gambar: .reqnews.com |
Menurut pengamat bisnis, Yuswohady, Indonesia sudah memasuki dua fase, yaitu euforia pasar pada tahun 2010 hingga 2015 dan kini memasuki fase pendalaman syariah. Fase pertama ditandai dengan kepopuleran produk-produk halal seperti hijab, kosmetik berlabel halal, travel berlabel syariah, dan produk yang berkaitan dengan muslim lainnya. Fase ini merupakan kebangkitan dari produk-produk berbau Islam yang telah ada sejak tahun 2010. Sedangkan fase yang kedua adalah fase pendalaman syariah atau Shariaah Deepening. Fase ini terjadi pada tahun 2015 hingga 2019 yang ditandai dengan adanya kesadaran konsumen muslim terhadap kehalalan produk. Konsumen muslim semakin berpegang teguh pada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadis, termasuk ketika memilih produk yang akan digunakan.
Apalagi, setelah munculnya sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di mana, menurut Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) memerintahkan agar semua produk harus memiliki sertifikat halal. Tepatnya termuat dalam pasal 4 UU JPH, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal."
Dengan adanya pasal tersebut, tentu menimbulkan keresahan baik di kalangan pelaku usaha maupun konsumen. Peraturan yang diterbitkan pemerintah harus cukup cermat dan rinci dalam mengatur ketentuan untuk mendapatkan sertifikasi halal tersebut. Hal ini menjadi lebih penting daripada menakut-nakuti pelaku usaha dengan pidana terkait sertifikasi halal. UU JPH ini juga menjelaskan bahwa ketentuan pidana hanya ditujukan kepada pemegang sertifikat halal yang tidak menjaga kehalalan produknya dan kepada orang yang terlibat dalam proses JPH tetapi tidak mampu menjaga kerahasiaan formula dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.
Permintaan sertifikasi halal juga mengalami peningkatan. Sertifikasi halal menjadi salah satu daya saing bagi produsen. Hal ini berhubungan dengan UU JPH yang menyebutkan bahwa tidak hanya makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik, melainkan juga bidang jasa dan barang gunaan.
Misalnya, sertifikasi terhadap kehalalan lemari es. Menurut kepala media PT Sharp Electronics Indonesia (SEID), Andri Adi Utomo menjelaskan bahwa lemari es bersertifikat halal merupakan bentuk kepedulian Sharp dalam menjaga kepercayaan masyarakat atas barang yang digunakan. Sertifikat halal tersebut dapat meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut telah terjamin keamanannya.
Tidak hanya jaminan bagi konsumen, adanya pelabelan tersebut mampu menjadi peringatan terhadap masyarakat agar setiap produk yang digunakan tidak bertentangan dengan syariat dan berasal dari bahan-bahan yang tidak membahayakan tubuh. Seperti kandungan berbahaya dari produk-produk yang tidak memilki izin resmi untuk beredar.
Pada 17 Oktober 2019 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lagi berwenang menerbitkan sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman. Pemerintah memindahkan penerbitan label halal melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada dibawah Kementrian Agama (Kemenag). Namun, Kemenag menekankan jika MUI masih berwenang untuk menerbitkan fatwa dan sertifikat auditor halal. (geotimes.com 23/10/19)
Adanya pemindahan kewenangan tersebut menyebabkan adanya perbedaan yang substansial. Semula, sertifikasi halal yang dikelola oleh MUI bersifat suka rela. Namun, dengan adanya mandataris yang sudah memiliki Undang-undang sehingga diaplikasikan oleh negara melalui BPJPH dan bersifat wajib. Aturan tersebut mengenai tenggang waktu selama 5 tahun kepada seluruh pengusaha maupun industri rumah tangga untuk mengurus pelabelan ini. Alur tersebut berasal dari hasil fatwa MUI, kemudian oleh BPJPH barulah dikeluarkan sertifikasi halalnya.
Di sisi lain, maraknya produk berlabel halal. Juga didorong oleh kepentingan produsen itu sendiri. Karena melihat tingkat keberagamaan muslim yang semakin berpegang teguh pada syariat. Sehingga, hal tersebut bisa diambil keuntungan dengan menghadirkan produk-produk berlabel halal di pasaran. Bahkan, sekelas bentuk-bentuk iklan yang ada di televisi atau di dunia maya. Mereka lebih cenderung menakuti-nakuti. Iklan tersebut cenderung mempertanyakan kehalalan produk yang tidak memakai label halal, dan mengokohkan bahwa jika produknya sudah terjamin halal.
Selain itu, maraknya produk berlabel halal mulai dari fashion syar'i, kosmetik, hingga peralatan rumah tangga. Menggiring konsepsi bahwa yang menggunakan produk halal, artinya ia termasuk menunjukkan kesalehen orang, dengan menunjukkan bahwa ia sudah hidup dengan gaya islami. Lantas apakah, ukuran islami dinilai dari seberapa besar kita menggunakan produk berlabel halal? Mari kita pikirkan bersama. [Mitha]
KOMENTAR