gambar: nu.or.id |
Seperti yang sempat menjadi buah bibir pada tahun 2009 lalu. Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) Solo, lewat radionya mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah, orang meninggal tidak perlu diperingati hari ke-tiga, ketujuh, hingga hari ke-1000. Tahlil dan pembacaan surat Yasin tidak diperlukan. Dalihnya, Rasulullah tidak pernah mengajarkan tahlilan. Meskipun banyak dalil yang mengupas mengenai tahlilan.
Ucapan tersebut memang sudah lama terjadi, tetapi fenomena yang sama masih terus terjadi hingga kini. Cara memahami teks agama yang hanya dari satu sudut pandang, membuat wacana-wacana bid’ah terus berkembang. Padahal dalam Islam sendiri, terdapat dua macam bid'ah, yakni bid’ah madzmumah atau dholalah (buruk) dan bid’ah hasanah atau mahmudah (baik).
Untuk menentukan mana yang termasuk sebagai bid’ah dholalah (buruk) tentu tidak begitu saja berdasarkan keputusan sekejap. Perlu telaah lebih dalam serta pemahaman kontekstualisasi dengan kehidupan. Tidak bisa asal memberi label syirik dan melenceng dari ajaran al-Qur'an dan Sunnah.
Kebekuan berpikir dan pemahaman dalil yang minim membuat mereka memandang segalanya tampak abu-abu atau bahkan hitam yang perlu diputihkan. Akibatnya, tradisi dan budaya ini dianggap perlu dimusnahkan sebab pelabelan bid’ah tersebut. Hal itu sama saja menolak segala lokalitas yang ada di masyarakat Jawa. Padahal jauh sebelum Islam datang di masyarakat khususnya Jawa, hidup dengan adat, tradisi, dan budaya yang sudah mengakar kuat.
Kesadaran akan tardisi dan budaya ini oleh Walisongo dijadikan strategi untuk menyebarkan Islam di Indonesia. Walisongo menyadari bahwa Islam sebagai agama baru di Nusantara tidak bisa begitu saja mengusir tradisi dan budaya tersebut. Alih-alih ingin berdakwah, melibas habis lokalitas yang ada hanya akan membuat Islam ditolak mentah-mentah. Sebaliknya, Walisongo berdakwah dengan menyusupkan nilai-nilai keislaman dalam budaya dan tradisi masyarakat lokal. Hal tersebut menjadi cara ampuh mengislamkan masyarakat.
Kesuksesan dakwah Walisongo dapat dirasakan sampai saat ini. Islam menyebar luas dalam waktu yang singkat. Kejayaan ini berkat pendekatan kultural yang diusung oleh Walisongo. Pendekatan kultural ini melahirkan akulturasi budaya lokal dengan agama. Sehingga budaya tersebut diinjeksi dengan nilai-nilai agama Islam. Seperti tahlilan, selametan, kenduri, dan lain sebagainya. Ketiganya merupakan produk akulturasi antara Islam dengan budaya yang masih bernafas hingga kini.
Bahkan, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah pun tidak terlepas dari kondisi kultural masyarakat Arab saat itu. Untuk menyampaikan Islam Rahmatan lil Alamin membutuhkan proses dan cara yang tepat. KH. Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) mengatakan bahwa untuk memperbaiki manusia tidak bisa menghapus kultur yang ada. Namun, membutuhkan proses seperti al-Qur'an yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril.
“Untuk memperbaiki manusia itu butuh proses, tidak bisa langsung dihabisi. Jika tugas kenabian hanya untuk menghabisi keburukan, tentu bermitra dengan Izrail jauh lebih efektif ketimbang bermitra dengan Jibril,” tandas Gus Baha.
Pendekatan kultural semacam ini oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebutnya sebagai pribumisasi Islam. Apa yang hendak dicapai melalui konsep ini ialah bagaimana keuniversalan Islam beradaptasi dengan nilai-nilai kebudayaan lokal yang menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditujukan sebagai bentuk respek Islam terhadap kultural dimana Islam ditegakkan. Sehingga misi Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam dapat merasuk sebagai akibat dari dialog Islam dan realitas budaya.
Menurut Gus Dur, Islam yang dapat diterima secara universal harus bisa merangkul semua pihak. Pengamalan dan praktik keberislaman sesuai dengan tempat dimana ia tumbuh. Oleh karena itu, kontekstualisasi Islam di Indonesia ini diperlukan tanpa harus menghanguskan kekayaan budaya masyarakat. Kontekstualisasi ini tidak mengurangi atau menambah apa misi kenabian dan tidak berkedudukan lebih rendah atau lebih tinggi daripada Islam yang muncul di Arab.
Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi bukti nyata bahwa keagamaan masyarakat Indonesia tidak bisa hanya ditumpukan pada satu keyakinan saja. Kenapa tidak “Ketuhanan yang Berdasarkan Syari’at Islam”? Padahal mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Oleh pencetusnya, tentu sudah dipertimbangkan bahwa Indonesia satu karena keberagamannya. Indonesia indah karena komposisi warna masyarakat dan budayanya yang beragam.
Keberislaman di Indonesia ini mengajarkan toleransi dan menjunjung tinggi keberagaman. Ciri inilah yang diharapkan dapat diaplikasikan umat Islam di Indonesia. Sehingga, sentimen terhadap kebudayaan tidak lagi hadir menjadi pemicu konflik. Menjadi Muslim ala Indonesia sama kedudukannya dengan Islam manapun. Karena sejatinya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Jika menimbang nilai keislaman hanya dari pemahaman yang hanya satu sudut pandang, masihkan Islam disebut sebagai Islam yang Rahmatan lil Alamin? Lantas, mampukah menjadi muslim yang Indonesia? [Adha]
KOMENTAR