Dewasa ini banyak ormas Islam yang gencar mengkampanyekan gagasan Islam rahmatan lil 'alamin dengan gerakan dakwah kelompoknya masing-masing. Akan tetapi kebanyakan gagasan tersebut hanya sebatas untaian kata demi kata saja, bukan makna untuk dihayati bersama.
Tidak jarang gagasan tersebut dijadikan bahan serangan bagi siapapun yang berbeda pandangan dalam memaknai dakwah Islam. Di mimbar, di media sosial, menjadi pengukir kata-kata label sesat bagi kelompok yang tidak sesuia dengan pandangan mereka. Perilaku seperti ini apakah benar termasuk konsep Islam rahmatan lil 'alamin?
Memaknai Islam rahmatan lil 'alamin harusnya sesuai antara ucapan dan perilaku. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah QS. Al-Anbiyya ayat 21 menjelaskan empat poin penting. Pertama, ayat menegaskan bahwa Nabi Muhammad menjadi utusan Allah. Kedua, penegasan bahwa Allah yang mengutus rasulnya untuk mensyiarkan Islam kepada manusia. Ketiga, Rasulullah itu diutus kepada mereka (Al-'Alamin). Keempat, risalah yang disampaikan mengedepankan perdamaian dan kasih sayang mencakup keseluruhan makhluk ciptaan Allah di alam semesta.
Baca Juga: "People Power" Amien Rais dan Hantu Ancaman Kedaulatan
Kedatangan Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya pada ajarannya. Melainkan juga segala hal yang ada pada diri Rasulullah. Bahkan, di dalam al-Qur'an tidak ada satu orang pun yang Allah beri kemuliaan dengan gelar rahmat kecuali Nabi Muhammad. Begitu pula tidak ada satu pun makhluk yang disifati dengan Ar-Rahim oleh Allah kecuali Nabi Muhammad.
Terlepas dari pergeseran makna Islam rahmatan lil 'alamin, slogan ini terlahir dari maraknya aksi teror di berbagai belahan dunia yang dilakukan oleh kelompo-kelompok Islam ekstrimis. Gerakan ini menimbulkan generalisasi terhadap umat Islam hingga memicu maraknya Islamophobia di dunia Barat. Maka dari itu ormas-ormas Islam banyak yang mengkampanyekan kembali ke berbagai belahan dunia tentang konsep Islam yang rahmatan lil 'alamin. Termasuk pula ormas Islam di Indonesia. Gagasan universal tersebut diperuntukan membangun kembali pondasi-pondasi kedamaian yang sempat dirusak oleh beberapa kelompok tersebut dengan aksi terornya.
Hasyim Muzadi berpendapat bahwa, pada hakikatnya Islam tidak hanya bersifat ko-eksistensi lintas batas suku dan agama, tetapi juga tentang pro-eksistensi proyeksi kehidupan yang saling bergandengan, dan kesantunan melalui penerapan hakikat keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai perdamaian, kerukunan dan toleransi antar umat beragama.
Namun, perdamaian tidak akan pernah terwujud apabila sikap umat beragamanya belum juga dewasa menyikapi perbedaan keyakinan agama dan menjaga keamanan bersama lintas agama dengan baik dan benar. Dalam konteks Islam rahmatan lil 'alamin, telah diatur segala tata hubungan antar agama, baik itu aspek teologis, ritual, sosial dan muamalah termasuk juga humantis keagamaan melalui Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Mempertentangkan Agama dengan Pancasila?
Khusus untuk Islam di Indonesia, Hasyim Muzadi menegaskan bahwa Pancasila bukanlah agama, tetapi tidak bertentangan dengan agama. Pancasila bukan jalan, tetapi titik temu antara banyak perbedaan jalan. Dengan Pancasila, perbedaan antara suku, bangsa, bahasa dan budaya bukanlah alasan perpecahan, melainkan sarana persatuan yang tidak sedikitpun melenceng dari ajaran agama.
Namun, ditengah-tengah gencarnya kampanye Islam rahmatan lil 'alamin, ada juga kelompok ormas yang perilakunya tidak sesuai dengan gagasan tersebut dan justru menampilkan wajah Islam yang pemarah. Contohnya pada kasus pembakaran bendera yang berlafalkan tauhid, kecaman demi kecaman begitu banyak bertaburan di headline media sosial dengan saling hujat dan cacimaki.
Tidak hanya itu, kemunculan gagasan konsep dakwah Islam Nusantara pun menjadi polemik penolakan dari berbagai kelompok ormas Islam secara berkepanjangan, menampilkan kemarahan dan kebencian yang tidak sesuai dengan konsep dakwah Islam rahmat. Padahal, ada cara yang lebih bijak dalam menanggapi permasalahan tersebut sesuai dengan wajah Islam yang ramah.
Baca Juga: Muslim dan Perbincangan tentang Kebenaran
Dengan dalih kembali ke Islam yang rahmat lengkap dengan dalil ayat suci al-Qur'an, mereka melupakan segala cara upaya musyawarah dan ramah yang dicontohkan Rasulullah hanya untuk membenarkan argumen kelompok mereka sendiri. Terlebih lagi aksi-aksi kemarahan tersebut dilengkapi dengan politisasi yang membuat gaduh sana-sini.
Meneladani ketokohan Nabi Muhammad saw seharusnya menjadi solusi utama dari berbagai kemarahan yang ada. Nabi selalu mengedepankan musyawarah tanpa harus marah-marah dan gegabah dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada. Salah satu contoh keteladanannya yaitu, ketika ada seorang pemuda yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk berzinah. Para sahabat yang mendengar itu seketika itu raut wajahnya berubah dan ada yang membentak pemuda tersebut.
Namun, yang dilakukan Rasul justru memanggil pemuda tersebut dan menasihatinya dengan kelembutan yang mampu menggoyahkan niatnya dan menjadi sadar atas kesalahan niatnya tersebut. Dari kisah ini menunjukan solusi terbaik buklanlah marah apalagi mengumpat tetapi nasihat. Musyawarah mencari kesepakatan akan memberikan solusi terbaik. Bukankah Nabi Muhammad selalu mengajarkan hal yang demikian? [NN]
Artikel Lain:
Serukan Pesan Damai di Bulan Ramadhan
Latah Intelektual Bangsa Kita Kini
Tekstualitas Dakwah Islam dalam Tayangan Televisi
Suara Rakyat Dalam Pesta Demokrasi Indonesia
Identitas Santri di Tengah Pergulatan Politik
KOMENTAR