
Kasus Gangster, begal, pembunuhan, dan pemerkosaan yang dilakukan orang yang tergolong dalam perlindungan hukum (anak dan remaja) masih menjadi momok bagi bangsa ini. Hingga kasus terbaru yakni bullying tiga pelajar di Purworejo yang memukul dan menendang teman perempuannya di dalam lingkungan sekolah. Seolah tidak pernah usai, kasus tersebut menjadi ironi yang kian menambah catatan kriminalitas bangsa ini.
Jika dilihat dari motif dan praktiknya, kasus tersebut tidak layak disebut sebagai sebuah bentuk kenakalan. Namun sebuah bentuk kejahatan, sama halnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Meski demikian, hingga kini pemahaman akan peradilan yang menjerat perilaku remaja tersebut masih tetap disebut sebagai "kenakalan" yang dalam beberapa sudut pandang masih dapat ditolelir.
Melihat kasus bullying di Purworejo kepada gadis berinsial CA misalnya. Meskipun yang tampil di permukaan adalah bentuk bullying secara verbal (pemukulan dan penganiayaan pada fisik), akan tetapi jika melihat motifnya adalah bentuk kejahatan pemalakan layakanya preman dan begal. Dengan meminta uang saku, saat tidak diberi lalu korban pemalakan (CA) dianiaya secara brutal sebagaimana di dalam video yang viral.
Pro kontra pun terjadi. Sebagian orang menginginkan pelaku dihukum atau dijebloskan penjara, sebagian yang lain masih mempermasalahkan kontradiksinya. Yakni tiga remaja tersebut masih dalam kategori dilindungi Undang-undang yang belum bisa diproses pidana.
Konstitusi mendefinisikan secara tegas, yakni subjek hukum bagi anak atau remaja adalah berusia di bawah 18 tahun. Batasan usia tersebut dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jika ditinjau dari kacamata hukum tersebut, remaja yang melakukan sebuah tindakan pidana seperti tiga siswa pembuli dan penganiayaan di Purworejo masih digolongkan sebagai tindak pidana anak yang berbeda hukumnya orang yang umurnya di atas 18 tahun. Atau di dalam kajian hukum disebut pula dengan juvenile delequency yang kemudian diterjemahkan sebagai sebuah "kenakalan remaja". Namun yang masih dilematis adalah belum ada penegasan tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana oleh anak itu.
Jadi, dalam implementasinya seringkali kasus kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pemalakan, dan sejenisnya yang dilakukan oleh remaja berjalan alot dan kompleks. Kompleksitas ini terjadi pasalnya dari pihak korban atau siapapun yang menganggap yang dilakukan pelaku sebagai "kejahatan" atau "kriminal" dan bukan "kenakalan" merasa keputusan hukum yang ada menjadi timpang.
Penyebab
Setiap hal yang terjadi tentu terdapat faktor-faktor penyebabnya, sebagamaina Karl Binding dalam teorinya gleichewicht yang mengatakan semua syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab.
Perihal kenakalan dan atau kriminalitas remaja yang masih ambigu ini, beberapa penelitian menyebutkan terdapat dua faktor, yakni internal dan eksternal. Faktor internal di sini salah satunya adalah karena rendahnya konsep diri dari remaja itu sendiri (Yulianto, 2009). Atau dalam artian bangunan nilai dan akhlak yang dimiliki remaja tersebut dapat disebut "miskin".
Penelitian Fuadah (2011) tentang kenakalan remaja menyebutkan bahwa remaja yang melakukan kenakalan dengan kategori rendah (mencontek), sedang (membolos, merokok, memiliki gambar atau bacaan yang berkonten porno), hingga kategori tinggi (seks bebas, minum alkohol, memukul, merusak atau mengambil barang milik orang lain, berkelahi dan tawuran), dikarenakan pengendalian diri yang dimilikinya sangatlah rendah.
Faktor lain yakni eksternal juga memiliki peranan penting dalam pembentukan kenakalan remaja yang terjadi. Oleh karena rendahnya konsep diri yang dimiliki remaja yang kian ke sini kian brutal tersebut, seringkali dalam kacamata sosio-psikologis adalah identik dengan kesalahan dalam pola asuh orang tua. Peranan orang tua dalam membentuk kepribadian seseorang.
Selain itu, kelompok sosial dan lingkungan sosial (teman sebaya) juga memiliki pengaruh dalam memberikan tekanan yang kuat untuk melakukan konformitas pada seseorang terhadap pandangan norma sosial yang ada, sehingga membuat orang yang dikonformis saat ingin menghindari situasi yang menekan tersebut justru menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2011).
Tak hanya itu, peranan perkembangan zaman seperti hidup di era internet dan media sosial juga seringkali dikaitkan sebagai faktor yang juga berpeluang membentuk diri dan tindakan seseorang. Remaja yang kecanduan berinternet dan terlalu sering menonton konten-konten yang sifatnya kenakalan dan kriminal dapat membangkitkan hasrat seseorang untuk cenderung mengikuti.
Solusi; Peran siapa?
Problem kenakalan yang dilakukan remaja baik masuk dalam kategori rendah maupun kategori yang tinggi seperti kriminalitas sebagaimana dijelaskan di atas bukanlah perkara yang dapat dianggap wajar begitu saja. Apalagi di era yang semakin ke sini semakin sulit untuk mengontrol diri maupun sosial.
Kesadaran diri sebagai faktor internal yang membentuk pikiran dan sikap seseorang untuk dapat dikatakan sebagai orang atau remaja yang tumbuh secara normal atau disebut baik adalah sebuah keniscayaan jika tidak dibarengi dengan faktor internal yang kuat dan terus membentuk diri dan sosial.
Peranan orang tua (parenting) yang semakin kehilangan kontrol atas anaknya perlu sangat penting untuk dijadikan evaluasi para orang tua karena tanggung jawab remaja adalah sepenuhnya kuasa dari orang tua. Selain itu, agama dan pendidikan yang menjadi jembatan character building juga perlu untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam kemaslahatan generasi dan umat dalam menyongsong hari esok.
Kriminalitas remaja yang kian darurat di republik ini juga tanggung jawab negara melalui jalan hukum yang menjadi pedoman dalam berbangsa. Oleh karena itu, dalam menghadapi krisis moral dan kriminalitas remaja, jika masih terus memakai teks peradilan yang masih dan terus bersifat ambigu dalam praktiknya adalah sebuah wajah lemahnya konsepsi atas bangsa itu sendiri yang menyebut dirinya sebagai negara hukum.
Di sini, meskipun ada beberapa kasus yang sudah diketahui publik dan menyelamatkan satu korban kriminalitas yang dilakukan remaja, namun masih banyak bahkan ribuan kasus serupa yang barangkali masih merajalela. Oleh karena itu, langkah oleh semua pihak dalam hal ini penting untuk segera dilakukan dan dieksekusi sebelum semakin banyak bentuk kriminalitas lain yang semakin menambah serta mengeraskan suara sirine tanda terjadinya krisis yang mengakar dan sulit ditemukan bagaimana untuk bisa bangkit dan merdeka dari yang kita anggap tidak sesuai. Begitu.
[Gita Fajriyani]
KOMENTAR