
"Jadi, apakah waktu itu? Jika tak seorang pun mengajukan pertanyaan itu, aku tahu; jika seorang mengajukan pertanyaan itu, dan aku mau memberi penjelasan, aku tidak tahu lagi". Jawaban jujur dari Augustinus saat ditanya perihal waktu. Ia tidak mampu menjelaskan definisinya. Sama halnya dengan kasus-kasus yang sering muncul di televisi atau pun media sosial, banyak orang yang berteriak "anti khilafah". Padahal ketika ditanya definisi "anti khilafah"? Mereka tolah-toleh mencari jawaban. Kesulitan bahkan tidak bisa menjawabnya.
Kahlil Gibran juga sama seperti Augustinus. Ketika ia ditanya seorang ahli astronomi perihal waktu, Kahlil Gibran menjawab "waktu itu cinta, tidak bisa diukur dan dibagi". Dalam mencintai seseorang harus dilakukan dengan sepenuh hati, tidak bisa dibagi-bagi. Contoh, jika ada empat, apakah kita akan membagi cinta kasih itu 25 persen untuk setiap orangnya? Kalau cinta itu sepenuh hati, apakah kita akan memberikannya 100% untuk setiap orangnya?
Waktu tidak bisa diukur dan dibagi. Apabila ada keharusan membagi waktu menggunakan ukuran musim demi musim, maka bukanlah tiap musim merangkum musim lainnya. Tapi lampauilah jumlahnya, buanglah kuantitasnya, jadikan satu. Kahlil Gibran menguatkan Augustinus, bahwa waktu itu sukar dijelaskan.
Baca Juga: Pasca Perang Politik dan Filsafat 'Maaf'
Selain Kahlil Gibran, Malik Bennabi mendefinisikan waktu sebagai sungai yang mengalir ke seluruh penjuru wilayah sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa. Sungai itu menghadirkan perspektif ganda. Di satu sisi membangkitkan semangat. Di sisi lain akan meninabobokkan manusia. Waktu diam seribu bahasa, sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Walaupun segala sesuatu - selain Tuhan - tidak akan mampu melepaskan diri darinya.
Maksudnya, waktu itu mengalir seperti air. Manusia tidak akan tahu kapan waktu itu datang dan kapan waktu akan berlalu. Pernah manusia merasa seolah baru kemarin ia baru melakukan suatu rutinitas tahunan. Seperti Hari Raya Idulfitri, misalnya. Tiba-tiba kita akan bertemu kembali dengan momentum itu di waktu yang sangat sebentar.
Waktu mengalir meliputi segala sesuatu yang bisa jadi sumber semangat, bisa jadi manusia akan terlena dibuatnya. Tidak sadar manusia merasa waktu ujian akhir semester itu tiba-tiba datang, padahal baru kemarin manusia merasakannya, itu berarti waktu seperti meninabobokkanmu. Tapi ada kalanya waktu menjelma menjadi sumber semangat. Sama-sama merasakan waktu ujian akhir semester yang tiba-tiba datang, dalam suatu momentum hal itu akan membuat manusia lebih bersemangat untuk menyelesaikannya.
Di belahan bumi Eropa, seorang pemikir dan fisikawan Sir Issac Newton mendefinisikan waktu sebagai makhluk linier dan terbatas. Maksudnya waktu selalu berjalan. Tidak bisa berhenti. Apalagi mundur ke belakang. Manusia juga perlu berhati-hati dengan sifat waktu yang terbatas. Jangan sampai manusia terlena dengan waktu luang. Ketika waktu luang itu terlewat, ya sudah, manusia bakal tertinggal. Slogan "keburu waktu" atau "kehabisan waktu" menegaskan kondisi itu. Menegaskan bahwa waktu bisa habis. Sebab waktu selalu bersinggungan dengan keterbatasan. Filosofi Barat mengenal istilah "waktu adalah uang". Jika manusia kehabisan waktu, ya berarti ia akan kehabisan uang.
Lebih luas, Newton juga mendefinisikan waktu yang berarti sekuler. Newton mengatakan waktu tidak berputar lurus. Tidak pula terbagi apalagi terpisah antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu membentuk siklus. Memungkinkannya berputar ulang. Dalam hal ini, waktu ibarat sebuah lingkaran. Segala sesuatu akan berulang dan membentuk pola yang tetap. Waktu juga bukanlah sumber daya yang terbatas. Ia tak terbatas. Waktu akan menciptakan dirinya sendiri berulang-ulang tanpa henti.
Baca Juga: "People Power" Amien Rais dan Hantu Ancaman Kedaulatan
Misalnya, pandangan Jawa tentang "cakra manggilingan". Cakra bergerak memutar sementara manggilingan berarti melindas. Jadi, hidup ini seperti roda. Kadang di atas dan kadang juga di bawah. Maka kuasailah cakra manggilingan ini dengan kunci "triwikrama" (mengausai 3 dunia). Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika manusia mampu menguasai 3 dunia ini, maka ia mampu menaklukkan cakra manggilingan. Jangan takut kehabisan waktu, karena waktu itu berputar. Jika manusia berada pada titik malas dan putus asa, segera akhiri kemalasan itu. Namun jika manusia enggan beranjak dari kemalasan, maka akan tercipta sirkulasi kemalasan yang tidak berujung.
Mengenai kebenaran antara waktu itu linier atau sekuler itu tergantung pada kebutuhan manusia. Jika manusia ingin efektif memanfaatkan waktu, ia membutuhkan waktu yang linier. Manusia akan otomatis terdorong untuk selalu memanfaatkan waktu, takut kehabisan waktu. Sedangkan jika manusia ingin menikmati hidup, ingin bersyukur, maka manusia membutuhkan waktu dalam makna sekuler.
Kembai pada konsep waktu versi Augustinus. Ia memberikan ruang bagi waktu hanya untuk masa kini. Tidak ada masa lampau dan masa depan. Manusia menghadirkan kembali pengalaman masa lampau melalui ingatannya di masa kini. Begitu pula dengan masa depan yang hanya dapat dikonsepsikan di masa kini. Manusia hanya bisa melihat dan memprediksikan masa depan dari apa yang ada sekarang. Seperti tanda-tanda, atau sebab-sebab yang akan menghasilkan sebab-akibat.
Contoh, bahwa kita dapat memprediksi datangnya matahari dengan melihat fajar yang menyingsing pagi tadi. Karena masa lalu sudah tiada dan masa depan belum ada, salah jika manusia mengatakan ada tiga macam waktu. Namun Agustinus mempermudah pemahaman menggunakan bahasa sehari-hari. Ia memaklumi penggunaan istilah "masa lampau", "masa kini", dan "masa depan" dengan syarat kedua belah pihak yang berkomunikasi sama-sama memahami maksudnya. Masa lampau tampil di masa kini sebagai kenangan. Sedangkan masa depan di masa kini hanya sebagai prediksi. Jadi apakah waktu itu?
[NN]
Artikel Lain:
Mahasiswa Kok Jadi Cebong-Kampret
5 Tipe Mahasiswa yang Ada di UIN Walisongo
Hal-hal Menarik di Dunia Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Kamu Generasi Milenial? Waspada dengan 7 Musuh Besar Dalam Hidupmu Ini
Latah Intelektual Bangsa Kita Kini
KOMENTAR