![]() |
Liputan6.com |
Milenial di kalangan mahasiswa UIN Walisongo termasuk golongan orang-orang yang mengamini pelabelan tersebut. Pasalnya mahasiswa UIN termasuk mahasiswa yang telah direnggut kebebasannya yang alasannya diatur oleh sistem. Sehingga mahasiswa sudah dipasung dengan jam masuk kuliah yang dibatasi, tidak boleh absen lebih dari empat kali, tidak boleh telat lebih dari 15 menit, dan mahasiswa banyak yang takut karena memikirkan aturan-aturan yang menyekat kebebasan ekspresinya. Milenial banget.
Belum lama ini, Rektor UIN Walisongo menerbitkan surat edaran yang berisi pengubahan jadwal perkuliahan akademik. Isinya bahwa jadwal akademik dimajukan satu bulan dari sebelumnya. Mahasiswa semua diam tidak berkutik apa-apa. Padahal rasionalisasi yang dibuat menurut rektorat adalah demi penyesuaian laporan pertanggunjawaban akademik. Namun, yang dikorbankan malah waktu perkuliahan selama satu bulan. Mahasiswa UIN terdiam seperti patung dicekoki dengan pernyataan tersebut.
Berbeda dengan pernyataan mahasiswa senior saya sepuluh tahun lalu. Kekritisan mahasiswa selalu muncul di saat kebebasan mahasiswa terancam. Senior saya bilang, "Dulu mahasiswa mau registrasi setelah hari terakhir pembayaran (tidak bisa dilobi), mahasiswa demo, meja kaca rektorat dipecahi. Sekarang jadwal akademik tiba-tiba dimajukan satu bulan, mahasiswa?"
Rasanya boleh dikatakan benar apa yang dikatakan mahasiswa senior saya itu, sekarang mahasiswa UIN nalarnya telah mati. Apakah gara-gara disebut milenial?
Mungkin sejatinya tidak ada generasi yang lahir era sekarang lalu disebut milenial. Kendati pun saya salah satu orang yang hidup di dalamnya tidak mau disebut milenial. Karena pelabelan milenial disandarkan pada karakter yang negatif bahkan dibatasi kebebasan nalarnya. Sungguh bukan kemanusiaan.
Setiap manusia yang lahir sama-sama diberi akal. Fungsi akal untuk menalar dan memikirkan apa saja yang ada di alam dan lingkungan sosial. Manusia yang menggunakan akalnya secara nalar kritis akan tidak mudah dipengaruhi bahkan dibohongi. Jika sekarang mahasiswa itu termasuk golongan manusia seharusnya menggunakan akalnya untuk mengkritisi fenomena yang terjadi di kampus.
Peraturan kampus bukan seperti firman tuhan yang diterima dan diimani atau diyakini, dibenarkan dengan pasrah. Aturan kampus buatan manusia. Setahu saya aturan agama saja outputnya kemanusiaan.
UIN Walisongo punya visi sebagai kampus peradaban dan kemanusiaan. Sedangkan sekarang kemanusiaan mahasiswa sudah direnggut dengan alasan sistem. Kemanusiaan macam apakah yang akan dicapai? Peradaban jenis apa lagi yang mau diinginkan?
Mungkin karena penulis yang hanya bisa mengkritisi lewat menulis. Semoga tulisan ini membuat sadar mahasiswa, dosen, birokrasi rektorat, khususnya UIN Walisongo tercinta. Kalau semuanya nyaman dan mengamini model sistem yang sekarang berlaku karena mahasiswa tetap nyaman dengan timing libur semester yang tetap dua bulan, penulis bisa apa? Dosen tepuk tangan karena ngajarnya dikompres satu bulan, birokrasi juga sama. Mungkin. [Ma'arif]
KOMENTAR