Ironi Pendidikan di Indonesia |
Pendidikan yang berkualitas ternyata sangatlah mahal bagi mereka. Biaya pendidikan yang hampir mencapai satu juta harus ditanggung masyarakat Indonesia yang ingin menyekolahkan anaknya di instansi yang berkualitas baik.
Inilah PR besar pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik. Tak hanya bagi kalangan berekonomi tinggi saja yang mendapatkan penddikan berkualitas, masyarakat ekonomi menengah ke bawah mendapatkan hak yang sama.
Sistem Pendidikan Masih Semrawut
Sistem pendidikan di Indonesia masih membuat masyarakat galau, gonta-ganti sistem yang tidak teratur serta agenda melangit yang tak kunjung diimplementasikan belum memberikan jawaban yang tepat untuk masyarakat. Seperti halnya dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, setelah adanya reshuffle jilid II tahun 2016 kemarin. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang mulanya dijabat oleh Anis Baswedan diambil alih oleh Muhadjir Effendi. Ia memberikan wacana baru terkait adanya sistem full day school bagi sekolah-sekolah di Indonesia.
Selain itu, pada bulan Desember 2016 kemarin, adanya isu moratorium Ujian Akhir Nasional (UNAS) membuat bingung masyarakat. Sebab adanya perbedaan pendapat antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Mendikbud. Jusuf Kalla khawatir jika moratorium UNAS dilakukan, tidak ada lagi standarisasi kelulusan. (Kompas.com)
Juga pada tahun tahun sebelumnya, ketika adanya pergantian kurikulum yang bermula Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006, diubah menjadi kurikulum 2013. Ada banyak kebingungan di kalangan pengajar dan sekolah-sekolah di Indonesia. Karena, sebagian sekolah masih kesulitan dengan kurikulum tersebut.
Selain itu, ada sebagian sekolah yang kekurangan sarana dan prasarana sehingga menghambat kurikulum 2013. Seperti yang terjadi di daerah Sintang di pedalaman Kalimantan Timur. Mengingat kondisi geografisnya yang terisolasi, minim listrik, serta telekomunikasi, menghambat mobilisasi pendidikan di daerah tersebut.
Perlunya Pendidikan Moral
Presiden Soekarno pernah mengatakan, “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Melalui ucapannya, Soekarno menuturkan bahwa salah satu elemen penting untuk bangsa Indonesia adalah moral pemudanya. Jika moral pemudanya rusak maka akan rusak pula bangsa ini. Apalagi jika dilihat moral anak bangsa di era globalisasi mulai mengalami penurunan.
Hal ini berdasarkan kasus kriminal yang dilakuakan oleh para remaja. Contohnya, kasus seorang pelajar SMP yang berusia 14 tahun di Sekayu. Ia menikam gurunya sebanyak 13 kali karena sang guru menegur dan melarangnya masuk ke kelas lantaran sudah seminggu ia tak masuk sekolah, (SindoNews.com, 09/11/16).
Pasalnya, pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk membantu menjadikan Indonesia lebih baik lagi. Kerena salah satu tujuan dari bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan telah tertuang dalam UUD 1945 alinea IV, “....... dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiaban dunia....”.
Maka dari itu perlu adanya perbaikan moral untuk meminimalisir terjadinya tindak kriminalitas yang dilakukan oleh pengajar maupun siswa. Moral menjadi hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pelajar ataupun pengajar. Agar mereka peka terhadap lingkungan sekitar serta mempunyai rasa hormat terhadap orang lain.
Pemerintah bisa menengok sistem pendidikan di Singapura. Kemajuan pendidikannya didukung oleh banyak faktor di antaranya ialah adanya fasilitas yang memadai. Selain itu, di negara ini anggaran pendidikan sekitar 25% dari anggaran pemerintahan. Serta pemerintah menyesuaikan biaya pendidikan dengan ekonomi masyarakat. Dengan kebijakan tersebut, pendidikan di Singapura tercatat menempati urutan kelima dunia.
Lantas kapankah sistem pendidikan di negara kita bisa seperti itu? (Dina Arifana)
KOMENTAR