
Istilah ulama berasal dari bahasa Arab, yang disematkan pada orang yang menguasai tidak cuma satu bidang keilmuan. Namun, sekarang ini tidak tahu mengapa, arti ulama sendiri mengalami penyempitan makna.
Ulama diartikan hanya tertuju pada para ustaz yang memahami ayat-ayat teks. Ini bedanya dengan ulama dahulu.
Ulama Islam terutama, dahulu menguasai keilmuan yang lebih luas. Cara pandang ulama terhadap realita kehidupan bukan saja berhenti pada kajian teks semata. Ulama mendalami keilmuan dibarengi dengan kontekstualisasi peristiwa yang dialami. Untuk memecahkan persoalan kehidupan, maka menggunakan juga nalar akal untuk ijtihad. Seperti yang dipelopori oleh salahsatu ulama besar muslim, Hanafi.
Imam Hanafi termasuk ulama masyhur Islam. Dalam karya-karyanya yang pemikirannya banyak dijadikan rujukan hukum Islam. Model pemikiran yang moderat ini diteruskan oleh muridnya, yaitu Imam Syafi'i. Di Imam Syafi'ilah perkembangan metodologi ijtihad semakin banyak dijadikan salahsatu pedoman untuk memecahkan masalah di zaman selanjutnya.
Metodologi Ijtihad ini tidak bisa hanya berpedoman teks. Namun keduanya, yakni; ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Artinya, ulama dalam Islam itu bukan hanya ustaz yang cuma bisa ngomong di medsos, ceramah, da sejenisnya. Tapi benar-benar dilakukan dan memprioritaskan keilmuannya untuk kebutuhan pribadinya.
Sangat miris dengan fenomena ustaz yang terjadi sekarang. Pemimpin umat itu, banyak yang mengusai agama, keilmuannya hanya sebatas tekstual. Kalau istilah zaman dahulu, disebut kaum paripatik. Karena ulama yang cuma tekstual ini mengklaim dirinya yang paling benar, dan menutup diri dengan hanya berpedoman pada teks arab saja. Dalil dari ayat kauniyahnya tidak juga diikutsertakan dalam ilmu memahami realita kehidupan beragama. Bisa disebut, tekstur keilmuannya kaku. Ini yang menunjukkan keterbelakangan keilmuan jika dibandingkan ilmuwan muslim dahulu.
Kemampuan para ulama atau ilmuwan Islam pada zaman abad pertengahan, mempunyai daya intelektual yang tinggi. Keseimbangan dalam memahami ayat-ayat qauliyah dan kauniyah benar-benar diterapkan dalam kehidupannya. Bukan hanya secara teoritis, tapi juga diterapkan juga dalam praktik kehidupan bersosial di masyarakat.
Cara mengidentifikasi bagaimana ulama Islam abad pertengahan memiliki kedekatan dengan masyarakat yang kuat. Mereka berbaur dengan masyarakat dari lapisan masyarakat bawah hingga pemimpinnya sekaligus. Di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh para walisongo.
Kata Gus Mus, perilaku yang ditampakkan oleh para ustaz atau ulama itu mengayomi masyarakat. Senyumnya menenangkan hati. Setiap perkataan yang diucapkan menyejukkan.
Keberhasilan Islam hingga abad pertengahan, tidak bisa lepas dari kiprah para ulamanya. Bagaimana dengan Ulama sekarang? [Sae]
KOMENTAR