pasif dan tidak banyak menuntut hak. Alasan-alasan itu sebenarnya lebih menguntungkan pihak pemilik pabrik daripada buruh wanita itu sendiri.
Namun karena adanya himpitan ekonomi wanita memilih nekat untuk menjadi buruh. Mengesampingkan putra-putrinya yang memerlukan kasih sayang dan pendidikan. Fenomena buruh wanita terlanjur menjadi tradisi. Meskipun hal itu menciderai nilai-nilai tentang adat ketimuran wanita Indonesia. Toh, mereka tetap dianggap ikut memperlancar produksi dan distribusi berbagai komoditas perdagangan di Indonesia.
Beruntunglah masih ada sebagian wanita lainnya yang lebih memilih menjadi wanita sejati. Wanita yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Menjadi wanita yang memahami hakikat makna emansipasi yang digagas oleh RA. Kartini. Bahwa kesetaraan yang dimaksud RA. Kartini ialah kesetaraan dalam banyak aspek, terutama dalam akses pengetahuan. Tidak melulu soal urusan ekonomi seperti yang lantang dikoarkan kebanyakan wanita zaman kini.
[ask]
KOMENTAR