
Gelagat golongan putih (golput) menjelang pemilihan umum (pemilu) semakin menjadi sorotan. Tidak hanya ramai dan menjadi tren, golput acapkali disebut sebagai tindakan acuh terhadap demokrasi. Sedang bagi sebagian yang lainnya, golput bukan sekadar tidak bersuara, melainkan cara menyuarakan sikap dalam berpolitik.
Angka golput cenderung meningkat dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, 2009, dan 2014 menunjukkan peningkatan jumlah golput.
Pada pilpres 2004 yang diselenggarakan dua putaran, jumlah golput pada putaran I mencapai angka 21,80 persen. Sementara pada putaran II meningkat sebesar 23,40 persen. Pada pilpres 2009, angka golput naik lagi menjadi 28,30 persen. Angka golput kembali meningkat menjadi 30 persen pada pilpres 2014. Bagaimana dengan angka golput dalam pemilu 2019? Sejumlah pengamat memprediksi angka golput dalam pemilu 2019 akan melambung tinggi.
Lantas apakah masyarakat yang tergolong pemilih golput layak dianggap sebagai pihak yang mencederai semangat demokrasi? Sejumlah kalangan menilai golput menjadi bagian dari hak politik. Undang-undang tidak melarangnya dan bukan termasuk dalam kategori tindakan kriminal. Golput baru dianggap sebagai tindakan terlarang jika ia telah menjadi sebuah gerakan. Jika seseorang terbukti mengajak orang lain untuk golput atau menciptakan keadaan yang membuat orang lain tidak menggunakan hak pilihnya, maka ia bisa dipidanakan.
Baca Juga: Era-nya Milenial dan Redesign Skema Politik Nasional
Sementara sebagian kelompok yang menolak golput, berdalih bahwa hak politik dalam pemilu harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Sebab hal ini berkaitan dengan arah kebijakan pemerintahan selama lima tahun mendatang. Meskipun mereka tidak bisa menampik bahwa banyak calon pemangku kebijakan di pemerintahan memiliki rekam jejak yang buruk. Dengan demikian dalih "Memilih terbaik dari yang terburuk," menjadi acuan dalam sikap menolak golput. Memilih sebagai bagian dari peran warga negara mengurangi risiko terburuk.
Dinamika Golput di Indonesia
Dalam buku Indonesian Politics and Society: A Reader, istilah golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Ini merupakan pemilu pertama pada masa Orde Baru. Partisipasi masyarakat dalam pemilu waktu itu menyusut dibanding pemilu sebelumnya, yakni pemilu tahun 1955.
Arief Budiman (Soe Hok Djin), kakak dari Soe Hok Gie, menjadi orang yang pertama kali menginisiasi golput. Pada waktu itu Indonesia sedang dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Upaya mencari bentuk pemerintahan yang tepat pun menjadi salah satu alasan munculnya golput.
Sebab lainnya, karena jumlah partai politik (parpol) peserta pemilu mengalami penurunan. Pada pemilu tahun 1955, jumlah partai politik peserta pemilu mencapai 172 partai, kemudian menyusut menjadi 10 partai pada pemilu tahun 1971. Bahkan beberapa parpol dibubarkan. Di antaranya, Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Hilangnya partai-partai yang memiliki basis massa besar, menyebabkan masyarakat kehilangan pilihan politis. Sehingga mereka memilih untuk golput.
Golput menjadi alternatif sikap politik ketika tidak ada yang kredibel untuk layak dipilih. Menurut manifesto golput dalam buku Analisa Pandangan Fenomena Politik Golput oleh Arbi Sanit, golput menyandang identitas sah. Sebuah identitas bagi yang tidak puas dengan situasi maupun peserta pemilu yang dihadirkan.
Dari sejarah kemunculannya, terdapat Dua jenis golput. Pertama, golput karena persoalan teknis. Pemilih tidak bisa hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) karena alasan tertentu. Seperti halnya daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah, bencana alam yang meneyebabkan tidak memungkinkan masyarakat untuk melakukan pemungutan suara di TPS, serta pesoalan teknis lainnya.
Kedua, golput ideologis. Dilakukan dengan penuh kesadaran. Biasanya, karena pemilih menilai tidak ada peserta pemilu yang pantas untuk diberi mandat. Golput ideologis muncul sebagai protes terhadap kaderisasi partai politik yang tidak berjalan dengan baik. Sehingga hanya menghasilkan para politisi partisan yang miskin visi dan misi berkualitas. Perolehan kursi kekuasaan menjadi prioritas, sementara hak-hak rakyat dikesampingkan begitu saja.
Selain alasan apatisme, golput ideologis juga muncul karena sistem politik yang membelenggu. Penokohan politis hanya terfokus pada beberapa tokoh saja. Semisal PDIP yang lekat dengan sosok Megawati Soekarno Putri, partai Nasdem dengan Surya Paloh, dan masih banyak tokoh sentral lainnya. Kuatnya citra politik tokoh tersebut menutup kemungkinan munculnya tokoh alternatif untuk maju sebagai peserta pemilu. Selain itu, bisa jadi terdapat konsolidasi oligarki politik yang semakin menggelembung di dua kutub politik.
Akar Masalah
Penilaian terhadap golput tidak bisa dinilai secara normatif menggunakan kacamata hitam dan putih. Munculnya golput menunjukkan masih hidupnya demokrasi di negeri ini. Sebab hal itu menjadi implementasi dari pasal 28 E ayat 3 UUD 1945. Negara menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengekspresikan gagasan. Termasuk ekspresi politik untuk memeilih golput.
Meningkatnya tren golput mengisyaratkan hubungan yang tidak harmonis antara rakyat dan pemerintah. Dua elemen pembentuk negara ini seakan hidup dalam pendikotomian. Saling bertindak dan berlaku dalam ruang dan kepentingan masing-masing. Padahal seharusnya, rakyat dan pemerintah bersinergi dalam membangun dan memajukan negara. Jika kontak kepercayaan antara keduanya putus, cita-cita bangsa yang termaktub dalam UUD 1945 hanya akan berakhir sebagai cita-cita. Saling mencurigai dan menjauhkan diri.
Baca Juga: Membendung Bahaya Laten Politik Identitas
Lantas langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk meminimalisir golput di Indonesia? Dalam melihat permasalahan ini ada baiknya rakyat dan pemerintah melihat kembali ke akar permasalahan berupa rasa saling percaya. Pemerintah memberikan pelayanan dan kinerja terbaiknya, sungguh-sungguh tanpa ada kepentingan yang mengekor. Sedangkan rakyat menerima dan mengkritisi kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan berlandaskan akal sehat serta disampaikan dengan baik dan benar.
Dengan demikian peran rakyat dan pemerintah akan berjalan sebagaimana mestinya. Bergerak dalam visi dan misi bersama. Saling bersikap kritis yang membangun, bukan menjatuhkan. Tentu bukan hal mudah dan memerlukan waktu lama untuk menciptakan harmoni tersebut, selama golput masih menjadi permasalahan serius dalam pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Dengan segala permasalahan yang telah dibedah di atas, masihkah anda berpikiran untuk golput?
[Ainun Nafisah]
Artikel Lain:
Jejak Politik Mantan Perwira
Pemilu, Untuk Rakyat atau Pejabat?
Hoaks vs Parodi di Pilpres 2019
Jokowi dan Bayang Politik Militer
KOMENTAR