gambar: inspiringalquran.com |
Pro dan Kontra ramai menanggapi keputusan NU tersebut, bahkan ada yang mengatakan bahwa cara berpikir NU tentang hal ini menyesatkan. Seperti yang di ungkapkan Sekretaris Jenderal Forum Ulama Islam (FUI), Muhammad Al Khaththah mencurigai adanya motif politik.
"Saya punya perkiraan, ada hoaks baru yang mengatakan bahwa kafir dianggap memiliki nilai negatif. Padahal menurut Islam, istilah kafir ini diungkapkan yang jauh lebih netral," kata Khaththath seperti yang dilansir cnnindonesia.com (2/3/19).
Baca Juga: Alasan Munas NU Soal Kafir yang Jadi Non-Muslim
Di lain pihak, Novel Bamukminin, salah satu tokoh Front Pembela Islam (FPI) menilai tidak ada kekerasan teologi dalam penyebutan kafir seperti yang menjadi alasan Sidang Komisi Bahstul Masail Munas NU dalam keputusan tidak menyebut non-Muslim sebagai kafir. Menurutnya, Indonesia sudah cukup diikat dengan Bhinneka Tinggal Ika dan Pancasila untuk menjaga toleranasi.
Padahal, keputusan NU tidak menggunakan term kafir untuk non-Muslin tersebut bukanlah tanpa alasan. Menilik literatur kebahasaan, term kafir sebenarnya memiliki banyak makna. Tidak hanya bersifat teologi yang berhubungan dengan keagamaan. Penyebutan kafir disesuaikan dengan konteks peristiwa yang membersamainya.
Makna Plural Kafir
Dalam Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur, Kafir (plural: kuffâr) berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran. Setidaknya ada empat klasifikasi mengenai makna kafir. Pertama, Kafir Inkar ialah orang yang tidak mengenal Allah, sekalipun mengenal, kafir inkar tidak mau mengakui-Nya.
Kedua Kafir Juhud, ialah orang yang mengingkari Allah dengan lisannya karena tidak mengenal Allah dengan hatinya.
Ketiga Kafir Nifaq, ialah orang yang munafik, mengakui dengan lisan tentang keesaan Allah, namun hatinya memberontak.
Terakhir, Kafir Inad. Jenis kafir ini berkebalikan dengan Kafir Nifaq di mana mengingkari keesaan Allah dengan lisan namun mempercayai Allah sepenuh hati meskipun tidak mau mentaati ajaran-Nya.
Para pengkritik keputusan NU tersebut nampaknya hanya menilai berdasarkan emosi semata, bukan dengan alasan yang jelas. Tidak mau mengklarifikasi dan mengidentifikasi makna term kafir yang dimaksudkan dalam Munas NU.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa kafir memiliki banyak makna. Hal ini menunjukan bahwa tidak serta merta dapat mengglobalkan kata kafir kepada orang-orang non-Muslim saja dan menyakiti mereka dengan sebutan itu. Bahkan term kafir tidak hanya berarti keempat makna di atas. Dalam al-Qur'an pun, kata kafir juga merujuk kepada orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah, seperti yang termaktub dalam QS Al-Lukman Ayat 12.
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُلِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Maka, sudahkah kita mensyukuri segala yang diberikan-Nya? Atau alih-alih mengkafirkan orang lain, justru diri kita sendiri adalah orang kafir itu sendiri?
Lebih dalam, di posisi manakah jika kemudian muncul istilah Muslim Kafir, dan Kafir yang Muslim? [Adha]
Artikel Lain:
Al-Qur'an dan Politik Akal Sehat
Selain Soal "Kafir" yang Viral, Ini Tema-tema Lain yang Juga Dibahas dalam Munas NU
Komitmen NU Menolak Pemahaman Islam Radikal demi Menjaga Keutuhan NKRI
Ironi Masyarakat Tekstual
Wantimpres RI: Ada Empat Perubahan Fundamental yang Menuntut Mindset Baru
KOMENTAR