Indonesia memiliki jumlah
penduduk muslim terbesar di dunia, maka tak heran jika acara-acara televisi
bernuansakan Islam cukup diminati di negara ini. Sebut saja Mamah dan Aa’
Beraksi, yang menampilkan ceramah dan tanya jawab bersama Mamah Dedeh. Acara
ini banyak dihadiri oleh ibu-ibu majelis taklim yang kompak menggerakkan tangan
ketika musik dimainkan setiap menjelang dan sesudah jeda iklan.
Selain itu ada pula Berita
Islami Masa Kini yang ditayangkan oleh Trans TV. Acara ini tidak menyajikan
sesi ceramah atau pun tanya jawab, melainkan menampilkan dakwah-dakwah Islam
yang disertai dengan gambar-gambar ilustrasi. Penonton akan lebih terhibur dan
paham dengan pesan dari tayangan tersebut. Semakin menarik berkat penampilan
Teuku Wisnu sebagai pembawa acara yang-bagi sebagian orang- dianggap lebih
islami dengan jenggotnya yang nyentrik.
Tidak berhenti sampai di situ,
acara islami pun diwujudkan dalam bentuk sinetron dan FTV. Misalnya sinetron Haji
Belajar Ngaji yang ditayangkan oleh SCTV. Menurut penulis, sebenarnya sinetron ini
lebih mengedepankan aspek komedi, daripada keluhuran nilai-nilai Islam. Bahkan
status kyai yang dianggap sakral oleh masyarakat muslim Indonesia, malah dijadikan
bahan guyonan.
Kita patut memberikan apresiasi
terhadap penayangan acara islami tersebut. Di tengah era globalisasi yang lebih
banyak mengutamakan materi, masih ada pihak yang peduli dengan nilai-nilai
Islam yang dikemas secara entertainning. Namun patut pula diwaspadai,
bukan tidak mungkin jika acara islami tersebut menjadi pemicu konflik antar
golongan bahkan agama.
Narator, presenter, atau pun dai seringkali
hanya menukil ayat al-Quran maupun hadis nabi, kemudian menterjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia secara tekstual. Sangat sedikit yang menyajikan
penafsiran dari ulama yang benar-benar kompeten dalam bidangnya. Contohnya,
bisa Anda saksikan sendiri dalam ceramah Mamah Dedeh dan ilustrasi dalam Berita
Islami Masa Kini.
Melihat Permasalahan dari
Berbagai Sudut Pandang
Ayat al-Quran dan hadis nabi yang
disampaikan dalam acara televisi islami, harusnya dijelaskan dalam berbagai
sudut pandang keilmuan. Tidak hanya dari segi tekstualitas belaka, namun perlu
juga melihat konteks lain yang tak kalah penting. Misalnya aspek historis
ketika teks tersebut muncul, keumuman dan kekhususan pemberlakuannya, serta
masih banyak lagi aspek yang perlu diperhatikan.
Sering kali hal-hal tersebut
tidak terlalu dipedulikan dalam acara televisi islami. Sehingga bukan tidak
mungkin akan terjadi kesalahpahaman dalam memaknai ayat al-Quran maupun hadis
nabi. Seperti yang terjadi pada acara Berita Islami Masa Kini beberapa waktu
lalu.
Acara itu menyajikan berita
tentang baik dan buruknya membaca surat al-Fatihah bagi orang yang telah
meninggal. Beberapa kalangan mensinyalir terjadi kesalahan dalam penyampaian
materi tersebut, serta dianggap dapat memicu konflik antar golongan. Maka dari
itu akhirnya Komisi Penyiaran Islam
(KPI) pun memberikan surat peringatan.
Begitulah kejadiannya. Program televisi
yang bisa diakses oleh semua kalangan, harusnya menyajikan tayangan yang
benar-benar bermanfaat. Jangan sampai tayangan keluarga yang harusnya bisa media
alternatif pembelajaran agama Islam, justru dapat memicu pertikaian karena
tidak disampaikan dengan cara yang benar.
Peran Penting Civitas Akademik Ushuluddin
Di sinilah civitas akademik UIN,
khususnya Fakultas Ushuluddin, memegang peranan penting. Sebagai kalangan yang intensif
dalam mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman, harusnya mereka benar-benar mampu
membedakan antara benar dan salah.
Apalagi setelah fakultas ini mendapat
imbuhan kata humaniora, para akademisi Ushuluddin harus bijak dalam melihat permasalahan
masyarakat. Mereka dituntut untuk mengamalkan al-Quran, hadis, dan pendapat
ulama terdahulu, namun dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat saat ini. Sehingga
akan didapatkan pemahaman tentang Islam yang benar-benar damai, dan menghargai
perbedaan. [Lee]
KOMENTAR