Waktu adalah bagian
yang tak terpisahkan dengan manusia dan alam semesta seisinya. Segala yang ada
di dunia ini ditentukan oleh waktu, yang ada awalnya dan ada akhirnya. Begitu
hebatnya waktu, sebagian ada yang menganggapnya sebagai tuhan (QS. 45: 24). Dia
tidak bisa dinilai dengan uang karena dia adalah permata kehidupan yang tiada
ternilai harganya. Waktu lebih mahal dari emas karena sering disia-siakan dan
hanya dapat dijumpai oleh seseorang ketika sudah tidak menemukannya lagi. (Bennabi,
1986: 139 – 140). Segala sesuatu yang menyangkut kegiatan manusia menyesuaikan
tempat dan waktu, sebagaimana telah banyak dibahas dalam ushul al-fiqh.
Pemanfaatan waktu sebelum tiba waktu yang lain juga telah disabdakan oleh Rasulullah
(Mustadrak al-Hakim, Vol. IV hal. 306).
Dalam sejarahnya,
manusia tidak pernah luput dari perjalanan waktu. Dimulai dari masa lampau,
mereka banyak berbicara tentang dewa penguasa alam, asal usul daerah, dongeng
dan lain sebagainya (QS. 6: 25). Tentang masa sekarang, orang-orang banyak
mengaitkannya dengan kejadian di masa lalu atau terkait dengan masa lalu yang
dilaluinya (QS. 34: 31 – 33). Untuk masa depan, manusia paling banyak
berspekulasi tentang kebaikan dan keberuntungan dari hidupnya (QS. 59: 18, 31:
34).
Suku dan bangsa yang
ada di dunia ini pun membuat patokan tentang waktu yang baik untuk memperbaiki
nasib dan hasil yang akan dicapai. Istilah jawanya adalah petung, dalam
masyarakat China disebut feng shui, oleh bangsa Arab disebut ilmu
nujum.
Berbagai tokoh agama
maupun disiplin ilmu juga tidak ketinggalan angkat bicara tentang waktu. Para
teolog mengatakan bahwa Tuhan berada di luar waktu, karena bila Dia berada
dalam waktu maka akan menua dan rusak. Sehingga untuk menghindari hukum yang
diakibatkan waktu itu, maka Dia harus berada di luar waktu. Para sufi
mengatakan bahwa mereka telah menembus batas ruang dan waktu sehingga bisa
bertemu Sang Kekasih dan orang yang dirindukan di luar alam semesta ini.
Adapun para ahli fikih tentunya menggunakan waktu untuk amalan sehari-hari yang
menyangkut ubudiyyah dan mu’amalah.
Para mufasir
menganggap bahwa cara menafsirkan ayat al-Qur’an adalah dengan mengetahui waktu
turunnya sehingga penafsiran ayat tersebut tidak keluar dari konteks. Para muhadditsin,
begitu juga sejarawan dan filolog menggunakan waktu kematian periwayat suatu
berita untuk menentukan orisinalitas dan ketersambungannya (al-Suyuthi, 1996:
II hal. 198 – 208).
Adapun dari filosof
maupun fisikawan mempunyai pandangan sendiri-sendiri ketika ditanya tentang
waktu. Heidegger mempunyai waktu subyektif dan obyektif, Einstein dengan teori
relativitasnya yang menyerang teori ruang dan waktu absolutnya Newton, fisika
kuantum Max Planck dan yang lainnya. Dari ekonom pun berbeda pandangan, dimana
mereka mengatakan waktu adalah tumpukan ladang uang yang harus diburu. Begitu
dan seterusnya, waktu dimaknai sebagai sesuatu yang amat penting dan akan
menjadi bumerang jika disia-siakan. Itulah orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (QS. 103: 1 – 3).
Waktu menurut
al-Qur’an
Dalam beberapa tempat,
al-Qur’an sering menyebutkan waktu yang dikaitkan dengan sumpah Allah.
Setidaknya ada empat istilah untuk menunjukkan waktu sebagai seluruh rangkaian
saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung; saat yang
tertentu untuk melakukan sesuatu; kesempatan; tempo atau peluang (Shihab, 2007:
721 – 723).
Empat istilah itu
adalah ajal dan derivasinya disebut sebanyak 55 kali, waqt
sebanyak 15 kali, ‘ashr sebanyak 5 kali dan dahr sebanyak 2 kali
(Fuad A. Baqi: 1981: 14 – 15, 757, 463 dan 264). Dari kata-kata tersebut, dapat
ditarik beberapa kesan tentang pandangan Al-Qur’an mengenai waktu, yaitu:
a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala
sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi
kecuali Allah Ta’ala sendiri (QS. 10: 49, 28: 28. Lihat juga Hans Wehr, 1980:
6).
b. Kata waqt digunakan dalam konteks
yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk
menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tercermin dari waktu-waktu shalat yang
memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang
dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan
seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam
waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa (QS. 4: 103.
Lihat juga Hans Wehr, 1980: 1087).
c. Kata 'ashr memberi kesan bahwa
saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat
dan pikiran (QS. 103: 1. Lihat juga Hans Wehr, 1980: 616)
d. Kata dahr memberi kesan bahwa segala
sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu
(dahr) (QS. 76: 1, 45: 24. Lihat juga Hans Wehr, 1980: 295).
Permainan Waktu
Menurut Heidegger, ada
dua macam waktu: waktu di dalam (subyektif) dan waktu di luar sana (waktu
objektif). Waktu di dalam adalah pengertian waktu yang hanya bisa diterapkan
pada Dasein /manusia, karena sifatnya yang mewaktu. Sedangkan waktu di luar
sana atau waktu objektif berasal dari kemewaktuan dasein, yang berbeda
antara orang per orang yang dipukul rata yang dapat diukur berdasarkan detik
demi detik, menit demi menit , jam-jam, hari-hari dan seterusnya. Kemewaktuan
lebih bersifat asli/primordial dibanding waktu objektif. (Budi Hardiman (2003),
102-104).
Dalam pengertian waktu
objektif ini setiap objek mempunyai standar pengukuran yang sama. Namun dalam
pengertian waktu di dalam setiap subjek (dasein/manusia) berbeda
standarnya karena dipengaruhi oleh subjektivitas dalam “keberadaannya”. Dalam
hal ini manusia yang sibuk akan merasakan waktu berjalan begitu cepat, tetapi
bagi mereka yang tidak banyak kesibukan atau dalam situasi penantian akan
merasakan waktu berjalan begitu lamban. Beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan
bahwa waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya
kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan
dimensi kehidupan duniawi (QS. 16: 96).
Dalam berbagai ayat
teks suci yang dijumpai, ada dua kemungkinan waktu bagi manusia dan alam
seisinya. Pertama adalah waktu sekarang lebih baik dari waktu sebelumnya.
Kemungkinan ini jamak terjadi dalam penyesalan atas hilangnya kesempatan di masa
lalu (QS. 23: 106 – 107). Daripada itu, maka turunlah berbagai kuotasi yang
menunjukkan bahwa waktu yang telah lalu adalah penyesalan seperti pergunakanlah
masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu dan lain
sebagainya.
Kedua, kemungkinan
bahwa masa sekarang adalah tidak lebih dari sekedar sarana untuk menuju masa
depan yang lebih baik. Dalam artian yang lain, masa sekarang merupakan masa
kelam yang harus segera dihilangkan dengan menuju kepada hal-hal yang lebih
baik (QS. 12: 109). Dengan demikian, maka kita diminta untuk melihat masa
lampau yang penuh lika-liku dan teka-teki agar tidak terulang kembali di masa
yang akan datang. Adapun turunan kuotasi dari kemungkinan ini adalah bahwa hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin jika ingin beruntung.
Dalam bahasanya,
mereka juga mengungkapkan apa yang telah, sedang, atau akan dilakukannya.
Daripada itulah muncul berbagai tenses yang berbeda-beda istilah dari
satu bahasa ke bahasa yang lain. Bahkan dalam ayat suci pun ada beberapa permainan
waktu yang mengungkapkan masa yang akan datang, tetapi digunakan untuk masa
sekarang dengan beberapa faedah yang ada di dalamnya (lihat QS. 39: 30).
Waktu dan Mengada
Selama ini manusia
sering kali menggunakan kata “ada”, tetapi tak mengetahui apa hakikat ada. Ada
diandaikan secara apriori begitu saja. Ada bersifat temporer. Ada dalam konteks
waktu (mewaktu). Waktu bermakna: dulu, sekarang dan kemudian (yang akan
datang), namun Heidegger lebih menekankan waktu kemudian (yang akan datang).
Hal ini, karena manusia bersifat aktif dan dinamis, sebagai subjek yang
mengambil keputusan untuk merencanakan apa yang akan diperbuat. Dengan demikian
hakikat manusia (dasein) adalah realitas yang belum selesai, sebagai “ada”
yang bersifat temporer (menjadi). Di sini nampak pengaruh pandangan Heraclitus,
bahwa “semuanya mengalir” atau “menjadi”.
Beberapa filsuf berbicara mengenai waktu dengan sudut pandang
masing-masing. Aristoteles, Agustinus, Kant, Hegel, Bergson, serta Heidegger
memiliki makna berbeda dalam mendeskripsikan waktu. Agustinus misalnya,
mengatakan bahwa waktu tak lain daripada roh yang merentangkan diri ke masa
lalu dan masa depan. Dan pusat rentangan tersebut adalah masa kini. Sedang,
menurut Hegel, waktu merupakan manifestasi roh dalam sejarah.
Hal ini berbeda dengan pemaknaan Heidegger dalam Sein und
Zeitnya yang mengartikan waktu sebagai sebuah “kesadaran” diri dalam
kemewaktuannya. Waktu tak hanya diartikan sebagai waktu temporal melainkan juga
ke – ada – di – dalam – waktu – annya. Disini waktu sebagai sekuensi
titik-titik waktu yang muncul satu setelah yang lain. Pemaknaan waktu menurut
Heidegger lebih mendasar dan applicable menurut hemat penulis. Karena
disana juga mengandung tiga pembagian waktu; keterlemparan, Keseharian, dan
kematian yang didasarkan pada keberadaan.
Waktu Obyektif
Jika
masyarakat ditanya mengenai waktu, pastilah akan mendapatkan jawaban mengenai
arloji, kalender, atau jam matahari yang setia terbit dan tenggelam di setiap
harinya. Belum lagi mengenai penyamaan waktu dengan GMT (Grenwich Meredian
Time). Penyesuaiaan waktu dunia dengan waktu di Grenwich yang menyebabkan
Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah waktu; Waktu Indonesia Barat, Waktu
Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia Timur. Itulah waktu obyektif yang
berdasar pada kesepakatan bersama. Waktu yang dimaknai sebagai pengikat
kegiatan seseorang. Yang terkadang malah menjadikan pertikaian antar golongan.
Perpecahan muncul hanya karena perbedaan waktu Perayaan hari Besar beragama.
Itulah waktu jika dipandang tak lebih dari makna mewaktu itu sendiri. Waktu
dipandang sebagai penyamarataan, Nivellierung.
Meski waktu
obyektif tetaplah signifikan, namun tidak selamanya suatu kegiatan hanya
didasarkan pada waktu Obyektif semata. Seseorang yang menunggu lampu merah atau
hijaunya lalu lintas akan tetap menggunakan waktu obyektif. Tetapi akan berbeda
jika waktu dimaknai dengan hati dan perasaan. Waktu sebagai cara kita hidup di
dunia sebagai penghayatan- waktu eksistensial. Tetapi Perasaan bukanlah hal
yang identik dengan waktu, namun sebaiknya kita memahami apa yang dimaksud
mengenai suasana hati yang memiliki kaitan erat dengan waktu. Stimmung, suasana
hati merupakan cara kita berada (Seinart). Contoh suasana hati adalah
cemas, bahagia, takut. Perasaan ini bukanlah semata bergerak dipermukaan,
melainkan menyangkut keterbukaan kita terhadap dunia. Karena di dalam suasana
hati terdapat momen-momen eksistensial, karena manusia mewaktu (zeitlich).
Contoh
konkrit bahwa waktu terikat erat dengan perasaan adalah menunggunya seorang
kekasih atau sebuah kebersamaan mereka akan berbeda dengan menunggunya keluarga
pasien yang sedang kritis dioperasi. Waktu lima jamnya bersama kekasih akan
terasa lima menit saja. Namun, lima menitnya menunggu pasien yang kritis akan
terasa seperti lima jam. Hal ini membuktikan bahwa waktu berkaitan erat dan
dipengaruhi oleh perasaan dan suasa hati dari pelaku aktifitas tersebut.
Hal ini didukung
oleh Einstein dengan teori relativitasnya. Einstein bicara mengenai ‘jam
psikis’ atau yang sering disebut dengan durasi, lamanya waktu. Bagi seorang
fisikawan, durasi bisa diukur dengan waktu obyektif, sehingga seolah berada di
luar sana. Satu detik lamanya setara dengan 9.192.631.770 getaran cahaya dalam
transisi antara dua taraf energy isotope Cesium 1335. Presisi satuan
durasi sangat mengesankan. Waktu dibayangkan sebagai segmen-segmen yang bisa
dibelah-belah, yang satu terjadi setelah yang lain dalam satu rentatan. Itulah
durasi yang terbagi menjadi yang lalu, yang kini, dan yang nanti. Tapi jika
dicermati akan tampak bahwa detik obyektif itu merupakan obyektifikasi durasi
sesungguhnya, yaitu durasi di dalam sini atau ‘jam hati’. Jadi, waktu yang
berkaitan dengan perasaan pun bisa di ilmiahkan sesuai teori yang digagas oleh
Einstein.
Waktu Eksistensial ‘waktu Vulgar’
Mengadanya
seseorang memiliki makna waktu yang mencakup psikologis dan logisme. Menyangkut
struktur-struktur adanya manusia sehingga bisa bereksistensi. Mewaktu dalam
istilah Haidegger terbagi menjadi tiga tahap besar:
Pertama, Keterlemparan. Siapakah aku, dimana kah aku, dan
mengapa aku di sini? Pertanyaan-pertanyaan menggelisahkan hati setiap orang.
Agama memberikan jawaban, Dialah asal dan tujuan hidup manusia. Jika kita patuh
serta memuliakannya niscaya kita akan bahagia. Jawaban tersebut terdengar
nyaman dan seolah-olah merupakan kepastian bagi orang yang beragama. Tapi sains
berkata lain, manusia hanyalah setitik debu dalam lautan cakrawala. Bermaknakah
manusia yang kebetulan ada sebagai organisme pelengkap dalam proses evolusi
kosmis. Yang menjadi masalah bagaimana seandainya seseorang terlahir tanpa
bersentuhan dengan sosialisasi kesadaran Beragama?
Psikologi seseorang akan membawa keterlemparan untuk mencari
sebuah ketenangan. Manusia akan mengada jika ia bisa keluar dari keterlemparan
itu sendiri. Salah satunya dengan gestimmt, menala suasana hati. Membuat
jelas ‘bagaimana seseorang ada dan menjadi’. Di dalam ‘bagaimana seseorang ada’
inilah suasana hati membawa ada (Sein) ke ‘di-sana’nya.
Menghayati suasana hati adalah salah satu cara untuk mencandra diri.
Untuk memahami (Verstehen), keterlemparan diri, yang
pada kenyaaannya menimpa kita sebagai korban kesewenangan hidup dan menyerahkan
diri kepada kehidupan dan menjalani hamparan kemungkinan-kemungkinan untuk
bertindak. Memahami keterlemparan berarti menyadari diri sebagai kemungkinan
ini, dan dalam arti ini memahami selalu mengandung rancangan, yakni proyek
hidup yang berorientasi ke masa depan. Inilah yang membedakan dari konsep
Wilhelm Dilthey, memahami dalam konsepsi diskursif dengan pemahaman Heidegger
melalui konsepsi prareflektif. Tak hanya memahami symbol-simbol sebagai
pengacu, melainkan memahami keterlemparan eksistensial.
Momen prareflektif akan sarat dengan pemahaman non-verbal
mengenai Ada-nya, karena bersentuhan dengan keseluruhan Ada-nya yang tak
terkatakan. Kondisi ini akan menghasilkan dua keadaan ketiga gagal untuk
direfleksikan; kecemasan dan ketakutan. Kecemasan merupakan disposisi
fundamental manusia yang memungkinkannya untuk menyadari ketidakberumahannya.
Ini akan terjadi pada seseorang yang hidup dalam fikiran yang merdeka. Yang
khawatir dengan ketidak pastian di depannya. Keadaan akan berbeda jika dialami
oleh seseorang yang tak bebas, yakni rasa takut. Karena hanya menerima komando
dari atasan. Dan takut melakukan kesalahan.
Seperti halnya Nietzsche, Nietzsche tidak mendorong
membiarkan disorientasi nilai-nilai itu, tapi sikap aktif menciptakan
nilai-nilai dalam kebebasan. Sebab ada kediktatoran yang mencerabut dari akar
eksistensialnya, meraka dipaksa berkelana tanpa ‘penyingkapan’. Alhasil hanya
ketakutan yang tertanam dalam diri.
Kedua, Keseharian. Kita mengenal ada mengenal ‘ada’ merupakan
cara mengada kita di dunia. Kita mengenal ada tak hanya dari diri kita sendiri,
melainkan juga dengan adanya orang lain. Dengan kata lain Mitdasein,
berarti bersama-sama ada. Istilah yang lebih elegan adalah manusia sebagai
makhluk sosial. Kontak dengan Mitdesin terjadi melalui kesibukan praktis
sehari-hari. Ini terjadi dalam sosialisasi social yang dipahami tak hanya
sebagai pertukaran barang, melainkan pertukaran simbol dan bahasa. Bahasa
sebagai alat. Sehingga kita memperlakukan orang lain tak semestinya jika kita
hanya menganggapnya sebagai alat.
Namun ‘kebersamaan’ juga melarutkan kenyataan sendiri kedalam
cara berada orang lain. Ketika kita beraktifitas dengan orang lain maka kita
akan berperilaku sesuai pemaknaan orang lain. Membentuk figure dari apa yang
orang lain interpretasikan. Bersimulakra sesuai tempat dan waktu kita berada.
Sehingga eksistensi diri tidak akan muncul karena hanya dipahami sebagai diri
yang ‘seperti’. seolah-olah mirip sesuatu ia menampakkan diri sedemikian rupa
(yang sejatinya tetap tersembunyi), jadi tidak semua “ada” menampakkan diri.
Drama dalam keseharian membentuk paradox yang ganjil antara
penyingkapan dan ketersembunyian itu sendiri. Benar sekaligus palsu. Bukan
karena orang sengaja menjadi benar sekaligus palsu, melainkan karena Ada
manusia itu sendiri tidak tersingkap seluruhnya sepertinya tidak seluruhnya terselubung.
Ketiga, Kematian. Kematian merupakan bukan dari akhir itu
sendiri, melainkan ada-menuju akhir. Dengan kata lain akhir itu sudah ada sejak
permulaan. Kematian sudah menyongsong sejak keterlemparannya. Berarti adanya
manusia merupakan mengada menuju kematian. Kematian bisa berarti kematian
secara fisik dimana struktur ‘mengada’ telah tercerabut dari diri. Dan kematian
bukan secara fisik yang sangat mungkin terjadi lebih dari sekali. Kematian
dalam arti kematian dalam eksistensial. Arti ‘yang datang menghampiri’ yaitu
hilangnya segala kemungkinan dan sekaligus terpenuhinya segala kemungkinan.
Kematian seperti ini membayang dalam bentuk horizon, dalam arti kesadaran kita
akan muncul ketika sedang cemas menghadapi persoalan, atau mengambil keputusan.
Makna kematian ini akan bisa lebih dipahami jika seandainya
alat pengukur waktu obyektif semuanya dihilangkan. Waktu tidak dimaknai sebagai
‘kesepakatan bersama’. Manusia yang tanpa waktu obyektif akan tetap mengarahkan
diri kemasa depan. Yakni akan membuka diri terhadap apa yang akan dating
menghampirinya, yakni kematian. Dari kematian ini, seluruh kemewaktuan manusia
ditentukan.
Dengan kacamata fenomenologi, kehidupan yang mewaktu dalam
diri tak hanya dipahami sebagai transformasi diri melainkan untuk lebih
mengenalinya dan kemudian menghargainya. Dengan memiliki kesadaran akan waktu
menjadikan lebih arif dalam pemaknaan kehidupan. Menyadari keterbatasan bahwa
kita akan mati.
Pergeseran pemaknaan waktu dalam keberadaan
Telah dijelaskan bahwa mewaktu menurut Heidegger merupakan
pemaknaan penting tentang “ada”, Dasein. Pergumulan dengan ada sudah
mengusung waktu di dalamnya. Tidak diartikan hanya sekedar “ada”, namun
“menjadi”. Pemaknaan mengenai ada (Desein) pun mengalami pergeseran di
tiap dekade perkembangan zaman. Dalam dekade reneisanse abad 16, misalnya, dasein
dimaknai menemukan nilai-nilai makna keberadaan dalam ke-universalan
manusia. Hal ini berbeda dengan pada masa rasionalisme cartesia pada abad 17-an
yang dimaknai dari Cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada) sebagai
jargon pemikiran Descartes mengenai ada. Dengan kata lain, pemaknaan ada
diciptakan oleh kesadaran. Meskipun selanjutnya pendapat tersebut ditentang
oleh Hedeigger. Menurutnya, Descartes mengabaikan makna sum (ada),
karena menurut Heidegger cogito dalam pandangan Descartes bukanlah
segala-galanya. Hanyalah salah satu cara menampakkan diri dalam sejarah ada.
Pada abad 18 pun pemaknaan “ada” mengalami pergesaran. Rasio
ala pencerahan berambisi menjelaskan segala realitas. Segala sesuatu bisa
dirasionalkan dan dideskipsikan. Akhirnya emancipator sejarah Karl Marx pun
muncul pada abad 19. Marxisme begitu cepat membius dan mempengaruhi masyarakat.
Dengan slogan Time Is Money, ia menjadikan pergeseran makna waktu
dan keberadaan secara signifikan. Modernitas sudah menegakkan kediktatorannya
sendiri sebagai imperative universal, yang secara perlahan membuat penghayatan
terhadap waktu yang berorientasi pada memberi perhatian kepada orang lain
menjadi tergeser oleh pemakaian waktu sebagai sumberdaya yang bisa habis.
Manusia sebagai mesin kapitalisme.
Filsafat Marx yang berpendapat bahwa sejarah manusia sangat
tergantung pada dinamika kekuatan material. Kekuatan material dalam sejarah
bisa kita temui aktualisasinya pada cara memproduksi (made of production). Hal
tersebut menentukan dan mempengaruhi kesadaran dan hasratnya sendiri. Kerja
merupakan kategori antropologis yang menghubungkan alam dan sesamanya dan
mendorong pada kapitalisme yang sebenarnya kontradiksi internal di dalamnya
terselubung ideology. Ideologi untuk membentangkan kekuasaan terhadap individu
masyarakat. Kesadaran palsu diciptakan oleh kondisi material yang bersifat
eksternal dan bisa menekan psikis manusia bagaimana ia berfikir dan bertindak.
Peradaban sebenarnya menciptakan alienasi pada diri dalam pemaknaan hidup
pribadi.
Waktu Jawa
Jawa mempunyai filosofi waktu yang unik dan lain daripada
yang lain, yaitu konsep alon-alon waton kelakon. Terkadang filosofi
waktu jawa ini dihubungkan dengan ketepatan waktu, dalam arti waktu yang
berhubungan dengan jam. Tetapi sebenarnya konsep ini lebih pada hal yang
berhubungan dengan etos kerja. Alon-alon waton kelakon menjadikan seseorang
berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam merencanakan sesuatu. Semua harus
berdasarkan berbagai pertimbangan dari sebuah situasi, kondisi dan cara yang
akan menghasilkan sesuatu yang baik. Waktu yang sedikit lebih lama tetapi
menghasilkan sesuatu yang maksimal lebih baik dari perencanaan tergesa-gesa
yang membuat hasil kurang yang jauh dari sempurna.
Jawa juga mempunyai konsep on time yang sedikit
berbeda. Dilihat dari diksinya, on time mengaharuskan seseorang menghormati
waktu. Padahal itu tidak sepenuhnya benar. Dalam tradisi jawa, menghormati
waktu bukan berarti mementingkannya diatas segalanya. Maka dalam on time versi
jawa, ada sebuah konsep yang dinamakan sangat (atau sa’ah yang
berarti waktu atau jam), yang mana tepat waktu disini dimaknai dengan iso
gatuk lan ketemu (bisa cocok dan bisa ketemu-red). Apabila diadakan suatu
acara, walaupun awalnya tertera waktu yang ditentukan adalah jam tujuh, tetapi
bisa saja yang terjadi adalah waktu dimulainya acara itu adalah satu jam atau
bahkan lebih dari itu.
Bisa dikatakan orang jawa sangat toleran terkait ketepatan
waktu. Jawa lebih mementingkan roso (perasaan-red) diatas segalanya. Karena
menurut mereka, Setiap perjalanan dari waktu ke waktu adalah pengalaman. Orang
Jawa hidupnya dipenuhi dengan olah (mengolah) roso yang berisi
tentang bagaimana setiap waktu itu memberikan pengalaman hidup pada kita.
Karena itulah waktu jawa sangat kontras dengan konsep waktu barat yang selalu
dihubungkan dengan uang. Bahkan bagi orang jawa tulen, uang merupakan barang
semu, dan barang semu tak harus dicari.
Konsep waktu jawa ini memang sangat kental dengan budaya
timur yang penuh dengan tenggang
rasanya. Orang jawa bisa memaklumi dengan keterlambatan waktu. Karena terkadang
seseorang bukannya tidak ingin terlambat, tetapi terpaksa terlambat. Mungkin
saja keterlambatannya karena ada urusan yang tidak bisa ia tinggalkan.
Jawa vs Barat
Hal alami yang ada pada setiap hal di dunia ini adalah adanya
sisi negatif. On time versi jawa
ini sedikit menyebabkan kemalasan yang berdampak pada tersendatnya elakbilitas
sebuah tatanan yang terstruktur. Budaya molor secara tidak langsung telah
mengakar kuat di tubuh orang jawa. Sampai orang yang terbiasa on time pun
ikut tertular budaya ini. Terkadang terpikir, “ah, biasanya juga molor,
berangkatnya nanti saja”. Kalau sudah seperti itu bukan waktu jawa lagi
yang digunakan. Penganut budaya ini adalah kumpulan orang yang hanya
mementingkan diri sendiri. Mereka merasa rugi apabila harus menunggu orang
lain, sehingga memilih untuk merugikan orang lain. Mereka tidak merasa bahwa
apa yang mereka lakukan tidak hanya merugikan orang lain, tetapi sebenarnya juga
merugikan diri mereka sendiri karena bagaimanapun mereka juga berada di bawah
tatanan terstruktur yang ia rugikan. Kalau sudah sampai sini, ia tidak bisa
dikatakan telah melakukan konsep waktu jawa. Hal itu karena tidak roso
disana.
Waktu jawa yang sangat mementingkan roso membuat kita
dan orang lain sama-sama menerima. Kemoloran ala jawa membuat tiap pihak saling
mengerti. Orang jawa beranggapan, kalau seseorang yang belum bisa berangkat
“dipaksa” berangkat, bukan kemajuan yang didapat tetapi ketersendatan yang
terjadi karena pikirannya terpecah atas apa yang ia tinggalkan demi memenuhi sikap
“on time”. Berbeda dengan molor karena tidak mau menunggu. Hal buruk itu
harus dibumihanguskan karena sangat jauh
dari asas tenggang rasa.
Sekarang, banyak orang jawa yang ingin meninggikan budaya on
time versi barat. Ketika sebuah janji dihubungkan dengan waktu, maka tepat
waktu adalah harga mati. Mereka terpengaruh budaya kapitalis yang hanya
mementingkan diri sendiri, alih-alih berbagi demi kepentingan bersama. Budaya
waktu barat itu apabila dipraktikkan dengan sungguh-sungguh akan merusak
tatanan budaya jawa yang sangat menjujung tinggi harmoni. Memang ketika on
time dipraktikkan, sebuah keteraturan akan terjadi. Hal yang telah
direncanakan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi sikap egois
itulah yang membuat time is money cacat apabila digunakan di dunia Jawa.
Dari sini dibutuhkan sebuah penggabungan diantara keduanya. Tidak
bisa dipungkiri bahwa di era globalisasi ini, ketepatan harus dilaksanakan agar
seseorang bisa maju. Tetapi budaya Jawa yang sangat menjunjung tinggi roso tidak
boleh ditinggalkan. Sekarang, bagaimana waktu jawa yang terkadang membuat
pekerjaan tersendat dipadukan dengan waktu barat yang tidak toleran. Disini
sebaiknya diambil sisi positif dari keduanya. Waktu jawa yang sangat perasa harus
dipadukan dengan manfaat yang diperoleh dari adanya ketepatan waktu.
Waktu itu sebenarnya murah karena bisa dibeli oleh semua
kalangan, mulai dari kalangan menengah ke bawah sampai para konglomerat. Tetapi
di sisi lain, waktu itu sangat mahal karena tidak bisa kembali. Orang yang terbiasa
sengaja molor sebaiknya berpikir demi orang lain. Dan orang biasa tepat waktu
harus bisa lebih toleran atas sebuah keterlambatan. Dan manusia pun harus bisa
menjadi makhluk yang menguasai waktu, bukan dikuasai waktu.
KOMENTAR