![]() |
Gambar: Istimewa |
Beberapa hari yang lalu, ada salah satu mahasiswa yang membagikan berita terkait Kampus Merdeka di grup WhatsApp. Kemudian, ada salah satu dosen menanggapi terkait kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa kebijakan itu sama dengan kebijakan "model prasmanan". Menurutnya, nantinya mahasiswa malah tidak fokus pada satu studi yang diambil.
Tanggapan berbeda diungkapkan oleh Rektor IPB. Ia mengatakan, kebijakan Kampus Merdeka akan mampu memberikan fleksibilitas mahasiswa untuk belajar lintas disiplin ilmu. Nantinya, mahasiswa akan lebih leluasa untuk berekspresi dalam hal kreativitas. Selain itu, adanya program lapangan diharapkan mampu menedekatkan mahasiswa dengan masyarakat secara langsung.
Kebijakan Kampus Merdeka yang merupakan kelanjutan konsep Merdeka Belajar, disampaikan Nadiem Makarim dalam peluncuran program 'Kampus Merdeka' di Gedung D kantor Kemendikbud, di Senayan, Jakarta, Jumat (24/01/2020).
Nadiem Makarim menggagas empat kebijakan di Kampus Merdeka. Kebijakan pertama memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk membuka program studi (prodi) baru. Kedua, program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat.
Ketiga, memberikan kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Terakhir, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). (tribunnews.com)
Pro-Kontra Kebijakan Kampus Merdeka
Dalam Tri Dharma perguruan tinggi memiliki tiga poin yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga hal ini menjadi tujuan yang hendak dicapai setaip perguruan tinggi.
Baca Juga: Di 'Kampus Merdeka', 8 Kegiatan Luar Kelas Ini Bisa Jadi SKS
Melalui kebijakan pendidikan menjadi salah satu jalan untuk mendukung tercapainya tujuan perguruan tinggi. Seperti halnya kebijakan "Kampus Merdeka" Nadiem Makarim yang menjadi sarana untuk bisa mencapai tiga tujuan perguruan tinggi. Namun sepertinya tidak semulus itu, kebijakan baru Nadiem Makarim tidak bisa lepas dari kritik.
Kebijakan yang menurut Mendikbud Nadiem Makarim dapat "melepaskan belenggu kampus agar lebih mudah bergerak" ini, dicap memperkuat komersialisasi pendidikan. Orientasi pendidikan semacam ini akan mencetak tenaga siap kerja bukan peningkatan kualitas keilmuan.
Ketika waktu magangnya diperbanyak, secara tidak langsung akan meneyediakan tenaga buruh yang murah. Seorang buruh magang biasanya akan diberi upah lebih kecil dari buruh biasa meskipun jam kerjanya sama.
Melansir dari Tirto.id, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, kebijakan Nadiem sangat berorientasi pada pasar bebas, terutama poin ketiga, yaitu mempermudah kampus jadi PTN BH. Ia mengatakan, PTN BH itu sendiri adalah bentuk komersialisasi pendidikan tinggi yang mengeksklusi anak-anak dari kalangan tidak mampu. Selain itu menurutnya, mempermudah kampus berbadan hukum sama saja memperluas praktik komersialisasi pendidikan.
Kebijakan Kampus Merdeka yang keempat, yang memberikan kelonggaran mahasiswa untuk mengambil Satuan Kredit Semester (SKS) di luar batas studinya, hanya akan membelenggu mahasiswa. Banyaknya studi yang bisa diambil oleh membuat bimbang arah jalur studi dan kurang mendalami studi yang diambil.
Selain itu, pendidikan yang memperluas program lapangan atau magang hanya akan berefek pada wilayah teknis dan jurusan konvesional yang berkesempatan luas pada ruang industri. Sementara untuk jurusan sosial dan keagamaan terancam bahaya, berpotensi dihilangkan karena tidak masuk terhadap wilayah industri.
Baca Juga: Pentingnya Sistem SKS Baru di 'Kampus Merdeka' Nadiem Makarim
Sebagai prodi yang paling banyak diminati di Indonesia, studi berbasis pendidikan yang berorientasi melahirkan guru, kurang tersentuh dalam kebijakan ini. Kebijakan Kampus Merdeka bahkan tidak menyinggung problematika peningkatan kualitas guru yang saat ini bisa dikatakan masih rendah kualitasnya.
Hal di atas tidak selaras jika dicocokkan dengan Tri Dharma Tinggi yang saat ini masih menjadi pijakan. Pertama, perihal pendidikan dan pengajaran. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang membuat peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan kebijakan Kampus Merdeka yang digagas Nadiem Makarim belum sampai pada mambahas upaya peningkatan kualitas pendidikan yang masih problematik.
Kedua, terkait Penelitian dan Pengembagan. Melaksanakan penelitian dan pengembangan sebagai salah satu peranan mahasiswa, sebagai upaya untuk memajukan dan mengembangakan bangsa ini. Penelitian dan Pengembangan bisa dilakukan oleh setiap studi di masing-masing perguruan tinggi, sesuai dengan bidang keilmuan yang diambil.
Hal ini sebagai bentuk upaya peningkatan kulitas keilmuan. Tentunya, juga akan berdampak pada majunya ekonomi, pendidikan, sosial, dan sektor-sektor lainnya di masyarakat.
Sebagaimana yang sesuai dengan salah satu dari tujuan Pendidikan tinggi menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012. Di mana hasil studi nantinya kan menghasilakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. Sehingga bermanfaat bagi kemajuan bangsa serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Ketiga, Pengabdian Kepada masyarakat. Tujuan pendidikan tinggi yakni terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Indonesia Coba-coba?
Ganti menteri ganti kebijakan, sudah menjadi tradisi di Indonesia. Setiap pergantian menteri, kebijakan seperti digoyang. Setiap menteri baru memiliki kecenderungan yang sama untuk mengubah arah kebijakan ketika masa awal jabatannya. Dengan alasan, untuk menyesuaikan arah perkembangan kehidupan yang beragam.
Dalam hal ini, Mendikbud menjadi yang paling sering menjadi sorotan setaip kali mengganti kebijaknnya. Perubahan itu selalu tidak bisa lepas dari pro dan kontra. Wajar saja, karena kebijakan mendikbud berkait dengan masa depan penerus bangsa.
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Tahun 2013 menjadi tahun yang banyak disorot bagi Mendikbud. Pergantian kebijakan paling signifikan ketika Mendikbud memberlakukan kurikulum 2013 (kurtilas) untuk menggantikan kurikulum 2006 KTSP. Kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari agensi pendidikan maupun masyarakat luas. Dalam pelaksanaannya pun tidak merata. Tidak semua sekolah menerapkan kurtilas. Kurang siapnya SDM dan fasilitas menjadi salah satu alasannya.
Kemudian ketika Anies Baswedan memegang kursi mendikbud, kebijakan kurtilas pun ditunda. Anies juga mengubah Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi tolak ukur kelulusan. Keadaan ini mengakibatkan carut-marutnya sistem kurikulum di sekolah. Sebagian sekolah menggunakan KTSP, sedang sebagian lagi menggunakan Kurtilas. Pelaksanaan UN menggunakan dua materi, baik dari kurtilas dan KTSP.
Gebrakan ini pun menjadi kebijakan yang digencar oleh Nadiem Makarim, yang telah resmi Menghapus UN di semua tingkatan sekolah. Kemudian ada kebijakan Kampus Merdeka yang ramai menjadi buah bibir.
Namun, apakah benar perubahan-perubahan itu sebagai penyelarasan kebijakan dengan realitas yang ada? Atau itu semua malah menandakan ketidakmatangan konsep kebijakan yang berlaku? Atau bahkan, "tanam-cabut" kebijakan hanya sebagai ajang unjuk gigi menteri baru agar "dikata bekerja"?
Baca Juga: Sambat dan Problematika Pendidikan Indonesia
Pelajar ataupun mahasiswa yang menjalankan sejumlah aturan atau kebijakan seperti alat untuk menjalankan uji coba. Dipaksa mengikuti aturan baru untuk menguji kelayakan kebijakan, baik atau tidaknya. Jika bagus, maka akan berlanjut. Jika tidak, akan digantikan lagi oleh kebijakan baru. Beginikah bentuk esensial dari wajah pendidikan di Indonesia?
Jika benar-benar menimbang dari latar belakang budaya pendidikan Indonesia yang heterogen, fasilitas, maupun SDA, pergantian kebijakan seharusnya bukan semata karena "ganti menteri ganti kebijakan". Pergantian kebijakan seharusnya memperbaiki kebijakan-kebijakan yang tidak lagi relevan, ataupun sebagai peneyempurna kebijakan yang belum sepenuhnya selaras dengan keadaan yang terjadi.
Characters Building yang Masih Sebatas Wacana
Sistem pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab untuk membawa perubahan dalam diri pelajar maupun masyarakat sosial. Dunia pendidikan tidak hanya fokus dalam ranah akademik namun juga berperan dalam membangun karakter mahasiswa. Dengan pendidikan berbasis karakter, diharapkan mampu mencetak generasi berkualitas, baik dari segi moral, akademis, maupun sosial.
Pendidikan karakter tidak hanya terfokus pada kualitas akademis saja. Tetapi juga menerapkan nilai nilai yang bersanding dengan aktualisasinya sehari-hari. Jika hanya membidik dalam ranah akademik, tidak akan secara penuh memberikan kemajuan pengetahuan.
Baca Juga: Darurat Kriminalitas Remaja
Rektor Universitas Lancang Kuning, Prof. Dr. Syafrani, M.Si pada konvensi kampus IX dan temu tahunan XV di Semarang (17-19/01/13) mengemukakan, pendidikan karakter menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa sebagai ujung tombak menciptakan peradaban bangsa yang lebih baik.
Mahasiswa menjadi tumpuan bagi terciptanya kemakmuran, kemajuan, serta kemandirian bangsa Indonesia. Mahasiswa harus menjadi dinamisator pembangunan agar bangsa Indonesia memiliki daya saing tinggi, sehingga sejajar bahkan unggul dari bangsa-bangsa lain.
Kurikulum berganti-ganti setiap periode, membuat kita lupa tentang pendidikan karakter yang masih terjebak dalam komersialisasi. Sekolah sebagai batu loncatan. Orientasi setelah lulus kuliah hanya untuk bekerja, sesuai dengan bidang studinya.
Jhon Henry Newman berkata, universitas menjadi tempat yang paling cocok untuk mendidik intelektual. Melihat suatu bidang ilmu sebagai suatu bagian dari suatu keseluruhan, yang mempunyai hubungan dengan bidang ilmu lain. Universitas bukan sebuah akademi, yang hanya menekankan penelitian dan menegasikan formasi pendidikan. Akan tetapi menekankan dua-duanya, penelitian dan formasi pendidikan.
Lantas, bagaimana kondisi pendidikan saat ini? Pengetahuan intelektual bukan lagi sebagai prioritas utama untuk meningkatkan kualitas keilmuan. Universitas bukan lagi tempat untuk mendidik intelektualitas. Pendidikan hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk memasuki dunia kerja.
Seakan tidak ada lagi universitas yang menjadi laboratorium bagi mahasiswa untuk mengolah diri menjadi manusia kualitas unggul. Manusia yang tidak hanya berasaskan "title-mu apa?" tetapi menjadi manusia yang berkarakter sebagaimana "manusia". Sudahkah kita siap berlayar untuk mengarungi samudera intelektualitas untuk menjadi manusia unggul?
[Gita Fajriyani]
KOMENTAR