Pasca Perang Politik dan Filsafat 'Maaf'

gambar: beritagar.id
Suhu perpolitikan jelang Pilpres 2019 mulai panas. Dinamika menjelang pesta demokrasi tersebut menjadi menarik karena di dalamnya disisipkan branding-branding politik dalam pertarungan dua poros kubu. Ditambah, munculnya politik identitas, membuat gejolak dinamisasi politik dan demokrasi di Indonesia terganggu.

Isu politik identitas dimanfaatkan para politikus mencari suara. Nanang Indra Kurniawan, pakar politik UGM, mengatakan, "Politik identitas hampir selalu mewarnai setiap proses pemilu di banyak tempat. Ini terjadi karena identitas adalah salah satu modal penting bagi kandidat/partai untuk memobilisasi dukungan."

Diakui, identitas memang menjadi elemen penting bagi kandidat capres untuk mobilisasi dukungan maupun merekayasa persepsi pemilih. Contoh politik identitas yang paling nyata adalah dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang saat itu mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI yang notabene umat Kristen keturunan Cina, kalah dalam pemilu. Kejatuhannya tersebut terlepas dari statusnya sebagai kandidat yang pro-pembangunan dan anti-korupsi, sebab tersandung skandal penistaan agama. Hal tersebut tentu menunjukkan betapa politik identitas telah menjadi senjata politik yang kuat dalam pergolakan mobilisasi suara massa.

Politik Identitas Pemecah Kesatuan Bangsa

Isu identitas yang dimainkan oleh elite politik berpotensi memecah belah masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sifat politik identitas yang eksklusif dan didasarkan pada identitas tertentu seperti; etnis, agama, gender, dsb, sebagai alasan utama penggeraknya. Melihat bagaimana 'sensitif'nya masyarakat Indonesia dewasa ini, tentu hal tersebut malah akan menjadi bumerang yang akan merusak tatanan bangsa di masa depan.

Tidak berhenti di situ, 'kesensitifan' masyarakat Indonesia tampaknya juga sering digoyang oleh para elit politik yang doyan menebar isu-isu provokatif jelang perang Pilpres 2019. Seperti pernyataan menghebohkan yang keluar dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arif Payuono, yang menyamakan PDI Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia karena 'suka menipu rakyat'. Meski pernyataan tersebut telah diproses melalui jalur hukum, tampaknya hal tersebut tidak lantas membuat para elite politik jera.

Nyatanya, tidak lama setelah itu, perang mulut kembali terjadi. Kali ini melibatkan lima partai politik. Kegaduhan tersebut muncul setelah Anggota Komisi I DPR sekaligus Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat, Viktor Buntingu Laiskodat, menuding PKS, Gerindra, Demokrat, dan PAN sebagai partai pendukung berdirinya khilafah di Indonesia. Hal-hal tersebut tentunya akan menambah persoalan pecah-belah masyarakat jadi besar.

Belum sembuh perpecahan bias pilpres 2014, namun emosi publik kembali disulut dengan gimmick-gimmick politik dari kedua kubu pilpres 2019. Jika hal ini terjadi berlarut-larut, dikhawatirkan nantinya masyarakat Indonesia gagal move-on atas bias Pilpres 2019. Sebab tidak dapat memaafkan dirinya yang telah salah mengambil langkah.

Jika itu terjadi, akhirnya kita hanya akan menghabiskan energi untuk coba memperbaiki masa lalu yang tidak dapat berubah. Kita akan tetap saling bersaing terhadap kubu lawan, tetap fanatik dengan kubu pilihan, dan saling menebar curiga sesama bangsa sendiri.

Pemaafan Jadi Solusi Utama 

Belum reda kegaduhan efek Pilpres 2014, masyarakat Indonesia kembali dipekikkan dengan hiruk-pikuk jelang Pilpres 2019. Keributan tersebut dikhawatirkan berimbas pada pergulatan politik Indonesia pasca Pilpres 2019.

Pilpres 2019 ini, mau tak mau akan memecah suara masyarakat Indonesia menjadi dua, atau tiga jika menghitung masyarakat yang memilih golput dan cenderung apatis. Sekian lama terombang-ambing dalam pusaran persaingan, kecurigaan, dan kebencian bias pilpres 5 tahun sekali, tidak kah kita ingin berjalan ke depan selagi menyongsong kehidupan bernegara dengan baik? Terlepas dari siapa pun nanti presiden yang akan terpilih, bukankah kita harus melepas jerat romantisme masa lalu yang harusnya cukup dikenang dan dijadikan pelajaran?

Memaafkan masa lalu dan memutuskan untuk moving-on adalah cara agar kita dapat merdeka sepenuhnya dari kegaduhan-kegaduhan tersebut. Namun, sekali pun hanya dengan pemaafan-lah masyarakat Indonesia mampu keluar dari pusaran kegaduhan tersebut, apakah mereka bersedia memaafkan dan menjadikan kesalahan yang terjadi di masa lalu sebagai sekadar pelajaran?

'Kesensitifan' mental masyarakat Indonesia membuat banyak orang mengidentikkan pemaafan sebagai suatu kelemahan. Ketika kita memaafkan kesalahan kubu lawan, artinya kita adalah orang yang membungkuk takluk dan melupakan kesalahan mereka di masa lalu. Seolah-olah pemaafan menjadi hal yang 'tidak adil' sebab diartikan, ketika kita memaafkan, maka kita akan melupakan kesalahan yang terjadi dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.

Pada hakikatnya, pemaafan (forgiveness) merupakan proses sukarela ketika seorang 'korban' mengalami perubahan perasaan dan perilaku dengan menyisihkan emosi-emosi negatif, bahkan semakin mampu berharap agar 'yang berbuat salah' itu baik-baik saja. Jadi artinya berbeda dengan membiarkan (condoning), berdalih (excusing), melupakan (forgetting), pengampunan bersyarat (pardoning), atau pun perdamaian (reconciliation).

Dalam hal 'maaf' ini, terdapat teori yang diusung oleh J.L Austin. Menurutnya terdapat dua pernyataan dalam tindak wicara seseorang. Pertama, pernyataan konstantif yang memuat pernyataan tentang sesuatu dengan apa adanya, hanya menyentuh definisi dan deskripsi tanpa melibatkan aksi. Kedua, pernyataan performatif, merupakan kebalikan pernyaaan konstantif. Yaitu, pernyataan yang tidak hanya kata-kata tapi juga dibarengi dengan tindakan.

Maaf di sini bukan seperti kasus permintaan maaf  Wakil Ketum Partai Gerindra, Arief Payuono, yang disampaikan melalui surat pernyataan dengan tanda tangan di atas materai. Tidak juga seperti permintaan maaf yang terlontar sebab ancaman pidana. Melainkan maaf yang disengaja, bersifat ongoing process yang butuh upaya dan tidak mudah. Hanya dengan pemaafan seperti itulah didapatkan pernyataan maaf secara konstantif.

Masyarakat Indonesia harus belajar bagaimana memaafkan kesalahan lawan yang pernah terjadi di masa lalu. Sebab, jika tidak, mereka akan tenggelam dalam kemarahan dan dendam. Kita tidak akan dapat memahami masa depan dengan perspektif baru. Ujungnya, kesatuan dan kehidupan yang harmonis bagi bangsa Indonesia akan terkikis dan hilang. Kita tidak akan dapat menyongsong masa depan yang baik.

Setidaknya, dengan pemaafan kita akan dapat bertindak menjadi selayaknya manusia yang mengamalkan salah satu prinsip dasar kemanusiaan. Bayangkan saja, jika di tahun 1999 mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mencanangkan program Rekonsiliasi Korban 65'. Tentu masyarakat Indonesia akan tetap dibayangi dengan dendam kejadian 34 tahun silam. Mereka tidak akan mampu berkembang sebab terjerat romantisme masa lalu.

Derrida dalam ungkapannya tentang maaf mengungkapkan, "Maaf yang bersyarat memaafkan yang tak termaafkan". Kita sama-sama tahu bahwa kejadian G30S/PKI adalah sejarah kelam bangsa Indonesia yang sulit terampuni. Namun, Gus Dur melatih bangsanya agar mampu memaafkan. Sebab, sejatinya pemaafan mencegah sikap balas dendan yang dapat merusak dan membentuk berbagai macam rangkaian kezaliman. Di samping itu, pemaafan juga dapat meningkatkan kualitas hubungan antar sesama manusia.

Dari itu, setelah meredanya urusan Pilpres 2019 ini. Mari kita saling memaafkan kesalahan-kesalahan kubu lawan yang tingkahnya sering menjengkelkan. Mari kita meredam konflik internal dalam negeri dengan pemaafan, dan tidak menjadi bangsa bermental 'sensitif' dengan pemaafan. Namun, seperti yang diungkap Gus Dur, "Memaafkan kesalahan bukan berarti melupakannya". [Ansel]

KOMENTAR

Name

17 agustus,1,2021,4,2023,1,2024,1,22 Mei 2019,1,ab,1,Abu Nawas,1,academy,1,Advertorial,4,AFI,3,ai,5,al-ghazali,1,al-ikhlas,1,Al-Qur'an,4,Albert Camus,3,Albert Estein,2,Anak,1,Anak laki-laki,1,Analisis Utama,2,Animal Farm,1,aqidah dan filsafat islam,3,Artificial Intellgence,3,Artikel,526,Artikel sastra,1,atribut,1,audiensi,6,bali,3,Banding UKT 2023,2,banjir,2,bantuan ukt,2,Beasiswa,17,Begadang,1,belajar,5,berdoa,2,Berita,1583,berita potret,1,biografi,1,bonus demografi,1,buku,4,bulan muharram,2,Bulan Ramadan,10,calon wisudawan,1,camaba,10,camaba 2022,2,camaba 2023,1,Carl jung,2,ceremony,1,cerpen,30,Corona virus,65,critical thingking,1,cumlaude,2,cybersecurity. internet,1,darurat pernikahan dini,1,Daun kelor,1,dekan fuhum,1,dema,12,Demokrasi,1,demonstrasi,1,digital,2,diklatpimnas,1,diskon,1,Dokumen,1,dosen,2,dsign,1,Edukasi Seksual,1,ekologi,1,ekosistem,1,EkspreShe,35,era digital,1,Essay,121,fakultas kedokteran,5,Fasilitas,2,Fasilitas PKM,2,fdk,1,feature,2,film,5,Filsafat,38,FITK,1,fresh graduate,3,FUHUM,51,FUHum fest,2,FUPK,7,Gadis Kretek,1,Gagal Wisuda,3,gaya hidup,3,gender,2,General Library,2,Generasi Milenial,31,George Orwell,1,globalisasi,1,graduation cap,1,greencampus,1,Guru,3,hak cipta buku,1,Harapan,2,Hari Buku Internasional,1,Hari Buruh,1,Hari Buruh Internasional,3,hari guru,1,hari ibu,1,Hari Jumat,1,Hari Kartini,3,hari kemerdekaan,2,hari pahlawan,4,Hari Perempuan Internasional,1,Hari Raya,12,Hari Santri,6,Hari Santri Nasional 2022,6,Hari Sumpah Pemua 2022,2,heroisme,1,Hukum,1,Ibnu Sina,1,ide bisnis,1,idul adha,9,Ilmu Falak,1,Ilmu Pengetahuan,89,Imam Nawawi,1,Imlek,2,indonesia,4,info beasiswa,2,info kos ngaliyan,1,inspiratif,1,internasional,5,islam,2,isra' mi'raj,2,Iwan Fals,1,jawa timur,1,Jerat Hukuman,1,judul skripsi terbaik,4,Jurang Asmara,2,Kahlil Gibran,2,Kapitalis,1,Kasus Birokrasi,1,Keagamaan,74,Kebahagiaan,3,kebaya,1,kebudayaan,7,kecantikan,1,kecerdasan,2,Kedokteran,1,kekerasan seksual,2,kekerasan seksual anak,1,kemanusiaan,2,kemerdekaan,2,kerja,1,kesadaran,8,Kesehatan,27,KI Hajar Dewantara,1,KIP-K,6,Kitab Allah,1,kkl,12,KKN,20,Klarifikasi,2,Komunikasi,3,konten vidio,1,kopi,1,Korean Wave,1,korelasi,1,Korelasi 2023,3,Korupsi dosen,1,kos,1,ksr,1,KTT G20,3,KUHP,1,Kuliah,11,Kuliah luar negeri,4,Kuliah Online,21,Kuliah tatap muka,2,kuliner,1,kupi,1,kurban,3,Lahan Parkir,3,leaders declaration,1,liburan,2,lifestyle,1,Literasi,2,Logo HSN 2022,1,lukisan,1,Lulus Cepat,12,ma'had,9,maba 2023,6,maba2022,3,Machiavelli,1,Mahasiswa,632,mahasiswa baru,13,makna hidup,1,makna kembang api,1,Maksiat hati,1,Masa Jabatan,1,Masjid Kapal,1,media sosial,2,Membaca cepat,1,Mendikbud,1,mengingat,1,mental,2,Menulis,1,menwa,1,metaverse,1,modernitas,1,motivasi,8,Muhammad,6,Muhammad Iqbal,1,Munaqosah,2,Musik,1,Nabi Muhammad,2,nasional,17,natal,1,New Normal,18,Ngaliyan,5,Oase,388,Olahraga,2,Opini,251,opini mahasiswa,22,ORKM,2,ormawa,1,orsenik,24,outfit,1,pameran isai,1,pancasila,2,Pandemi,5,PBAK,29,PBAK 2022,5,pbak 2023,14,Pedagogi,1,peluang,1,Pemalsuan,5,Pembayaran UKT,1,Pemilu 2024,3,pemuda,2,Pendidikan,12,penemuan ular,1,pengembangan diri,7,Penjara,1,Penyair,1,Penyesuaian UKT 2022,3,perang ukraina,1,Perempuan,7,peringatan harlah NU,1,pernikahan dini,1,perpustakaan,1,Pertemanan,1,Pidana,1,Plagiasi Rektor,1,PMB,9,politik,5,pondok pesantren,4,pormawa,1,Post-truth,1,Potret Berita,11,potret wisuda,5,ppb,6,praktikum,1,Pramoedya Ananta Toer,1,presidensi,1,profesi,2,Psikologi,34,Puasa,9,Puasa Ramadan,45,Puisi,145,Quotes,1,qurban,1,ramadhan 2023,9,Ramadhan 2024,1,Rasulullah,1,recriutment,2,recruitment,4,refrensi,1,regulasi,1,rektor,7,Resensi,22,Resensi Buku,21,Resensi Film,29,revolusi industri,1,Riset,5,SAA,1,Sahabat,2,Sampah Juras,2,santri Ma'had,4,Sastra,120,Second Sex,1,sedekah,1,sejarah,1,sema,4,Semarang,179,Shalawat,1,Sidang,2,Sistem akademik,1,SK Jabatan 6 Bulan,1,SK Wajib Mahad,11,skill,1,Skripsi,18,sky,1,socrates,2,sosial,2,Sosok,2,stoic,1,sufisme,2,sukses,2,sumpah pemuda,2,Surat Pembaca,9,tafsir,6,Tafsir Misbah,1,Tafsir Surah Fatihah,2,Tahun baru,3,Taman Entrepreneur FEBI,1,TandaTangan,4,tasawuf,2,Taubat,1,teater,7,Teknologi,42,teladan,1,tips,4,Toefl-Imka,21,tokoh,1,Toxic,1,TP,1,tranformasi energi,1,Tugas Akhir,16,UHN,2,UIN Walisongo,749,UIN Walisongo Semarang,19,ujm,2,UKM,11,ukt,33,UKT 2024,2,UKT tinggi,1,ular piton,1,upz,1,video,2,Wajib mahad,4,wali camaba,2,wali wisuda,5,Walisongo Center,2,wanita,1,William Shakespeare,1,Wisuda,110,wisuda 2022,15,wisuda 2023,6,wisuda 2024,6,wisuda offline,5,wisudawan terbaik,28,Writer's block,1,Zodiak,3,zoom meeting,1,Zuhud,1,
ltr
item
IDEApers: Pasca Perang Politik dan Filsafat 'Maaf'
Pasca Perang Politik dan Filsafat 'Maaf'
Pasca Perang Politik dan Filsafat 'Maaf'. Suhu perpolitikan jelang Pilpres 2019 mulai panas. Dinamika menjelang pesta demokrasi tersebut menjadi menarik karena di dalamnya
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWSdkNfYwXQNGE0GZNtq0pwYFKD42fE3nwKyP3BSkCYLerqjCe82XUCPgCoyQadJ9_k1Rdqu7r8wMVnRVL6jcBHfMkeB9Z-zkJl2vk94sBuGMeVryyrFYNEYOKoSPC08PkJuK-jMbSHWq_/s1600/Pasca+Perang+Politik+dan+Filsafat+%2527Maaf%2527.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWSdkNfYwXQNGE0GZNtq0pwYFKD42fE3nwKyP3BSkCYLerqjCe82XUCPgCoyQadJ9_k1Rdqu7r8wMVnRVL6jcBHfMkeB9Z-zkJl2vk94sBuGMeVryyrFYNEYOKoSPC08PkJuK-jMbSHWq_/s72-c/Pasca+Perang+Politik+dan+Filsafat+%2527Maaf%2527.jpg
IDEApers
http://www.ideapers.com/2019/04/pasca-perang-politik-dan-filsafat-maaf.html
http://www.ideapers.com/
http://www.ideapers.com/
http://www.ideapers.com/2019/04/pasca-perang-politik-dan-filsafat-maaf.html
true
2845694181721974662
UTF-8
Lihat Semua Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Baca Balas Batalkan Komentar Hapus Oleh Beranda HALAMAN BERITA Lihat Semua BERITA TERKAIT RUBRIK ARSIP SEARCH SEMUA BERITA Tidak ditemukan Beranda Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des baru saja 1 menit lalu $$1$$ minutes ago 1 jam lalu $$1$$ hours ago Kemarin $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago lebih dari 5 minggu lalu Followers Follow KONTEN INI PREMIUM Share sebelum membuka Salin semua kode Pilih semua kode Semua kode telah disalin. Tidak bisa disalin