
Politik itu kotor, anggapan yang cukup familiar di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya dalam pendengaran generasi milenial. Nampaknya, hal tersebut lantaran fakta bahwa tak sedikit para politisi memberikan edukasi politik yang cenderung bersinggungan dengan hal negatif, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Telah menjadi hal yang wajar ketika generasi penerus berstigma demikian, toh juga faktanya seperti yang tergambarkan di atas. Namun tentunya keadaan demikian tak semestinya menjadi bahan guna menggeneralisir kedewasaan berfikir masyarakat Indonesia khususnya dalam wilayah politik.
Sikap apatisme generasi milenial terlihat dari hasil survei Litbang Kompas November 2018 lalu mengungkapkan bahwa hanya 2,3% kaum milenial yang tertarik dengan isu nasional berkaitan dengan politik dan tercatat 11% yang memiliki keinginan untuk menjadi anggota partai politik. Angka yang cukup memprihatinkan jika melihat fenomena hegemoni penduduk dengan usia produktif di Indonesia.
Disadari atau tidak, perjalanan republik ini dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa diharapkan dapat tetap eksis. Belum lagi cita-cita berbangsa a la Bung Karno yang di antaranya diharapkan bangsa Indonesia dapat berkedaulatan dalam politik sebagaimana tertuang dalam Trisakti Bung Karno. Tentunya apa yang telah menjadi amanat founding, akan menjadi indah bila dapat menjadi referensi ilmiah dalam proses pendewasaan sebuah bangsa.
Baca Juga: Era-nya Milenial dan Redesign Skema Politik Nasional
Berangkat dari keadaan yang demikian, keberadaan generasi milenial diharapkan dapat lebih banyak memperhatikan unsur penting dalam berbangsa. Meskipun politik tak selalu menjadi poin penting dalam setiap diskusi, setidaknya tetap ada masyarakat yang peduli dalam dunia perpolitikan. Karena proses politik pada kenyataannya mempengaruhi unsur-unsur kehidupan manusia dalam bernegara.
Perhatian yang dimaksud di sini tidak serta merta mengharuskan kaum milenial masuk dalam wilayah politik. Misalnya saja terobosan yang dilakukan admin akun media sosial Calon Presiden bayangan Nurhadi-Aldo dalam menyoroti kejenuhan masyarakat Indonesia terkait pertempuran simpatisan Capres 01 maupun 02. Admin yang enggan mengungkapkan identitasnya di ruang publik itu mencoba memberikan edukasi politik yang tidak selalu penuh dengan intrik dan keseriusan. Kalau sudah begini, kita patut mengingat apa yang dulu pernah dikatakan Presiden Keempat Republik Indonesia, Gus Dur, bahwa ada yang lebih penting dari politik, yaitu kemanusiaan.
Fakta bahwa generasi milenial yang seringkali bersinggungan dengan dunia maya juga patut untuk diperhitungkan, melihat perkembangan dunia yang kini telah sampai pada industri 4.0. Apalagi adanya tarik-ulur keberpihakan kaum milenial dalam politik. Akhirnya muncul sebuah kajian penting dalam tubuh tim pemenangan masing-masing calon terkait dengan strategi politik dalam menggaet kaum milenial.
Baca Juga: Membendung Bahaya Laten Politik Identitas
Hal yang juga tidak kalah penting ialah minat dari kebanyakan kaum milenial. Mereka lebih akrab dengan dunia maya, khususnya dalam memaksimalkan media sosial. Nampaknya, ini menjadi ciri khusus kaum milenial yang lahir di tengah meledaknya pasar digital. Akhirnya mereka lebih mudah menyatu dan memaksimalkan kecanggihan teknologi modern.
Landasan berfikir kaum milenial tentu tak bisa jauh dari fenomena digital, tentunya elit politik melihat ini sebagai sebuah stressing point baru guna meningkatkan elektabilitas masing-masing pihak. Lalu, bagaimana strategi politik yang harus dilalui oleh generasi minim pengetahuan digital dalam menggaet simpatisme generasi melek teknologi sekarang ini? [kls]
Artikel Lain:
Jejak Politik Mantan Perwira
Pemilu, Untuk Rakyat atau Pejabat?
Hoaks vs Parodi di Pilpres 2019
Jokowi dan Bayang Politik Militer
KOMENTAR