Istimewa |
Secara aktivitas dosen dan mahasiswa menjadi bulan-bulanan dalam menyelesaikan proses akademik. Mahasiswa yang dikejar tugas, begitu juga dosen yang mengejar mahasiswanya dalam meneyelesaikan tugas perkuliahan yang satu bulan dipercepat.
Dosen diberikan alternatif untuk melakukan pembelajaran di luar jam perkuliahan yang sudah ditentukan seperti yang sudah terjadwal kalender akademik awal semester. Pada awal semester mahasiswa UIN Walisongo sebelum memulai perkuliahan dipersilakan mengisi Kartu Registrasi Semester yang isinya pemilihan jumlah mata kuliah serta jam yang diinginkan mahasiswa. Kecuali, bagi mahasiswa semseter satu dan dua yang masih mendaptkan materi paket mata kuliah universitas.
Para mahasiswa dan dosen yang seharusnya dalam satu semester ditarget melaksanakan pertemuan akademik 16 kali tatap muka per mata kuliah, menjadi carut marut. Empat pertemuan harus dikorbankan dan harus dibayar mahal dengan kuliah 'maraton'. Mahasiswa kuliah dibebankan dengan tugas, tugas dan tugas. Tiada hari tanpa mengerjakan tugas kuliah. Begitu kasarannya.
Tidak jarang ada dosen yang menggunakan sistem pengajaran 'ngebut' dengan tugas-tugas yang harus memakan waktu lumayan lama prosesnya. Dapat dikatakan tugas mode digital seperti, ngevlog, buat pocast, buat resensi film berbau teknologi, dan sejenisnya.
Barangkali itu biar dikira sudah ikut zaman, era digital banget. Tapi yang saya tahu sebagian mahasiswa dan dosen merasa tertekan dengan akumulasi waktu akademik yang lebih pendek.
Bayangkan saya mendampingi teman shootting video semalam untuk satu tugas yang bedurasi kurang dari tujuh menit. Harus memakan waktu hampir sehari baru jadi. Sementara dalam kelasnya tidak diajarkan cara broadcasting, operasi edit video, retorika menerangkan dihadapan layar, dan lainnya.
Memang semuanya bisa dipelajari. Namun di sini melihat estimasi waktu yang singkat dan tanggung jawab pendidik yang tidak memberikan modal pengetahuan tentang proses pengerjaan tugas terbilang sangat kurang. Di sini terkesan bahwa dosen mengajarkan mahasiswa secara asal.
Maka jangan heran produk yang dihaslkan dari hasil kerja mahasiswa juga minim kualitas. Lantas apakah model pendidikan seperti inikah sebagai titik pondasi yang digadang-gadang menjadi sumber moral dan peradaban kemanusiaan bagi bangsa dan negara Indonesia ke depan?
Baca Juga: Kampus dengan Segala Firmannya
Belajar dari Ki Hajar Dewantara
sepadaku.org |
Jika dilihat dari kondisi pembelajaran di UIN Walisongo saat ini dengan mahasiswa yang dikejar deadline tugas dosen terkesan sangat jauh dari filosofi 'taman' yang dimaksud Ki Hajar Dewatara dari sebuah lembaga pendidikan. Dosen memberikan tugas karena demi memenuhi program akademik secara kolektif, sedangkan mahasiswa mengerjakan tugas dengan berkenyut-kenyut ria dibuat bingung tidak tahu apa tujuannya yang penting jadi, lantas dikumpulkan begitu saja.
Belum lagi mahasiswa yang punya kegiatan tidak hanya di mengikuti perkuliahan saja, tetapi ikut kegiatan ekstra untuk menunjang skil dan kreativitasnya. Misalnya saja mengikuti kegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa, atau ikut ekstra di luar kampus, maka otomatis terusik.
Dalam pendidikan yang tidak terjadi dialektika atau proses timbal balik pengetahuan yang seharusnya jadi upgrading ilmu pengetahuan maka yang terjadi pembelajaran searah. Dosen memberikan tugas lalu mahasiswa mengerjakannya tanpa mengetahui apa tujuan dari yang dikerjakan. Setelah itu dikumpulkan ke dosen dan nilai keluar. Selesai?
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Membunuh Kreativitas
Mahasiswa perlu menyadari kalau ia bukanlah robot yang didekte, diatur, dan dicekoki pil mata kuliah lalu diminta menelan tanpa dikunyah mentah-mentah. Atau diberi waktu untuk merasakan, apakah manis, asam, atau pahit. Atau bahkan diberikan waktu untuk cukup mengetahui berapa dosis dan tujuan pil tersebut untuk tubuhnya, dirinya, kesehatannya.
Jika tidak ada pengertian semacam itu maka apa yang akan terjadi? Mahasiswa bukan sebagai generasi yang dapat memberikan perubahan, karena saat dia sekolah di lembaga pendidikan, sistem telah membungkam dan mematikan kreativitasnya.
Benar apa kata seorang teman yang mengatakan pada saya, 'The school is Killing Creativity'. Sistem sekolahan yang sekarang menjadi faktor pembunuh kreativitas pelajar dan siswanya. Sekolah tidak lebih dari sebuah perusahaan yang memproduksi manusia yang berpikiran kaku, primitif, dan jauh dari wawasan yang luas dan bermental baja untuk menghadapi zaman yang semakin maju.
Tidak heran jika baru-baru ini pendidkan Indonesia mendapat peringkat 5 terbawah dari 80 negara yang berpartispasi dalam penilaian PISA hasil penelitian tahun 2018. Hasil itu bukan mencerminkan bangsa yang cerdas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nadiem Makarim menengatakan hasil penelitian PISA harus dijadikan pembelajaran untuk mengubah sistem pendidikan, dari budaya pendidikan, hingga model pembelajaran yang harus segera dirombak untuk lebih baik. Fungsi dari belajar yang paling penting yaitu mau instropeksi dan mau berubah dengan terbuka dan menerima saran.
Sekali lagi teman saya yang lain juga mengatakan, tidak ada yang lebih penting dari tujuan pendidikan, politik, agama, dan semuanya itu kecuali tujuan untuk kemanusiaan. Tidak ada jalan yang dapat mencapai puncak derajat tertinggi kemanusiaan kecuali dengan ilmu.
Nabi Muhammad bersabda, barangsiapa yang ingin selamat di dunia maka gunakanlah ilmu. Barangsiapa yang ingin selamat di akhirat maka kuasailah ilmunya. Dan barangsiapa yang ingin selamat di dunia dan akhirat maka kuncinya adalah ilmu. Maka belajar untuk tujuan mencari ilmu harus diperbaiki dengan metode pendidikan dan pengajaran yang baik. Allah juga pernah berpesan untuk banyak membaca, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu." [Ma'arif]
KOMENTAR