
Nabi Muhammad pernah menyampaikan kepada para sahabat bahwa di masa depan akan muncul orang seperti sahabat Huwaishir. Seorang sahabat yang suka protes dan tidak percaya kepada keadilan nabi. Akan ada banyak orang yang hafal al-Quran tapi tidak melewati tenggorokannya dan dangkal pemahamannya. 14 abad telah berlalu, apakah yang dikatakan nabi itu benar terjadi sekarang?
Prediksi nabi ini pernah terjadi di zaman sahabat Ali yang mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, ia dihukumi kafir oleh kelompok Khawarij. Kelompok tersebut begitu mudah melabeli seseorang yang tidak sepaham dengan label kafir. Mereka melakukan legitimasi dengan menggunakan dalil al-Quran sesuai kepentingan mereka.
Bagaimanakah dengan masyarakat muslim sekarang? Di era banjir informasi dan banyak konflik yang terjadi, masyarakat cenderung mudah melabeli peristiwa dengan kembali ke dalil dengan pemahaman tekstual.
Munculnya Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, sebagai salah satu cerminan adanya muslim tekstualis. Sebab kaum ekstrimis seperti ISIS ini termasuk kelompok yang stagnan dalam memahami al-Quran dan hadis, bahkan mereka tak segan melakukan kekerasan pada orang lain yang tidak sepaham. Pemahaman tekstual semacam ini yang berujung pada tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Indonesia. Sebut saja aksi teror bom d berbaga tempat seperti di Thamrin, Gereja Katolik Medan, dan Samarinda, dan Kampung Melayu beberapa waktu lalu.
Menurut kalangan islam progresif, penafsiran tekstual mengabaikan sisi sosial dan historis. Sehingga dinilai menjadi pemicu munculnya kelompok Islam konservatif hingga radikal ekstrim. Hal ini memunculkan streotipe baru bagi kelompok lain, misalnya, kafir, murtad, musyrik, dan lain sebagainya. Kenyataannya sebagian besar orang yang memahami teks sebagai obyek penafsiran, teks dibuat tunduk sepenuhya oleh penafsir. Hal ini berbahaya, karena mengabaikan otonomi teks sebagai sebuah subyek penafsiran dan kandungan maknanya yang luas.
Faktor Pendukung
Pengetahuan agama yang minim, pembentukan konspirasi agama, lahirnya kaum fundamentalis yang kian marak menjadi penyebab maraknya kaum tekstualis di Indonesia. Masyarakat yang minim pengetahuan agama perlu dibimbing agar tidak mudah terdoktrin pemahaman tesktual. Parahnya, sebagian masyarakat lebih banyak mendapatkan pemahaman agama melalui internet di tengah kesibukan mereka. Pemahaman agama secara instan ini sering ditangkap mentah-mentah, tanpa verifikasi terlebih dahulu.
Selain itu, konspirasi agama menjadi hal yang mendukung muslim Indonesia menjadi muslim tekstualis. Menengok kembali kasus kerusuhan Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu, misalnya. Satu kelompok tertentu berusaha menjatuhkan kelompok lain yang dianggap menodai agama Islam menggunakan legitimasi ayat-ayat suci agama. Bahkan mereka mengklaim tindakan itu sebagai wujud pembelaan terhadap Islam. Lantas, apakah kelompok tersebut melakukan Aksi Bela Islam semata atas nama agama? Tentu ada banyak kepentingan di belakangnya.
Keberadaan kaum fundamentalis di Indonesia ikut andil memunculkan kelompok tekstualis di Indonesia. Meskipun dalam pemahaman Karen Amstrong, fundamentalisme tidak semata mewujud pada sisi religius melainkan juga sisi politis. Namun dalam konteks Indonesia, kaum fundamental lebih banyak mengarah pada sisi religius mengingat kehidupan beragama di Indoensia yang beragam. Kelompok fundamental cenderung tekstual, mengabaikan konteks tanpa menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat sekarang.
Islam Menafsirkan dan Dampak Tekstualis
Seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Muhammad Syahrur, al-Quran perlu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman yang dihadapi umat manusia. Penafsiran dan pemeliharaan ayat-ayat al-Quran dilakukan dengan menyentuh dan menyapa realitas, ini artinya dalam menafsirkan al-Quran, umat Islam perlu menyesuaikan perkembangan zamannya.
Saat ini manusia hidup di tengah era digital, masyarakat bebas menyebarkan informasi melalui internet dan media sosial termasuk mengeluarkan suatu dalil yang dipahami secara tekstual. Salah satunya mewujud dalam fenomena pesan broadcast melalui WhatsApp yang cenderung tidak disertai dengan sumber yang jelas. Tidak hanya di media sosial, di dunia nyata para muslim tekstualis juga dengan mudahnya melabeli seseorang yang dinilai tidak sesuai dengan dalil dihukumi kafir dan semacamnya.
Dalam memahami surat at-Taubah ayat 5 misalnya, bagi mereka yang tekstualis akan cenderung memaknai ayat ini sebagai suatu kehalalan untuk membunuh orang orang musryikin dimanapun berada, kecuali mereka yang masuk Islam. selain itu, adanya sekelompok aliran yang sering menjustfikasi orang dengan membid'ahkan suatu kegiatan yang dilakukan dengan beralasan tidak ada didalam Alqur'an dan juga hadis.
Kemudian, berbicara mengenai kemajuan, seorang filsuf Heraclitus mengatakan bahwa tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. kemudian jika fenomena itu selalu di kembalikan dengan dalil yang tekstual tentu tidaklah seakan orang orang itu memahami esensi dari dalil namun hanya sebatas teks.
Muslim di Indonesia kini seakan minim pemahaman dan kontekstualisasi dari fenomena dan ayat-ayat yang telah ada. seperti halnya, saat ada pemikiran baru dan inovasi baru yang muncul di masyarakat langsung dilabeli haram atau bid'ah dengan mengungkapkan suatu ayat di dalam al-Quran. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak masyarakat muslim kini memilih menutup dinamisasi perubahan zaman dan seakan semua harus sesuai dengan teks yang ada di al-Qur'an.
Pemahaman tekstual tersebut bisa menjadikan bumerang bagi kemajuan umat islam sendiri. menjadikan islam sebagai agama yang kolot dan tertutup. Begitupun ketika menjadi sebuah bangsa. legitimasi teks yang tidak dinamis mampu menghambat bahkan mengahancurkan kemajuan suatu kaum. Lantas bagaimana dengan citra Islam sebagai agama dengan penganut mayoritas di Indonesia ini hidup? Mari renungkan bersama. [Dina Anifatul Arifana]
KOMENTAR