
Lebaran menjadi hari yang paling dinanti oleh umat muslim setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Silaturrahim menjadi agenda wajib saat hari raya ini tiba. Idulfitri menjadi medium berkumpul dengan sanak saudara. Pasalnya ketika hari-hari biasa dengan kesibukan masing-masing, berkumpul bersama keluarga menjadi momen mahal. Pada hari raya ini, mereka yang bekerja maupun hidup jauh dari keluarga, akan menyempatkan diri untuk mudik demi kembali merekatkan tali silaturrahim.
‘Sungkeman’ menjadi ciri khas saat lebaran tiba. Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi keluarga, sanak saudara, teman maupun relasi. Sungkeman tumbuh 'apik' di tengah masyarakat muslim Indonesia. Selain menjadi tradisi, syariat agama pun menganjurkan keutamaan untuk selalu menyambung tali silaturrahim. Karena hal ini dapat mempererat ukhuwah, kaitannya dengan hablum minannas.
Namun, seiring berkembangnya teknologi khususnya internet, gawai, dan media sosial membuat masyarakat semakin mudah berkomunikasi. Untuk saling bertegur sapa ataupun sekedar menanyakan kabar, bisa dilakukan dari jarak jauh. Melipat jarak dan mempersingkat waktu.
Sayangnya, kemudahan ini menjadikan masyarakat lebih menggampangkan semua hal dalam komunikasi, termasuk ketika lebaran. Bagaimana tidak, dewasa ini mengucapkan selamat lebaran melalui jejaring sosial menjadi tren dan fardhu 'ain bagi penggunanya. Cukup ketik dan klik, ritual idulfitri tertunaikan.
Baca Juga: Belajar dari Sufi Gila
Tradisi ‘sungkeman’ yang dilakukan ketika bertemu secara langsung kini berubah menjadi pesan singkat “Selamat Hari Raya Idulfitri, Mohon maaf lahir batin ya” yang bertebaran via Whatsapp, Facebook, Instagram, telepon, atau bahkan video call. Pesan singkat dan pesan suara ini dianggap lebih praktis dan cepat daripada harus saling ‘sambang’. Padahal, lebaran menjadi momen khusus dimana seseorang beristirahat dari kesibukannya untuk kembali duduk dan sekedar ‘ngopi’ bersama keluarga.
Fenomena inilah yang disebut dengan High Tech, Low Touch, di mana semakin tinggi teknologi semakin rendah hubungan fisik antar manusia. Kecanggihan ini membuat orang-orang merasa kurang perlu lagi bertemu dengan orang lain.
Dampak yang timbul tentu saja ada, budaya berkumpul dengan keluarga menjadi semakin berkurang dan banyak orang yang tidak mengenal silsilah keluarga besarnya sendiri. Hal ini banyak terjadi terutama pada generasi milenial. Sebab merekalah yang mendominasi pengguna internet sebanyak 49,52 persen dari 143,26 juta orang Indonesia yang menggunakan internet dari total populasi sebanyak 262 juta orang, begitu rilis data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017.
Data ini menunjukan bahwa masyarakat, terutama para milenial menjadi viartualis. Sebab apa yang mereka jalani di dunia maya seakan menjadi realitas yang cukup mewakili. Silaturrahim yang terjalin lewat media sosial dianggap sama seperti bertatap muka secara fisik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Adib Rofiuddin Izza, "Yang namanya silaturrahim itu ya ketemu. Bukan lewat hape. Enggak bener itu kalau silaturrahim via hape," (NU online, 31/12/18).
Lebih jauh, dampak dari ‘manusia virtualis’ ini membuat masyarakat menjadi individualis dan apatis. Jika fenomena ini terus berlanjut, kekerabatan yang telah terjalin lama akan menjadi asing ketika keluarga antar generasi tidak saling mengenal. Romantisme keakraban pun terasa hambar. Meski dianggap praktis, silaturrahim virtual ini menggerus kebersamaan dalam kekerabatan.
[Adha]
Artikel Lain:
Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
Merayakan Hari Valentine yang Islami?
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
Merayakan Hari Valentine yang Islami?
KOMENTAR