Di Indonesia waktu kurang mandapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Ekses negatif yang dikenal dengan istilah “jam karet” hanya menjadi candaan tanpa menganggapnya sebagai permasalahan yang serius, karena sudah terbiasa.
Permasalahan terbaru yang menjadi sorotan masyarakat dicontohkan dalam acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta pada Sabtu, 4 Maret 2017. Acara dalam rangka Pemilihan Gubernur DKI putaran kedua ini semula akan dimulai pukul 19:00 WIB namun baru dimulai setelah lebih dari satu jam molor. Salah satu Paslon akhirnya memilih meninggalkan acara karena tidak kunjung dimulai. Fenomena jam karet ini juga sudah membudaya di masyarakat tak terkecuali mahasiswa.
Di kalangan mahasiswa, budaya jam karet ini seakan sengaja dilestarikan. Hampir tak ada kegiatan yang terlaksana tepat waktu. Misalnya, kegiatan yang telah direncanakan mulai pukul 09.00 WIB, molor sampai pukul 10.00 WIB. Manajemen waktu yang buruk menjadi permasalahan kunci. Tidak tertatanya agenda dengan rapi dan menjalankan kegiatan tidak sesuai agenda. Bahkan hanya melakukan kegiatan sesuai suasana hati telah melekat di sebagian besar mahasiswa.
Berhubungan dengan pengelolaan waktu, tantangan besar dimiliki oleh aktivis mahasiswa. Segudang agenda yang dimilikinya tidak pantas dijadikan alasan untuk melestarikan "jam karet" ini. Aktivis mahasiswa dituntut untuk mengatur waktunya secara terstruktur. Maka, banyaknya agenda tidak akan menghalangi mereka untuk tepat waktu. Namun, kenyataannya istilah buruk tentang ketidaktepatan waktu ini masih dilestarikan hingga saat ini.
Salah satu penyebab jam karet di kalangan mahasiswa dikarenakan menjamurnya tradisi “saling tunggu”. Mahasiswa enggan melakukan sesuatu kalau teman-temannya belum ada yang melakukannya terlebih dahulu. Bagi mereka lebih baik terlambat bersama-sama, dari pada tepat waktu tapi sendirian. Inikah yang dinamakan setia kawan?
Banyak yang tidak menyadari bahaya melestarikan jam karet. Dengan mengamalkan budaya jam karet, mahasiswa sebenarnya merugikan dirinya dan orang lain. Karena saat mahasiswa tidak tepat waktu, maka waktu mahasiswa lain yang dapat tepat waktu akan terbuang hanya untuk menunggu. Budaya-budaya seperti di atas, mestinya segera diganti dengan budaya tepat waktu. Karena tepat waktu sangat berpengaruh dalam kesuksesan seseorang.
Pepatah Tiongkok mengatakan “Satu inci waktu sama dengan satu inci emas. Tetapi, satu inci emas tidak bisa menggantikan satu inci waktu”. Ini menunjukkan bahwa menghargai waktu sangat penting, bahkan waktu lebih berharga dari harta benda. Karena, bila kita kehilangan harta benda, kita masih bisa mencari penggantinya. Namun bila yang hilang adalah waktu, apapun tidak akan bisa menggantikannya. Bukankah di dunia ini tak ada waktu sama yang berulang?
Di barat, waktu sangat dihargai. Bagi mereka waktu adalah uang. Kenapa mereka menyamakan waktu dengan uang?Karena uang adalah kebutuhan yang tak terpisahkan dari manusia. Begitu juga waktu. Saat manusia menyiakan waktu, sama halnya dia menyiakan uang.
Ali bin Abi Thalib juga mengatakan bahwa waktu laksana pedang. Jika kita tak menggunakannya dengan baik, maka pedang ini akan melibas leher kita. Ini menandakan bahwa tidak ada pilihan, selain menggunakan waktu dengan baik kecuali kita rela dibunuh oleh waktu.
Di Indonesia, waktu hanya dibuang-buang. Masyarakatnya masih senang bermalas-malasan bermain media sosial, berbasa-basi dalam melakukan segala hal dan membudayakan jam karet. Apakah kamu termasuk pengguna jam karet?
*Tulisan ini telah dimuat di buletin el Manhaj edisi XXI, Desember 2015, Darurat Nalar Kritis Mahasiswa dengan rubrik "Catatan Akhir" oleh Riyan.
KOMENTAR