
Isu-isu keberagamaan sudah ada sejak agama itu sendiri muncul. Tidak terlepas dari perbedaan tafsir, pemahaman dan yang paling mafhum di antara ketidakpantasan adalah karena 'kepentingan'.
Ternyata, agama pun memiliki amunisi ampuh bak senapan berkaliber besar yang langka dan diincar banyak orang. Sehingga, banyak yang berlomba-lomba untuk berdiri paling unggul atas nama agama.
Alih-alih menjadi umat beragama yang baik, posisinya rawan terjerat manipulasi dan legitimasi. Klaim 'lidah geni' seolah menjadi momok yang pada satu sisi menggiurkan.
Kilas balik sejarah, jejak-jejak politisasi seperti ini tak terhitung jumlahnya. Pun tidak tersapu gurun pasir walau Islam datang dari Arab. Siapa yang lupa soal Khawarij yang gencar mengkafirkan saudaranya hanya karena urusan politis? Siapa yang dapat mengira tahkim tersebut berujung permainan dadu yang menyeret agama ke meja judi.
Baca Juga: Demam Gagasan Islam Rahmat
Lantas setelahnya mudah mulut melepaskan kalimat kafir dan menghalalkan darah saudara muslim dengan membawa dalil Quran. Alih-alih menegakkan kalimatullah, Quran dengan lancang dijadikan legitimasi pertumpahan darah. Tujuan rahmatan lil alamin pun mulai mengabur.
Kejadian serupa akhirnya menyebar ditiup angin menuju segala penjuru dunia. Tak pelak, Indonesia geger gempita perihal keabsahan beragama. Klaim 'kamilah yang benar’ menggema dilangit-langit mengalahkan kumandang Azan. Muncul golongan neo-khawarij dengan gema takbirnya yang khas, beserta korban cemoohan kesesatan yang mencoba mengkonter lebih dari tindakan defensif. Akhirnya semua sesat, semuanya marah, dan kehilangan selera humor.
Topik jubah atau batik, ngarab atau ngindo, masih jadi tagar utama dilangit-langit penghakiman. Mulut-mulut lamis ini disebut-sebut sebagai garis lurus, keras dan kaku. Sebaliknya, lawan debatnya mengklaim diri garis lucu, lembut dan lentur.
Barangkali mereka bosan berlarian di antara hitam dan putih, yang berubah jadi abu-abu. Untuk itu, para pelawak dadakan ini hadir dengan trobosan berharap melahirkan pelangi dan dapat mencairkan suasana.
Baca Juga: Mengejawantahkan Islam yang Islami
Fenomena seperti ini, lagi-lagi, bukan tak pernah terjadi. Pada zaman kekhalifahan Harun Ar- Rasyid, seorang khalifah yang masyhur di Baghdad dengan cerita 1001 malamnya ada seorang sufi yang pandai memutar garis keras agama menjadi hal yang sederhana, lucu, cekikikan namun memuat samudera makna yang dalam. Sosok tersebut tidak lain dan tak bukan adalah Abu Nawas.
Sufi kelahiran Persia tahun 750 Masehi ini mengetuai rasa bosan kekakuan garis kaku dalam beragama yang menimbulkan statemen Islam garang dan Islam marah. Ia membuat madzhab garis lucu dengan sense of humornya pada segala hal. Bahkan menghadapi masalah pelik politik sekalipun. Contoh saja pada cerita "Debat Kusir Tentang Ayam"
Cerita tersebut hanya satu dari beribu kisah cerdik nan unik dari Sang Sufi Hoja, Abu Nawas. Humornya menembus batas kecerdasan kognitifnya sebagai filsuf dan agamawan.
Dalam teori humor, dagelannya termasuk pada sense of humor atau humor sebagai respon. Artinya humor adalah kecenderungan individu untuk bersikap positif terhadap lingkungan maupun individu lain, dengan menampilkan perilaku ceria berupa tersenyum dan tertawa, (R. Martin).
Baca Juga: Menjadi Muslim yang Indonesia
Keceriaan ini tidak hanya ditunjukan ketika dalam keadaan menyenangkan saja, tapi keadaan negatif pun ditanggapi dengan santai. Menurut Thorson Powell, sense of humor itu sifatnya multidimensional, dan oleh sebab itu maka minimal harus terdiri dari enam elemen.
Pertama, humor production, berupa kemampuan kreatif dalam karakter humoris, dengan membuat lelucon. Mengidentifikasi hal yang lucu dalam sebuah situasi serta mengkreasikan dan menghubungkan situasi tersebut dengan cara-cara yang dapat menyenangkan orang lain.
Kedua, sense of playfulness, yakni kemampuan berada dalam kondisi yang senantiasa baik, menyenangkan, in a good mood meskipun tidak selalu dalam kondisi demikian. Selanjutnya, kemampuan menggunakan humor dalam hubungan sosial atau social uses of humor. Mampu meredakan situasi sosial yang tegang atau kaku, meningkatkan solidaritas dalam kelompok.
Keempat, personal recognition of humor, berupa penggunaan humor dalam memandang hidup dan melihat diri sendiri sebagai orang yang humoris. Kemudian ada appreciation of humor, berupa apresiasi terhadap orang-orang yang humoris dan situasi yang penuh humor.
Dan terakhir, penggunaan humor sebagai mekanisme dalam beradaptasi. Yakni kemampuan “mentertawakan situasi” atau mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor.
Baca Juga: Bencana dan Islam Sontoloyo Soekarno
Abu Nawas memiliki keenam elemen tersebut, tercermin dalam sikapnya menghadapi krisis pada masanya. Hal ini tentu menjadi refleksi dalam menanggapi fenomena beragama yang ada saat ini.
Humor bukan bentuk pelecehan terhadap agama yang sering dianggap mempermainkan agama itu sendiri. Kejenakaan atau kelucuan diciptakan dengan memanfaatkan konteks dan topik agama. Sense of humor menjadi bentuk respon cerdas terhadap kondisi yang ada. Sebagaimana kelucuan yang terdapat dalam cerita-cerita humor sufi.
Humor sufi merupakan tipe humor berlatar agama. Oleh karena itu, humor sufi memiliki peran sebagai media dakwah ajaran dan pesan-pesan agama Islam. Sebagai ungkapan kegembiraan, tawa yang tidak berlebihan diperbolehkan oleh agama. Bahkan senyum sebagai ekspresi sikap ramah dan baik terhadap seseorang dianjurkan oleh nabi. Jadi, tawa dan senyum merupakan fitrah manusia.
Dengan humor Abu Nawas ingin menampilkan keramahan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan guyonan-guyonannya. Karena kisruh yang terjadi membuat kepala berkedut, kulit berkerut dan tidak menambah segar kewarasan apa pun terhadap nalar yang diarungerahkan kepada manusia.
Oleh sebab itu, nilai kemanusiaan hadir menjadi garda depan untuk membentengi semua orang bahwa ada yang lebih penting ketimbang aku atau kamu, tapi ini untuk kita dan Islam kita, untuk agama yang damai dan ramah bagi segala kalangan. [Adha]
Baca Artikel Lain:
Fenomena "Halal Boom" di Indonesia
Menyikapi LGBT yang Masih Jadi Ironi
Poligami dan Topeng Sunnah Nabi
Ulama Ayat Qauliyah dan Kauniyah
KOMENTAR