gambar: beritagar.id |
Isu politik identitas dimanfaatkan para politikus mencari suara. Nanang Indra Kurniawan, pakar politik UGM, mengatakan, "Politik identitas hampir selalu mewarnai setiap proses pemilu di banyak tempat. Ini terjadi karena identitas adalah salah satu modal penting bagi kandidat/partai untuk memobilisasi dukungan."
Diakui, identitas memang menjadi elemen penting bagi kandidat capres untuk mobilisasi dukungan maupun merekayasa persepsi pemilih. Contoh politik identitas yang paling nyata adalah dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang saat itu mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI yang notabene umat Kristen keturunan Cina, kalah dalam pemilu. Kejatuhannya tersebut terlepas dari statusnya sebagai kandidat yang pro-pembangunan dan anti-korupsi, sebab tersandung skandal penistaan agama. Hal tersebut tentu menunjukkan betapa politik identitas telah menjadi senjata politik yang kuat dalam pergolakan mobilisasi suara massa.
Politik Identitas Pemecah Kesatuan Bangsa
Isu identitas yang dimainkan oleh elite politik berpotensi memecah belah masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sifat politik identitas yang eksklusif dan didasarkan pada identitas tertentu seperti; etnis, agama, gender, dsb, sebagai alasan utama penggeraknya. Melihat bagaimana 'sensitif'nya masyarakat Indonesia dewasa ini, tentu hal tersebut malah akan menjadi bumerang yang akan merusak tatanan bangsa di masa depan.
Tidak berhenti di situ, 'kesensitifan' masyarakat Indonesia tampaknya juga sering digoyang oleh para elit politik yang doyan menebar isu-isu provokatif jelang perang Pilpres 2019. Seperti pernyataan menghebohkan yang keluar dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arif Payuono, yang menyamakan PDI Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia karena 'suka menipu rakyat'. Meski pernyataan tersebut telah diproses melalui jalur hukum, tampaknya hal tersebut tidak lantas membuat para elite politik jera.
Nyatanya, tidak lama setelah itu, perang mulut kembali terjadi. Kali ini melibatkan lima partai politik. Kegaduhan tersebut muncul setelah Anggota Komisi I DPR sekaligus Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat, Viktor Buntingu Laiskodat, menuding PKS, Gerindra, Demokrat, dan PAN sebagai partai pendukung berdirinya khilafah di Indonesia. Hal-hal tersebut tentunya akan menambah persoalan pecah-belah masyarakat jadi besar.
Belum sembuh perpecahan bias pilpres 2014, namun emosi publik kembali disulut dengan gimmick-gimmick politik dari kedua kubu pilpres 2019. Jika hal ini terjadi berlarut-larut, dikhawatirkan nantinya masyarakat Indonesia gagal move-on atas bias Pilpres 2019. Sebab tidak dapat memaafkan dirinya yang telah salah mengambil langkah.
Jika itu terjadi, akhirnya kita hanya akan menghabiskan energi untuk coba memperbaiki masa lalu yang tidak dapat berubah. Kita akan tetap saling bersaing terhadap kubu lawan, tetap fanatik dengan kubu pilihan, dan saling menebar curiga sesama bangsa sendiri.
Pemaafan Jadi Solusi Utama
Belum reda kegaduhan efek Pilpres 2014, masyarakat Indonesia kembali dipekikkan dengan hiruk-pikuk jelang Pilpres 2019. Keributan tersebut dikhawatirkan berimbas pada pergulatan politik Indonesia pasca Pilpres 2019.
Pilpres 2019 ini, mau tak mau akan memecah suara masyarakat Indonesia menjadi dua, atau tiga jika menghitung masyarakat yang memilih golput dan cenderung apatis. Sekian lama terombang-ambing dalam pusaran persaingan, kecurigaan, dan kebencian bias pilpres 5 tahun sekali, tidak kah kita ingin berjalan ke depan selagi menyongsong kehidupan bernegara dengan baik? Terlepas dari siapa pun nanti presiden yang akan terpilih, bukankah kita harus melepas jerat romantisme masa lalu yang harusnya cukup dikenang dan dijadikan pelajaran?
Memaafkan masa lalu dan memutuskan untuk moving-on adalah cara agar kita dapat merdeka sepenuhnya dari kegaduhan-kegaduhan tersebut. Namun, sekali pun hanya dengan pemaafan-lah masyarakat Indonesia mampu keluar dari pusaran kegaduhan tersebut, apakah mereka bersedia memaafkan dan menjadikan kesalahan yang terjadi di masa lalu sebagai sekadar pelajaran?
'Kesensitifan' mental masyarakat Indonesia membuat banyak orang mengidentikkan pemaafan sebagai suatu kelemahan. Ketika kita memaafkan kesalahan kubu lawan, artinya kita adalah orang yang membungkuk takluk dan melupakan kesalahan mereka di masa lalu. Seolah-olah pemaafan menjadi hal yang 'tidak adil' sebab diartikan, ketika kita memaafkan, maka kita akan melupakan kesalahan yang terjadi dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.
Pada hakikatnya, pemaafan (forgiveness) merupakan proses sukarela ketika seorang 'korban' mengalami perubahan perasaan dan perilaku dengan menyisihkan emosi-emosi negatif, bahkan semakin mampu berharap agar 'yang berbuat salah' itu baik-baik saja. Jadi artinya berbeda dengan membiarkan (condoning), berdalih (excusing), melupakan (forgetting), pengampunan bersyarat (pardoning), atau pun perdamaian (reconciliation).
Dalam hal 'maaf' ini, terdapat teori yang diusung oleh J.L Austin. Menurutnya terdapat dua pernyataan dalam tindak wicara seseorang. Pertama, pernyataan konstantif yang memuat pernyataan tentang sesuatu dengan apa adanya, hanya menyentuh definisi dan deskripsi tanpa melibatkan aksi. Kedua, pernyataan performatif, merupakan kebalikan pernyaaan konstantif. Yaitu, pernyataan yang tidak hanya kata-kata tapi juga dibarengi dengan tindakan.
Maaf di sini bukan seperti kasus permintaan maaf Wakil Ketum Partai Gerindra, Arief Payuono, yang disampaikan melalui surat pernyataan dengan tanda tangan di atas materai. Tidak juga seperti permintaan maaf yang terlontar sebab ancaman pidana. Melainkan maaf yang disengaja, bersifat ongoing process yang butuh upaya dan tidak mudah. Hanya dengan pemaafan seperti itulah didapatkan pernyataan maaf secara konstantif.
Masyarakat Indonesia harus belajar bagaimana memaafkan kesalahan lawan yang pernah terjadi di masa lalu. Sebab, jika tidak, mereka akan tenggelam dalam kemarahan dan dendam. Kita tidak akan dapat memahami masa depan dengan perspektif baru. Ujungnya, kesatuan dan kehidupan yang harmonis bagi bangsa Indonesia akan terkikis dan hilang. Kita tidak akan dapat menyongsong masa depan yang baik.
Setidaknya, dengan pemaafan kita akan dapat bertindak menjadi selayaknya manusia yang mengamalkan salah satu prinsip dasar kemanusiaan. Bayangkan saja, jika di tahun 1999 mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mencanangkan program Rekonsiliasi Korban 65'. Tentu masyarakat Indonesia akan tetap dibayangi dengan dendam kejadian 34 tahun silam. Mereka tidak akan mampu berkembang sebab terjerat romantisme masa lalu.
Derrida dalam ungkapannya tentang maaf mengungkapkan, "Maaf yang bersyarat memaafkan yang tak termaafkan". Kita sama-sama tahu bahwa kejadian G30S/PKI adalah sejarah kelam bangsa Indonesia yang sulit terampuni. Namun, Gus Dur melatih bangsanya agar mampu memaafkan. Sebab, sejatinya pemaafan mencegah sikap balas dendan yang dapat merusak dan membentuk berbagai macam rangkaian kezaliman. Di samping itu, pemaafan juga dapat meningkatkan kualitas hubungan antar sesama manusia.
Dari itu, setelah meredanya urusan Pilpres 2019 ini. Mari kita saling memaafkan kesalahan-kesalahan kubu lawan yang tingkahnya sering menjengkelkan. Mari kita meredam konflik internal dalam negeri dengan pemaafan, dan tidak menjadi bangsa bermental 'sensitif' dengan pemaafan. Namun, seperti yang diungkap Gus Dur, "Memaafkan kesalahan bukan berarti melupakannya". [Ansel]
KOMENTAR