Gambar: Ideapers.com |
Apakah saat ini kamu kuliah sesuai dengan jurusan yang menjadi pilihan pertamamu saat mendaftar? Atau justru kamu sekarang berada di jurusan dan universitas yang tidak pernah kamu inginkan? Namun meskipun begitu, kamu tetap menjalaninya setengah hati demi mendapatkan status mahasiswa?
Saya punya sedikit cerita. Pada suatu jam kuliah, seorang dosen bertanya kepada teman satu kelas saya tentang alasan kuliah jurusan filsafat di kampus Islam negeri terbesar di Jawa Tengah. Jawaban teman saya membuat dosen tertegun. Ia menjawab, awalnya tidak berminat mengambil jurusan tersebut. Namun tidak ada pilihan lain, hal itu harus ia lakukan, asalkan ia bisa kuliah.
Ada cerita lagi, tiga tahun lalu saat awal menginjak kampus dan menyandang status sebagai mahasiswa baru. Ketika itu masa Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2017 UIN Walisongo. Saya bergabung dalam sebuah kelompok bersama puluhan mahasiswa baru lainnya dari jurusan Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir. Setidaknya ada lebih dari lima teman yang mengaku terpaksa kuliah di sini karena kegagalannya masuk kampus besar dan ternama.
Meski gagal, di sisi lain teman-teman saya merasa beruntung karena masih ada kampus yang mau menerimanya. Kendati di jurusan dengan prospek kerja yang tidak jelas dan disebut sebagai jurusan akhirat, yang sama sekali tidak pernah diminatinya. Hanya di kampus ‘Kemanusiaan dan Peradaban’ inilah jalan satu-satunya agar mereka bisa kuliah.
Baca Juga: Ironi Pendidikan di Indonesia
Akhirnya, setelah waktu berjalan, teman-teman saya berusaha ikhlas dalam menjalaninya sebagaimana mahasiswa lainnya. Namun tidak berharap lebih pada jurusan ini. Mereka belajar dan mencari pengalaman lain di luar kelas. Mereka mendapatkan skill dan pengetahuan dengan cara bergabung di organisasi, mengikuti even dan pelatihan, menjadi relawan sosial, dan kegiatan lainnya selain di kampus.
Cerita di atas hanyalah fragmen kecil dalam dunia pendidikan kampus. Saya yakin, ada ratusan lebih mahasiswa di negeri ini yang megalami hal sama, terpaksa menjalani kuliah pada jurusan yang tidak pernah diimpikannya. Sebagian mungkin merasa frustasi dan pasrah, mengubur dalam-dalam impian serta masa depan yang sebelumnya mereka rancang. Sebagian lain dapat membuka pola pikirnya, mencari jalan lain, belajar banyak hal baru, menikmati setiap proses, dan memandang gelar akademik tidak dengan mata berbinar-binar.
Stigma Negatif
Selama ini labelisasi kampus, termasuk pula fakultas dan jurusan, mempengaruhi penilaian seseorang terhadap mahasiswanya. Mahasiswa yang kuliah di jurusan dengan prospek kerja yang jelas, dipandang sebagai mahasiswa dengan masa depan yang cerah. Sebaliknya, mahasiswa akan mendapatkan penilaian buruk ketika bergelut di bidang studi yang tidak menjanjikan dan tidak menjamin kesuksesan.
Keadaan demikian dialami mahasiswa yang berada di fakultas saya. Saya dan teman-teman sering mendapatkan stigma negatif. “Kuliah di Ushuluddin, jurusan Tafsir lagi, mau jadi apa nanti?” begitu suara yang sering saya dengar dari luar. Ada lagi yang menambahkan, “Kuliah kok di Ushuluddin, itu fakultas dukun, jurusannya akhirat semua.” Selain itu, tidak sedikit juga para dosen dan mahasiswa fakultas lain yang berkata, “Kamu kuliah di situ pasti bukan pilihan pertama ya? Kamu pasti ‘tersesat’.”
Baca Juga: Kampus dengan Segala Firmannya
Teror seperti itu seolah menempatkan mahasiwa di fakultas saya tidak memiliki masa depan yang cerah. Seolah jurusan-jurusan di fakultas ini hanya menampung mahasiswa buangan yang gagal masuk di jurusan lain.
Padahal sebenarnya bukan seperti itu. Kalau kamu merasa salah jurusan atau kuliah di bidang studi yang tidak jelas prospek kerjanya, bukan berarti kamu adalah mahasiswa yang tidak punya masa depan cerah. Kamu harus melawan stigma negatif tersebut. Kamu tetap memiliki peluang menjadi orang sukses.
Masa Depan Suram?
Mahasiswa yang sakit hati karena tidak diterima di pilihan pertama, atau mahasiswa yang merasa salah jurusan, tidak lain adalah mahasiswa yang memandang tujuan kuliah sebagai wahana mencari kerja. Gelar sarjana menjadi tujuan uatama yang dikejar. Orientasi belajar di perguruan tinggi hanya untuk mendapatkan ijazah dan IPK tinggi, dan berharap setelah lulus akan mendapatkan pekerjaan matang.
Begitu kiranya yang menjadi permasalahan akut pendidikan kita. Kampus hanya sebagai batu loncatan. Program studi selalu dikait-kaitkan dengan prospek dan peluang kerja. Gelar yang didapatkan seolah dapat menentukan masa depan mahasiswa.
Paradigma pendidikan seperti ini pada dasarnya telah mencetak mahasiswa menjadi pekerja. Masa depan seolah dikukur dari pekerjaan, dan pekerjaan seakan ditentukan dari jurusan yang digeluti. Misalnya mahasiswa jurusan pendidikan, nantinya akan menjadi guru. Lulusan akuntansi bakal bekerja di bank. Jurnalis media hanya berasal dari mahasiswa jurusan komunikasi.
Jika demikian yang menjadi ukuran, lalu bagaimana dengan mahasiswa yang bergelut di bidang studi yang tidak memiliki prospek kerja yang jelas? Seperti jurusan-jurusan ‘akhirat’ di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo? Apakah nanti akan menjadi mahasiswa dengan masa depan yang suram?
Meluluskan Calon Pengangguran?
John Henry Newman dalam filsafat pendidikannya memberikan kritik terhadap dunia pendidikan. Di dalam buku The Idea of University, Newman memandang bahwa sebuah lembaga pendidikan menjadi ladang terciptanya masyarakat yang pragmatis, apatis, dan tidak produktif. Hal ini karena sistem pendidikan di universitas dengan berbagai program studinya sudah memetakan bagaimana nasib mahasiswanya.
Dengan paradigma kuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan, dan mencari kehidupan yang lebih mapan, sebenarnya telah mematikan fungsi perguruan tinggi. Mahasiswa yang hanya fokus pada satu bidang studinya, telah membelenggu dirinya sendiri. Belajar khusus pada ilmu yang digeluti dan menganggap disiplin ilmu lain tidak penting untuk dipelajari. Sehingga hasilnya mahasiswa hanya menguasai satu keahlian saja, tetapi buta dan tidak memiliki keterampilan lainnya.
Terlepas dari hal itu, mencari pekerjaan bukanlah hal mudah. Meskipun mahasiswa berhasil meraih gelar dan mendapatkan ijazah dengan nilai memuaskan, ia harus tetap berjuang mati-matian. Bertarung dengan jutaan mahasiswa dari kampus lainnya. Sementara itu, lembaga atau perusahaan yang dituju juga tidak asal-asalan dalam menyeleksi setiap pendaftar. Tentunya mahasiswa yang berasal dari kampus ternama akan menjadi prioritas utama.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang berasal dari kampus ecek-ecek dan tidak memiliki nilai yang tinggi? Apakah lembaga atau perusahaan mau menerimanya bekerja? Bisa jadi kamu akan ditolak mentah-mentah dan dibuang begitu saja.
Dengan pola seperti ini, bukankah suatu perguruan tinggi hanya meluluskan calon pengangguran saja?
Kampus Kawah Candradimuka Mahasiswa
Mahasiswa yang sehat nalarnya akan mendekonstruksi pola pendidikan dengan paradigma lain. Bahwa pendidikan bukanlah akademi yang mencetak mental pekerja sesuai dengan program studi yang digelutinya. Kampus adalah kawah candradimuka, di mana mahasiswa bisa belajar banyak hal, mencari skill dan pengetahuan baru, dan mampu melihat peluang dunia luar. Mahasiswa tidak terjebak dengan sistem yang orientasinya hanya menuju gelar dan ijazah, melainkan lebih survive dan eksplorasi kompleksitas dunia pendidikan.
Kampus menjadi kawah candradimuka mahasiswa, tempat di mana mahasiswa ditempa dengan beragam persoalan, lantas menjadikan paradigma berpikirnya kritis. Nilai dan gelar tidak terlalu penting, karena tidak lain hanyalah simbol belaka. Ada yang lebih agung dari hal itu, yakni pengetahuan dan skill. Pengalaman justru lebih banyak didaptkan di luar kelas. Bekal mahasiswa untuk masa depan dapat diperoleh dari berbagai hal. Mulai dari aktif di organisasi, menjalin banyak relasi, terus mengasah skill, belajar merintis bisnis, mengikuti pelatihan, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat.
Dengan modal dan pengalaman tersebut mahasiswa akan lebih siap dalam menghadapi kehidupan nyata. Membuka pola pikir dan memandang dunia sebagai hal kompleks yang dipenuhi banyak sisi, bukan satu bidang saja. Tidak terkungkung dengan sistem pendidikan yang caacat dan membelenggu kebebasan mahasiswa. Sehingga tantangan dunia luar akan dilaluinya dengan mudah.
Masa depan seseorang tidak ditentukan dari gelar dan nilai akademik. Kesuksesan bukan hanya perihal material dan pekerjaan. Prospek kerja yang jelas juga tidak berdasarkan jurusan yang diambil sewaktu kuliah.
Masa depan mahasiswa ada di tangannya sendiri. Tentang bagaimana dia berproses dan pengalaman apa saja yang didapatkan selama menjadi mahasiswa. Membuka pikiran seluas-luasnya, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, dan menjalankan berbagai macam peran. Jangan pernah berhenti belajar dan mencari pengetahuan baru, serta keluarlah dari zona nyaman dan sistem yang membelenggu. Karena hal itulah yang membentuk kepribadian dan karakter yang menjadi modal mahasiswa di masa depan.
Socrates pernah berkata, “Kebijaksanaan sejati datang ke masing-masing dari kita ketika kita menyadari betapa sedikit kita memahami tentang kehidupan, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita.”
Bagi kamu para mahasiswa yang pernah gagal di pilihan pertama, masihkah kamu sakit hati dan merasa salah jurusan?
[Mahfud]
KOMENTAR