
Pada Ujian Akhir Semester (UAS) lalu, suasana tegang sudah mulai tercium mulai beberapa minggu sebelumnya. Perpustakaan menjadi destinasi di kampus yang ramai pengunjung setelah kantin, mahasiswa juga lebih lama menghabiskan waktu di kampus demi menyiapkan materi atau bahan untuk UAS. Tak sedikit mahasiswa yang mengeluh atau sambat menghadapi fase itu hingga hampir semua instastory tentang UAS dengan caption yang terkesan sambat.
Pada bulan tersebut juga menjadi bulan yang menyakitkan bagi anak pesantren, karena tak sedikit mahasiswa yang juga berstatus sebagai mahasantri. Selain harus menyelesaikan tugas UAS, mereka juga harus menyelesaikan kewajiban di pesantren misalnya harus setor hafalan bagi mereka yang mengikuti program tahfidz, dan juga mengikuti rangkaian kegiatan lain dalam pesantren yaitu mengaji dengan berbagai macam kitab yang harus dimkanai.
Terkadang sambat juga diperlukan, semacam seni dalam menjalani hidup. Perihal UAS semua mahasiswa pasti mengalami sesuai dengan kesulitannya masing-masing, menjadi persoalan ketika mahasiswa yang belum mempunyai modal untuk menyelesaikan tugas kuliah, mereka harus memeras otak lebih keras. Misalnya di program studi (prodi) Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IAT) secara tidak langsung wajib mahir dalam bahasa Arab, Karena mata kuliah yang ditawarkan semua melibatkan kitab-kitab tafsir.
Baca Juga: Sistem Pendidikan 'Sang Pembunuh' Kreativitas
Tak sedikit mahasiswa yang bukan dari pesantren atau sekolah dibawah naungan Kemenag menjadi bagian dari keluarga IAT, hal ini terjadi ketika mendaftar diterima oleh pihak kampus. Dengan tuntutan zaman yang telah merabah pada 4.0 para akademisi juga harus berani bersaing berdasarkan keahlian masing-masing. Kompleksnya permasalahan di zaman globalisasi ini, juga keinginan kampus dengan lulusan yang mumpuni dalam bidangnya, tentu mahasiswa secara tidak langsung berkewajiban memiliki modal dasar.
Masalah tersebut juga menjadi tanda mentahnya sistem pendidikan di Indonesia, makanya tidak jarang lulusan diploma atau sarjana yang menganggur. Menurut data BPS 2018, hampir 8% dari total 7 juta lebih sarjana Indonesia menganggur. Angka ini meningkat 1,13% dari tahun 2017, namun menurut Kemenristekdikti di tahun 2017 pengangguran lulusan sarjana mencapai 8,8% jumlahnya mencapai lebih dari 630 ribu jiwa.
Idealnya calon mahasiswa memilih jurusan yang sesuai dengan potensi dasar, selain memudahkan dalam menjalani pendidikan juga berpotensi menjadi mahasiswa yang kompeten dalam bidangnya lebih besar. Jika sudah kejadian dimana mahasiswa masuk di prodi yang tidak sesuai dengan kemampuan dasar harusnya ia juga berani menggempur dirinya untuk terus belajar dan menggeluti makul yang ditawarkan di prodi tersebut. Menilik ketatnya persaingan di dunia pekerjaan juga kebutuhan pasar semakin menjadi dilema tersendiri. Belum lagi kasus pendidikan yang dijadikan sebagai komoditas dengan penawaran infrastruktur hingga kualitas mahasiswa siap kerja.
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Sudah semestinya bahkan menjadi kebutuhan, pendidikan mengantarkan kita untuk menjalani hidup lebih mapan, bersosial sesuai dengan budaya dan adat yang ada, tentunya menuju pada peradaban yang gemilang dimana manusia mampu mengukur dan menciptakan lingkungan yang bermanfaat. Seperti kata Ibnu Sina pendidikan berkaitan dengan seluruh aspek yang ada pada diri manusia, mulai dari fisik, mental maupun moral. Pendidikan dilarang mengabaikan perkembangan fisik. Pendidikan membentuk individu secara menyeluruh termasuk jiwa, karakter dan pikiran.
Namun untuk menuju pendidikan yang menyeluruh tentunya tidak mudah, melihat kondisi kurang baik dalam sistem pendidikan. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih, mulai dari pemerataan fasilitas pendidikan, tenaga pengajar yang kompeten, hingga memulai gerakan baru dengan merancang kurikulum yang lebih efektif dan efisien.
Mahmud Yunus salah satu cendekiawan Indonesia menafsirkan pendidikan sebagai usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agama.
Lantas bagaimana untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak jika menjadi mahasiswa yang mumpuni dalam jurusannya sendiripun mengalami kesulitan?
[Safira]
KOMENTAR