![]() |
Gambar: Pixabay |
Terkadang, kita tidak mampu mengetahui hal hebat apa yang bisa kita lakukan. Selalu berada dalam ambang keragu-raguan dan ketidak-percayaan diri. Melewatkan kepercayaan bahwa pikiran bisa mengubah segala ketidakpastian menjadi sesuatu yang pasti, atau bahkan memutarbalikkan kepastian menjadi lebih tidak pasti lagi.
Faktanya, kekuatan pikiran seringkali mampu melampaui pikiran itu sendiri. Sebagaimana hidup yang selalu menuntut untuk bertindak lebih dan lebih lagi.
Sayangnya, menghadapi segala macam kompleksitas dunia tidak semudah mengandaikan berdiri di atas tahta dengan harta melimpah. Terlebih menghadapi kompleksitas diri sendiri yang selalu enggan beranjak dari ilusi-ilsui kehidupan.
Semuanya hanya tentang materialistik. Selalu tentang harapan-harapan hidup, bukan tentang bagaimanacara untuk sampai pada bentuk harapan itu sendiri. Yang sering terjadi hanyalah menderet harapan, hingga lupa dari mana ujung deretan itu bermula.
Baca Juga: Menyelami Ruang, Menguak Dimensi Waktu
Mengejar kebahagiaan tak ubahnya usaha untuk berlari sekencang-kencangnya, tetapi kaki masih saja bermalas-malasan tak mau mempercepat langkah. Banyak orang berkata, "hidup adalah pertempuran diri dengan sang waktu".
Lantas, siapakah sang waktu ini? Seberapa agungkah dia, sampai-sampai urusan nasib selalu dihadapkan dengannya. Bahkan, semesta seakan-akan tunduk di hadapan sang waktu.
Meski 'waktu' bukan sang "penentu" garis hidup, nampaknya manusia harus berlapang dada untuk selalu berurusan dengan sang waktu ini. Baik "waktu" hasil dialektika manusia (detik, menit, jam, hari, dan rangkaiannya), maupun romantisme "waktu" yang bermuara pada ke-Esa-an Sang Pencipta. Dua perspektif waktu ini tidak sekalipun tak pernah memeras pikiran yang hidup. Bahkan, diskursus tentang waktu selalu berhasil menarik para filsuf dunia untuk menjamahnya lebih intim.
Kali ini, kita tidak akan "menggila" bersama sang waktu. Kita hanya akan menukilnya sedikit.
Untuk memenangkan pertempuran dengan sang waktu, manusia di dunia ini, dihadapakan pada dua wajah tentang diri waktu. Pertama, waktu dalam perspektif linear. Dimana waktu ini selalu berjalan dinamis dan terus maju ke depan. Orang-orang modern yang menomorsatukan kemajuan, kecepatan, dan keberhasilan, waktu linear begitu tercermin dalam dirinya.
Baca Juga: Memahami tentang Waktu dari Kacamata Filsafat
Dalam pandangan ini, waktu tidak mungkin bisa berulang. Ia bersifat mutlak dan absolut. Tidak ada waktu kemarin atau esok, eksistensi waktu hanya ada pada satu tempat, yakni sekarang. Siapapun yang sedetik saja melalaikannya, waktu tidak akan berbaik hati memberi kesempatan kedua. Tetapi sekali menembak sasaran, hidup selamat selebihnya.
Waktu linear mengajarkan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tidak ada kata "nanti". Terus mengolah diri untuk menjadi manusia yang berkualitas dan mencapai "bahagia". Prinsipnya, manusia selalu berpacu dengan denting jam, dan akan selalu kehabisan waktu.
Kedua, waktu dalam perspektif sirkuler. Bahwa waktu selalu berputar. Dari segi kuantitas, waktu bisa saja hilang, tetapi tidak dengan kualitasnya. Manusia bisa memperbaiki kualitas waktu untuk menjadi lebih sempurna sebagaimana yang diharapkan, tidak berputus asa untuk terus berusaha.
Baca Juga: Hedonisme; Cara Bahagia A la Epicurus
Waktu dalam perspektif ini juga ada dalam ajaran Jawa yang disebut dengan "Cokro Manggilingan". Hidup, bagi orang Jawa, tak ubahnya sebuah roda. Selalu berputar dan bergantian posisi. Kapan pun, derajat mansuia di bumi bisa berada di atas atau pun di bawah. Antara berada dalam kejayaan atau kesengsaraan.
Orang Jawa percaya bahwa terdapat kunci agar bisa menguasai cokro manggilingan. Yakni dengan menguasai "Triwikromo" (tiga dunia), masa lampau, saat ini, dan hari esok. Dengan menguasai kunci triwikromo, manusia diyakini akan mampu menguasai sang waktu. Menguasai di sini bukan berarti menggenggam kekuasaan atas dunia, akan tetapi lebih pada penguasaan terhadap diri dan batin. Kapan pun, diri tidak akan resah apabila harus bertemu dengan problematika hidup. Tidak khawatir jika harus berada di bawah dan tidak kalap jika dalam posisi tinggi.
Tidak pernah ada diskriminasi untuk memijak waktu yang mana. Keduanya merupakan citra dari diri waktu dalam berkausalitas dengan semesta. Satu hal yang pasti, cara manusia mengarungi samudera waktu adalah tentang bagaimana cara manusia untuk menjadikan pikiran sebagai sampannya.
Pikiran; Sebuah Kacamata Waktu
Berbicara tentang waktu, tidak pernah terlepas dari apa yang namanya realitas empiris. Manusia mampu memfungsikan pikirannya jika hanya manusia itu mampu melihat. Bukan sekedar menangkap objek dengan retina, akan tetapi lebih menyentuh pada yang esensial, melihat yang benar-benar melihat.
Seorang Kaisar Romawi, Marcus Aurelius dalam ajaran Stoisismenya pernah mengatakan bahwa "Semua yang kita dengar adalah pendapat, bukan fakta. Semua yang kita lihat adalah perspektif, bukan kebenaran".
Penglihatan yang "hanya" melalui mata hanya mampu menangkap citra dari objek. Tidak mampu sampai pada ranah esensial dari objek tersebut. Mata hanyalah medium untuk menangkap perspektif dari segala kemungkinan yang ada.
Baca Juga: Manusia yang Terjebak dalam Permainan
Tetapi melalui mata, sebuah pengetahuan akan mampu diperoleh. Bagi Jorge Luis Borges, sastrawan Argentina yang pemikirannya begitu kemilau meski seluruh hidupnya kurang bermandikan cahaya, mengatakan bahwa dunia bisa dijinakkan ketika manusia mampu mengetahuinya dengan benar. Dan mengetahui dengan benar berarti "melihat", bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghirup”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.
"Melihat" yang bersifat empiris, kemudian berdialektika dalam pikiran sehingga mampu menjadi bentuk "pengetahuan" yang esensial, bukan sekedar kepingan-kepingan informasi. Kualitas hidup bereksistensi dalam wujud terbaik ketika berhasil menyeberangi jembatan penglihatan, melalui ilmu pengetahuan. Dalam pengetahuannya orang Jawa misalnya, "ilmu" disebut sebagai bentuk "kawruh". Kata ini memiliki akar dalam kata "weruh" yang berarti "bisa menggunakan penglihatan" dan juga berarti "mengerti".
Ketika manusia berhasil "mengerti", semesta dan waktu akan menuntunnya menuju kebahagiaan. Bentuk bahagia yang tak berbatas dengan kesemuan. Namun untuk sampai pada keadaan ini, tidak pernah semudah bermimpi tentang bahagia itu sendiri. Manusia harus bertarung dengan gejolak emosi, menyeimbangkan spiritualitas, serta mengurai pikiran yang kacau. Peperangan terhadap kompleksitas hidup, adalah pertarungan melawan ego serta ketidaktahuan diri.
Baca Juga: Jam Karet
Takdir yang sudah digariskan-jika percaya takdir- manusia tidak bisa mengubahnya, bagaimana pun itu. Akan tetapi manusia memiliki kontrol atas pikiran dan emosi, sehingga apa yang dipikirkan akan sangat menentukan kualitas diri serta mencipta eksistensi terbaik terhadap hidup.
Ketakutan akan masa depan bukanlah bentuk dari rasa takut itu sendiri. Yang ada hanya takut oleh sesuatu yang ada di balik bayang masa depan tersebut. Bentuk keragu-raguan tak berdasar. Kabut ketidak-tahuan dan belenggu kecemasan bagaimana pun caranya, manusia harus mampu meleburnya sampai tak menyisakan sedikit pun asap.
Sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi sang waktu untuk menelan dan membinasakan potensi diri terhadap pengetahuan dan menggenggam hidup. Terlebih berseru "kau sudah kehabisan waktu!"
[Ainun Nafisah]
KOMENTAR